Ramadan yang Mengancam
Oleh Mustopa Kamal Btr
Surga dunia telah Romi rasakan di
tengah hiruk-pikuk kota Pekanbaru ini. Sepuluh ruko besar, Lima mobil mewah dan
tabungan uang yang banyak di bank telah jadi jaminan hidup keluarganya
sampai tujuh keturunan. Dua anak laki-laki dan
satu perempuan menambah kebahagian hidupnya
bersama sang
istri, Rahma. Apa yang dia inginkan bisa segera ia
dapatkan, karena gelimang harta yang ia
punya.
Tapi apa yang Romi
bayangkan tidak seindah kenyataan. Sudah beberapa hari ini ia tidak berdaya untuk berdiri. Sekarang ia
hanya bisa duduk di kursi roda. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba penyakit aneh
ini menimpanya. Mendung mulai menghampiri kehidupannya,
surga dunia yang telah lama ia rasakan
berubah jadi neraka.
Kini, hari-hari Romi lalui dengan
cerita pilu menyayat hati. Ia mulai jenuh duduk di kursi roda itu, ia ingin
kembali merasakan kebahagiaan hidup seperti
dulu. Ia rindu momen pergi ke luar negeri untuk rekreasi bersama keluarga, ia rindu
nongkrong-nongkrong di kafe. Ia ingin sekali kembali menjadi burung cakrawala yang bisa mengepakkan sayapnya.
“Papa makan dulu ya, biar mama suapin” sahut istrinya, sambil membawa sepiring nasi.
“Papa lagi nggak selera makan ma, papa
jenuh duduk di kursi roda ini terus”
“Iya Pa, mama tau.
Papa harus makan dulu, biar sehat. Nanti sore biar kita kembali berobat ke
rumah sakit”
“Iya Ma”
Seorang wanita yang sedang membeli keperluan terlihat menanyakan
keadaan Romi kepada karyawan tokonya. Wanita
yang sedang memakai baju dinas itu terheran-heran melihat Romi sedang duduk di
kursi roda.
“Pak Romi sakit ya?”
“Iya. Sudah satu minggu ini bapak sakit”
“Sakit apa?”
“Penyakitnya sangat aneh, bapak tiba-tiba gak bisa berdiri. Dokter belum bisa memastikan penyakit yang diderita beliau”
“O kasihan ya”
Karena penyakit yang Romi
derita tak kunjung sembuh setelah berobat di berbagai rumah sakit terkemuka di
Indonesia. Atas kesepakatan keluarga, ia
dibawa berobat ke Amerika. Ia berobat di
salah satu rumah sakit terkenal di negara adidaya itu. Walaupu sudah berobat di sana, namun
hasilnya tetap saja
nihil. Romi tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia hampir putus asa dan ingin
bunuh diri saja, setelah sekian lama ia hanya bisa duduk di atas kursi yang
tidak diinginkan itu.
Malam yang hening dihiasi rembulan setengah redup. Istri dan anak-anak Romi menatihnya ke
ranjang tidur. Dengan sekuat tenaga mereka mengangkat Romi
dari kursi roda ke tempat
tidur berwarna biru itu. Iapun berbaring tuk menuju alam bawah sadar.
Detak jarum jam menunjukkan pukul tiga dinihari. Remaja perumahan terdengar sedang
keliling tuk membangunkan warga untuk sahur. Namun bukan karena suara
segerombolan remaja itu yang membuat Romi terbangun. Ia bangun karena merasakan keanehan semalam. Ia bermimpi, mimpi yang
sangat aneh, tapi nyata.
“Ada apa Pa, kok bapak udah bangun, padahal masih jam tiga” sahut
istrinya yang mau menuju dapur tuk menyiapkan makan sahur.
“Ma, papa barusan mimpi”
“Mimpi apa pa?”
“Mimpinya sangat aneh sekali ma”
“Iya pa. Papa ceritakan sama mama”
“Papa mimpi bertemu dengan seorang lelaki memakai pakaian putih.
Orangnya tinggi besar, wajahnya bersinar.
Terus dalam mimpi itu, dia mengancam papa untuk mengikutinya. Kalau papa tidak mau, katanya nanti papa akan menyesal seumur hidup”
“Papa, nggak usah khawatir. Mimpi itu hanya bunga tidur saja”
“Tapi mimpi ini sangat aneh sekali ma”
“Iya pa, mama mengerti”
Ternyata mimpi itu tidak hanya datang sekali saja. Tiga malam
berturut-turut, mimpi itu selalu menghantui
malam-malam Romi. Entah apa
maksud dari lelaki berpakaian putih itu. Romi belum paham tentang pesan yang ia
sampaikan.
“Pa, gimana kalau nanti kita tanya pak
ustadzs aja. Barangkali beliau tau maksud dari mimpi papa” ujara Rahma ketika
mereka berdua sedang berada di ruang tamu.
“Iya ma. Kalau itu memang jalan terbaik,
silahkan” jawab Romi dengan wajah tak menentu.
“Nanti biar mama panggilkan ustadz yang
sering imam di masjid sebelah ya”
Dari kejauhan terlihat sosok perempuan
berhijab berjalan menuju sebuah rumah berwarna putih yang hanya berjarak
seratus meter dari rumahnya. Di raut wajahnya terlihat memancarkan sebuah
harapan. Rahma ingin segera bertemu ustadz yang sangat tawaduk itu. Ia ingin
sekali secepatnya mengetahui pesan dari mimpi suaminya itu. Rahma juga berharap
agar ustadz yang masih berumur tiga puluh tahun ini mau membimbing suaminya
menyusuri jalan tuhan.
“Pa, ustadz udah mama jemput” ungkap Rahma
setelah sampai di rumah.
“Iya ma, silahkan duduk ustadz” jawab Romi
dengan nada penuh harap.
“Bisa diceritakan mimpi yang mendatangi
bapak beberapa malam kemaren?”
Romipun menceritakan kronologi mimpi yang
mengancamnya tiga malam terakhir ini. Dengan panjang lebar dan suara gemetar,
ia berharap mendapat solusi dari ustadz itu.
“Kalau menurut saya mimpi itu membawa
sebuah pesan yang sangat bermanfaat bagi pak Romi”
“Maksud ustadz?”
“Begini Pak, sebelumnya saya minta maaf.
Apakah sebelumnya bapak jarang melaksanakan perintah agama?”
Cucuran airmata sontak mengalir dari dua
sudut mata Romi. Ia merasa sangat berdosa sekali mendengar pertanyaan ustadz
itu. Selama ini ia memang sangat jauh dari ajaran agama. Setelah ia menjadi
orang yang kaya raya, ia tidak pernah menundukkan kepalanya lagi kepada sang
pencipta kehidupan. Shalat ia tinggalkan. Puasa ramadhan tak pernah lagi
dikerjakan. Setiap hari berhura-hura. Nongkrong di kafe. Main judi dan masih
banyak lagi maksiat lain yang tak bisa dihitung dengan jari.
“Maaf ustadz. Selama ini saya memang sudah
tidak pernah lagi menjalankan perintah agama. Harta sudah membutakan hati saya.
Saya sangat menyesal ustadz. Apa yang harus saya lakukan ustadz?”
“Iya Pak, saya mengerti. Bapak masih ada
waktu untuk taubat”
Rahma terlihat sangat prihatin mendengar
kata-kata yang mengalir dari lidah suaminya. Bukannya ia tidak menegur suami
yang telah dua puluh tahun mendampingi hidupnya itu. Ia sering mengingatkan
agar suaminya itu insyaf, namun ia tak kuasa jika suaminya itu memarahinya
karena teguran tersebut.
“Astagfirullohal ‘Adzim. Mungkin
kaki saya ini lumpuh juga adalah teguran dari Allah, agar saya insyaf dari
dosa. Apakah Allah masih mau menerima taubat saya pak ustadz?”
“Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima
Taubat. Jangan takut Pak Romi, menghadaplah kepada-Nya dengan Taubatan
Nasuha”
“Saya sangat malu. Dosa saya sangat banyak
ustadz”
“Tidak ada manusia yang tak berdosa Pak
Romi. Sedangkan sebaik-baik manusia yang berdosa itu adalah yang mau secepatnya
bertaubat pada Allah Swt. Terlebih-lebih saat ini kita sedang berada di bulan
suci Ramadhan, niscaya Allah akan membuka pintu ampunan selebar-lebarnya bagi
setiap hambanya yang mau benar-benar bertaubat.
“Iya ustadz, saya berjanji akan benar-benar
bertaubat di bulan yang penuh keampunan ini”
Ramadan tahun ini benar-benar bulan yang
mengancam Romi untuk insyaf. Lelaki berpakaian putih itu membawa ancaman yang
baik agar Romi segera bertaubat dan segera menapakkan kaki di jalan tuhan. Kini
ia paham setiap manusia pasti pernah melakukan dosa dan sebaik-baik yang berdosa
adalah yang mau segera bertaubat kepada tuhannya.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar