A!R HUJAN DI M@TA BUNDA
Sore
nan indah di bawah lintasan pelangi, tiba-tiba keindahannya sirna disebabkan
gerimis hujan yang menghampiri bumi. Dari rumah kecil beralaskan tanah aku
memandang rintik-rintik hujan yang belum juga reda di desa Bange, Mandailing
ini.
“Rahmat,
apa semua barangnya sudah dikemas nak” sahut bunda dari dapur.
“Sudah
bu, semuanya sudah dikemas tadi” jawabku dengan suara sopan.
Malam
ini aku akan meninggalkan desa tercinta untuk mengadu nasib ke ibukota. Aku
harus mencoba peruntungan di kota Jakarta, sebagaimana kebanyakan orang-orang
yang sudah terlebih dahulu merantau ke sana. Aku tidak bisa lagi melanjutkan
sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi, aku tidak bisa merasakan betapa
indahnya duduk di bangku perkuliahan seperti teman-teman yang lain karena
keadaan ekonomi orangtua yang tidak mendukung. Ayah dan bunda hanyalah petani
biasa, jangankan untuk sekolah makan saja terkadang keluargaku susah.
Gemerlap
bintang dan rembulan turut menemani keberangkatanku di pinggir jalan raya
lintas sumatera ini. Bus berwarna biru tua sudah memperlihatkan wujudnya dari
kejauhan. Hujan sore tadi tiba-tiba turun dan mengalir melewati sudut mata
bunda. Bunda sangat sedih sekali ketika melepaskan kepergianku. Air mataku juga
tumpah-ruah membasahi bumi ketika memeluk bunda untuk pamit.
“Rahmat
pamit bunda, doakan anakmu ini bunda agar menjadi orang yang sukses”
“Iya
nak, doa bunda akan selalu mengiringi langkahmu, semoga engkau menjadi orang
yang berhasil nak”
Bus
yang aku tumpangi perlahan-lahan melaju meninggalkan desa tercinta, desa Bange
Mandailing, Sumatera Utara. Kepergianku diiringi doa bunda dan kerabat keluarga
yang turut menyaksikan keberangkatanku pada malam yang mengharu-biru ini.
Setelah
menempuh perjalanan beberapa hari, akhirnya bus yang aku tumpangi sampai di
kota metropolitan, Jakarta. Aku sangat kagum sekali melihat gedung-gedung yang
begitu megah dan menjulang tingggi, sebelumnya aku tidak pernah melihat
bangunan-bangunan semegah ini. Lengkap sudah keindahan kota yang aku lihat
sesudah memandang keindahan tugu monas dari bus ALS ini.
Setelah
berada di stasiun bus, paman menjemputku. Beliau bukanlah keluarga dekatku akan
tetapi paman ini adalah teman dari almarhum ayah. Untuk sementara waktu, aku
nanti tinggal di rumah beliau, sebelum aku mendapat pekerjaan.
“Rahmat,
selamat datang di kota Jakarta” ungkap paman.
“Iya
paman, terima kasih banyak atas sambutannya” Jawabku.
“Barang-barangmu
yang mana? Biar kita berangkat ke rumah”
“Yang
ini paman”
“Kita
berangkat ke rumah sekarang ya”
“Baik
paman”
Pagi
yang sangat cerah namun bertolak belaka dengan hatiku saat ini, yang masih
diselimuti kabut asap karena sampai hari ini aku belum mendapat pekerjaan.
Sebelum pekerjaanku jelas, aku membantu keluarga paman berdagang di kedai
harian. Pekerjaan paman adalah sebagai sopir angkot sedangkan yang biasanya
menjaga kedai adalah istri dan anak-anaknya.
“Rahmat,
tolong diangkat beras ke motor ibu ini” suruh bibi, istri paman.
“Baik
bi” jawabku.
Tiba-tiba
HP tulalit yang ada di saku celana kananku berbunyi, aku langsung
mengangkatnya. Ternyata yang menelpon adalah bunda dari kampung. Aku tidak
sabar lagi mengangkat telepon dari bunda.
“Assalamu
‘alaikum hallo.. Rahmat”
“Walaikum
salam bunda”
“Gimana
kabarmu nak, jam berapa jadi sampai di Jakarta nak?”
“Jam
sepuluh tadi pagi bunda, maaf bunda Rahmat tadi udah ada niat kasi kabar ke
bunda, tapi tadi Rahmat lagi bantuin bibi, istri paman di kedai”
“Oo
kabar paman dan bibimu juga baik kan ?”
“Iya
bunda, mereka juga baik”
“Bunda
gimana kabarnya di sana ?”
“Alhamdulillah
baik juga nak”
Suara
hujan kembali ku dengar mengalir dari sudut mata bunda, tapi bunda tidak
memperlihatkannya kepadaku, mungkin bunda tidak mau membuat hatiku bertambah
sedih. Bunda memang seorang malaikat yang sangat mulia.
“Bunda
menangis ya?”
“Tidak
kok nak, bunda hanya khawatir saja kepadamu”
“Bunda
jangan sedih, Rahmat janji akan cepat pulang jika mimpi-mimpi Rahmat udah
tercapai”
“Iya
nak, semoga kamu bisa menjadi orang yang sukses”
“Iya
bun, terima kasih atas doa bunda”
“Sampaikan
kirim salam bunda kepada paman dan bibi ya”
“Iya
bunda”
“Sampai
disini dulu nak ya, soalnya bunda mau pergi ke ladang”
“Iya
bunda, bunda jangan sedih lagi”
“Iya
Nak” jawab bunda menutup pembicaraan.
Waktu
sungguh cepat sekali berlalu, hari ini aku sudah genap satu bulan di kota
Jakarta, namun aku belum mendapatkan pekerjaan. Ketika membuka warung,
tiba-tiba paman menghampiriku.
“Rahmat,
pekerjaan sekarang sangat susah di Jakarta, sudah genap satu bulan paman
mencari pekerjaan untukmu tapi hasilnya belum ada. Bagaimana kalau kamu jadi
kernet angkot saja dulu?”
“Boleh
juga paman, kernet angkot paman?”
“Bukan,
kernet teman paman. kalau kernet angkot paman kan masih ada”
“Baik
paman, saya mau paman”
“Baiklah,
paman nanti akan kabari teman itu”
“Iya
paman”
Amarah
mentari tidak membuat semangatku surut menjadi kernet angkot pada pukul 12.00
ini. Aku harus bersungguh-sungguh bekerja walaupun seribu rintangan
menghadangku dari segala arah. Aku ingin secepatnya membahagiakan bunda dan
adik-adikku di kampung. Aku ingin melihat mereka tersenyum.
Belum
genap dua minggu bekerja sebagai kernet angkot tiba-tiba teman paman itu dengan
terpaksa memecat aku. Ia mengatakan bahwa kernet yang lama masih ingin tetap bekerja.
Ia tersipu malu kepadaku, ia benar-benar minta maaf kepadaku, aku juga
memakluminya. Dengan hati yang sabar ku pasrahkan semua takdir kepada Allah,
aku yakin dibalik semua peristiwa ini pasti akan ada hikmahnya.
Belum
sembuh luka di dada, tiba-tiba bumi runtuh menimpa. Paman mengusir aku dari
rumah dengan alasan tetangga sebelahnya meminta aku pergi dari sini. Kata
paman, orang kaya tersebut tidak mau melihat aku dekat dengan Lia, putrinya.
Padahal Lia lah yang selalu berusaha mendekatiku.
Hidupku
luntang-lantung selama lima hari lima malam di tengah kota metropolitan. Aku
tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit. Hati kecil selalu aku kuatkan
agar sabar dalam melewati semak belukar kehidupan ini.
HPku
tiba-tiba berbunyi di bawah terik mentari yang menyesakkan dada pada pukul
12.30 WIB. Segera ku angkat, ternyata panggilan telpon bunda dari kampung. Aku
tidak tahu lagi mau bicara apa kalau bunda tahu aku diusir paman.
“Assalamu
‘alaikum Rahmat”
“Wa’alaikum
salam Bunda, bagaimana kabar bunda di kampung?”
“Alhamdulillah
baik nak, kamu sendiri gimana?”
“Alhamdulillah
baik juga bunda”
“Apakah
kamu sudah makan nak?”
“Sudah
bunda” jawabku, walaupun sebenarnya aku belum makan, mulai dari tadi pagi aku
tidak makan karena uangku sudah habis. Aku tidak mau membuat risau hati bunda.
“Bunda
sendiri sudah makan?”
“Sudah
nak, bagaimana nak pekerjaan barumu
sebagi kernet angkot?”
“Alhamdulillah
enak kok bunda” jawabku, aku tidak mau memberi tahu bunda kalau aku tidak
mempunyai pekerjaan lagi, aku takut penyakit bunda kambuh kembali. Satu tahun
ini bunda menderita penyakit yang sangat parah, aku kurang tahu penyakit apa
yan sedang menimpa beliau, karena bunda tidak mau bercerita kepada
anak-anaknya, mungkin bunda tidak mau membebani pikiran kami.
“O.
Sampaikan kirim salam bunda kepada keluarga pamanmu”
“Iya
bunda” jawabku dengan suara ragu.
Setelah
selesai bicara dengan bunda lewat telepon, tiba-tiba aku teringat dengan
seorang temanku yang kuliah di Jakarta, namanya Sabil ia adalah teman satu
sekolahku dulu ketika di SMP. Aku telepon dia, Alhamdulillah nomornya masih
aktif.
“Assalamu
Alaikum, benar ini Sabil?”
“Walaikum
salam, iya benar, ini siapa ya?”
“Ini
Rahmat Bil, teman satu SMP mu dulu”
“O..
Rahmat, gimana kabarnya Mat, maaf ya Mat soalnya kamu nomor baru sih”
“Alhamdulillah
kabar baik Bil, kamu gimana Bil?”
“Alhamdulillah
baik juga Mat, sekarang kuliah dimana Mat?”
Pertanyaan
Sabil membuatku agak sedikit minder, tapi aku yakin sabil tidak bermaksud
menyakiti hatiku. Aku pun mencoba memberanikan diri untuk mengatakan kepada
Sabil bahwa aku tidak kuliah lagi.
“O..
aku tidak kuliah lagi Bil, maklumlah makan aja susah Bil”
“O,
sekarang Rahmat berarti masih di kampung?”
“Enggak
juga Bil, Bil Gini aku sekarang sudah di jakarta. Nanti aku ceritakan Bil
karena ceritanya sangat panjang, Bil
kalau tidak keberatan bisa nggak kamu jemput aku di dekat monas?”
“Sekarang
Mat?”
“Kalau
bisa Bil”
“Sekarang
aku masih di kampus Mat, kami nunggu satu mata kuliah lagi, ini lagi istirahat sebentar”
“O
kalau nanti abis pulang dari kampus gimana Bil?”
“Kalau
itu baru bisa, Rahmat tunggu di situ aja nanti ya, jam dua nanti aku datang”
“Baik
Bil, terimakasih Bil ya”
“sama-sama
Mat”
Lintasan
pelangi menambah indahnya sore hari di tempat kos Sabil. Mentari mulai kembali
tersenyum di peraduannya. Aku sangat berterima kasih kepada Sabil, atas semua
kebaikan hatinya. Aku tidak tahu lagi mau ngucapin apa kepadanya karena ia juga
telah meminjami aku uang sebagai modal usaha dari tabungannya. Sabil mempunyai
banyak tabungan karena dia anak orang terpandang di kampung. Aku sangat senang
sekali, aku berjanji kepada Sabil akan menggunakan uang yang ia pinjamkan
sebaik mungkin.
“Bil,
terima kasih ya atas semua bantuanmu. Aku tidak tahu lagi mau ngomong apa untuk
ngucapin terima kasihku kepada mu”
“Biasa
ajalah Mat, kita sebagai manusia kan harus saling tolong menolong”
“Iya
Bil, sekali lagi terima kasih ya atas pinjaman uang yang kamu berikan. Aku
janji akan memanfaatkannya sebaik mungkin”
“Ok,
Mat”
Dengan
modal uang pinjaman dari Sabil, aku sekarang bisa membuka usaha Jasa pembuatan
Spanduk. Bermodal kemahiran yang aku miliki sewaktu SMK di kampung,
Alhamdulillah aku kembali berhadapan dengan pekerjaan yang butuh ketelatenan
ini. Walaupun hari pertama tidak ada pelanggan yang datang ke tempat usaha yang
baru aku buat ini, akan tetapi setelah
seminggu, pelanggan mulai banyak berdatangan. Pelanggan yang ingin membuatkan
spanduk di tempatku meningkat tajam sehingga aku kewalahan mengerjakannya,
akhirnya aku mencari karyawan sebanyak lima orang.
Saat
ini mentari benar-benar memperlihatkan rona keindahannya di tengah gersangnya
kehidupan ibukota Jakarta. Usaha Jasa pembuatan Spanduk yang aku bangun, setiap
hari semakin memperlihatkan kemajuan. Karena saat ini aku sudah mapan dari segi
ekonomi, aku putuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, aku pun kuliah di salah satu Universitas bergengsi di jakarta.
Uang
yang pernah aku pinjam juga sudah aku kembalikan kepada Sabil, dan aku tidak
henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Sekarang toko Spanduk telah ku
serahkan pengurusannya kepada para karyawan, yang saat ini berjumlah seratus
orang.
Waktu
begitu cepat berlalu. Hari ini aku akan menjalani wisuda, akan tetapi orang
yang paling aku cinta dalam hidupku tidak bisa hadir. Bunda tidak bisa lagi
menempuh perjalanan jauh disebabkan faktor kesehatan yang semakin hari menurun.
Setelah semua acara wisuda selesai tiba-tiba HP yang ada di saku kananku
berbunyi. Ternyata panggilan nomor adik dari kampung. Aku pun segera mengangkat
telepon berwarna putih bergaris-garis biru.
“Assalamu
‘alaikum bang, bang penyakit bunda tiba-tiba kambuh, kami tidak tau lagi mau
berbuat apa”
“Coba
dipanggil dokter”
“Sudah
bang, dokter sudah ada di rumah”
“Bagaimana
ya, soalnya abang masih di tempat wisuda”
“Abang
bisa nggak pulang, soalnya bunda juga menyebut-nyebut nama abang”
“Oo,,,
gimana ya, o abang coba tanyakan tiket pesawat dulu apa masih ada yang akan
berangkat ke sana, tunggu sebentar ya, nanti abang telepon lagi”
“Iya
bang”
Aku
langsung menelpon karyawan pengambilan tiket. Alhamdulillah pesawat masih ada
yang akan berangkat menuju bandara Madina yang ada di ibukota kabupaten
Mandailing, sekitar satu jam menaiki mobil dari kampungku. Aku pun langsung
memesan tiket, Kemudian adik kembali aku telepon untuk memberi tahu bahwa aku
akan pulang ke kampung pada hari ini juga.
Setelah
aku sampai di kampung. Aku langsung masuk ke rumah dengan perasaan tidak
menentu. Air mataku mengalir melebihi derasnya aliran sungai batang gadis yang
ada di sudut desa kami. Aku sangat prihatin dengan kondisi kesehatan bunda yang
tidak stabil lagi. Ku pegang tangan bunda ku kecup kening bunda dan aku minta
maaf karena terlambat datang disebabkan jarak yang sangat jauh antara kota
Jakarta dan Mandailing.
Hujan
kembali turun melewati sudut mata bunda, hujan hari ini tidak seperti hujan
yang biasa. Hujan hari ini memperlihatkan kebahagiaan. Mungkin bunda sangat
bahagia ketika melihat anaknya memakai baju wisuda, yang tidak sempat tadi aku
lepas karena tergesa-gesa ingin cepat ke kampung untuk bertemu bunda.
“Bunda
baju kebesaran wisuda ini Rahmat persembahkan kepada bunda, bunda harus cepat
sembuh ya”
“Iya
nak, bunda hari ini sangat bahagia sekali melihat Rahmat telah sukses”
“Bunda
mau apa?, nanti Rahmat belikan ya”
“Bunda
tidak menginginkan apa-apa nak, kesuksesanmu sudah membuat bunda bahagia”
“Iya
bunda, bunda cepat sembuh ya”
“Iya
nak, kamu harus menjaga adik-adik mu ya, sekolahkan mereka agar mereka menjadi
oang yang berguna bagi bangsa dan agama kelak”
“Iya
bunda”
Tiba-tiba
bunda diam seribu bahasa, aku semakin tidak karuan melihat keadaan bunda. Lalu
aku bertanya ke dokter kenapa bunda tidak bicara lagi, lalu dokter
memeriksanya.
“Inna
Lillaahi wa Inna Ilaihi Raajiun, bundamu telah pergi menghadap panggilan Allah
Rahmat” ucap dokter dengan perasaan terharu.
“Bunda...
bunda jangan tinggalkan kami bunda, maafkan aku bunda yang tidak bisa menolong
bunda”
Hujan
terakhir terlihat mengalir dari sudut mata bunda yang telah pergi meninggalkan
anak-anaknya. Air mataku terus mengalir membanjiri kampung yang begitu hening.
Tangisan alam turut mengantarkan kepergian bunda menghadap Ilahi. Inilah
pertemuan terakhirku dengan orang yang paling aku cintai di dunia ini, orang
yang begitu tulus mencintai dan membesarkanku. “Selamat jalan bunda, Semoga
bunda tersenyum di surga”.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar