Siluet Ayah
Oleh: Mustopa Kamal Batubara
Pintu-pintu
tamu tertutup sudah. Kelam semakin merekah. Suara jangkrik saling bersahutan
tak kenal lelah. Tangan-tangan alim menengadah, berharap keluar dari cengkraman
susah.
***
“Kapan
pulang Nak ?”
“Maaf
Yah, Hamid belum bisa pulang karena masih kuliah”
“Ya
sudah, ayah mendoakan kamu agar kelak jadi orang sukses”
Aku
terbangun. Kupandangi jam yang menempel di dinding kos, jarumnya tepat mengarah
ke angka dua. Entah kenapa ayah tiba-tiba menyuruhku pulang dalam mimpi dini
hari ini. Degup jantungku kian kencang. Berbagai soal tanpa jawaban menggrogoti
benakku.
Akhir-akhir
ini seorang yang kukagumi itu selalu lalu-lalang melintasi jalan khayalku. Sosok
itu bak kunang-kunang. Terkadang tampak jelas, namun dengan cepat akan
menghilang dari pandangan. Siluet itu selalu datang merasuki jasadku, lalu ia
pergi begitu saja. Nalarku buntu tuk menangkap pesan yang hendak disampaikannya.
“Hamid
sedang apa ?” ujar temanku Syukron yang tiba-tiba menghampiriku di dalam kos.
“Eh..
Syukron. Tidak ada Ron, hanya lagi duduk-duduk saja”
“O.
Kelihatannya kamu lagi ada masalah ya ?”
“Iya
Ron. Akhir-akhir ini perasaanku aneh sekali. Entah kenapa, padahal aku tidak
biasanya seperti ini”
“Aneh,
maksud kamu ?”
“Akhir-akhir
ini aku sering bermimpi dan teringat sama ayahku di kampung”
“O.
Mungkin karena kamu lagi kangen sama beliau Mid”
“Entahlah
Ron, aku juga kurang paham”
“O.
Sebentar lagi kan kita sudah libur semester genap. Nanti kan bisa pulang
kampung, biar kumpul lagi sama keluarga. Kalau jurusan kami ujian tinggal satu
hari lagi Mid, jadi lusa udah bisa pulang. Kalau jurusan Hamid emang ujiannya
berapa hari lagi ?”
“Satu
minggu lagi Ron.”
“Selepas
itu sudah bisa pulang kan ?”
“Aku
tidak pulang Ron”
“Kenapa
Mid ?”
“Aku
tidak diizinkan atasanku libur kerja. Bahkan waktu libur kuliah nanti jadwal
kerjaku semakin padat. Maklumlah Ron, kamu kan sudah tahu bagaimana agar aku
bisa tetap bertahan kuliah”
“O.
Iya Mid aku paham kok, perjuanganmu kelak pasti berbuah manis. Ngomong-ngomong
nanti Hamid ada pesan nggak yang mau disampaikan sama keluarga di kampung ?”
“Iya
Ron, nanti malam saja aku tulis di surat”
“O,
oke Mid”
Pekanbaru,
10 November 2015
Kepada
yang luar biasa,
Ayah
di Bange Malintang, Mandailing.
Assalaamu
‘Alaikum Wr. Wb...
Sebelumnya Hamid mendoakan semoga ayah di kampung senantiasa
diberi Allah kesehatan dan umur panjang, agar suatu saat nanti kita bisa
merasakan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.
Di sudut malam ini, kugoreskan pena di lembaran putih dengan
perasaan tidak menentu, ada perasaan bahagia karena aku bisa menyampaikan curahan
hati melalui surat kecil ini, ada juga perasaan was-was karena akhir-akhir ini
ayah selalu hadir dalam alam bawah sadarku. Tapi Yah, itu mungkin hanya sekedar
halusinasiku.
Ayah. Tahukah ayah, ini adalah surat pertamaku, yang khusus
Hamid persembahkan sebagai tanda cinta dan rindu. Apakah ayah tahu juga, ketika
menulis surat ini Hamid berusaha menahan linangan air mata, paling tidak sampai
Hamid selesaikan tulisan ini. Tapi mata ini berontak Yah, akhirnya air
kubiarkan mengalir menganak sungai meluap melewati sudut pandangan.
Ayah. Engkaulah satu-satunya lelaki yang mencintaiku tanpa
syarat, yang setia menjaga dan menuntunku sepanjang hayat. Engkau yang
mengingatkan ketika aku terlupa, engkau yang yang mensehati ketika aku tersalah
dan engkaulah yang selalu menghiburku di waktu gundah.
Masih teringat jelas dalam rekaman ingatanku momen-momen
indah dulu. Saat adzan shubuh berkumandang, engkau selalu menuntunku tuk
tunaikan kewajiban kepada tuhan. Saat senja menyapa alam aku selalu kau dudukkan
di pangkuanmu sembari mengajariku lantunan ayat-ayat tuhan. Saat malam
menjelang engkau selalu menemaniku dan menceritakan dongeng sampai aku terlelap
lugu. Ayah, semua kenangan indah itu terasa baru saja berlalu dan masih tampak
nyata dalam bingkai rinduku. Hamid yakin ayah juga masih mengingat hari-hari
indah yang tak terlupakan itu.
Ayah. Maafkan kenakalanku yang dulu, yang terlalu egois dan
bertindak sesuka hati karena keinginanku yang tidak ayah turuti. Di saat itu
aku iri kepada teman-teman yang lain, ketika melihat mereka dibelikan mainan
oleh ayahnya, sedang aku tidak. Tapi sekarang hamid telah sadari ayah, bahwa
kehidupan kita tidak sama dengan teman-temanku itu. Orangtuanya pegawai
berdasi, sedangkan kita hanyalah buruh kehidupan yang selalu merajut asa di
atas lahan orang. Mungkin itulah sebabnya, ayah tidak bisa mengabulkan semua
keinginanku yang berlebihan ketika itu. Sekali lagi maafkan anakmu yang nakal
ini ayah, karena pada saat itu hamid belum paham akan arti sebuah kehidupan.
Ayah. Aku sangat mengagumi pengorbanan dan perjuanganmu.
Setiap hari engkau selalu banting tulang. Di pagi buta, ketika semua orang
masih terlelap dalam buaian tidur, engkau sudah bersiap-siap menuju ladang
harapan, dengan penuh asa engkau hentakkan kaki meninggalkan rumah, demi
mencari sesuap nasi tuk penyambung nyawa dalam hidup ini.
Ayah. Kini aku telah dewasa, sedang berlari mengejar
cita-cita. Tahukah ayah, anakmu ini akan selalu bersungguh-sungguh dalam
menyelami lautan ilmu di sudut kota bertuah ini. Yah, tidak jarang pula badan
ini bermandikan keringat untuk mencari uang kuliah ketika libur tiba. Biarlah
Hamid rasakan tanggung jawab yang pernah ayah pikul, asal beban di pundak ayah tidak
semakin bertambah.
Ayah, Hamid ingin suatu saat nanti bisa melihat ayah
tersenyum bahagia ketika melihatku memakai toga wisuda. Hari ini juga telah aku
buktikan Yah, bahwa anak seorang buruh kehidupan juga bisa mengenyam bangku
perkuliahan. Walaupun dulu semua orang kampung berkata kepadaku mustahil bisa
sekolah tinggi, berkat motivasi ayah aku bisa menjadi manusia yang tegar dalam
melewati semak belukar.
Ayah. Hamid tahu keringatmu di kampung sedang menantikan
keberhasilanku. Terimakasih Yah, atas semua perjuangan dan pengorbanan yang
telah engkau persembahkan bagiku. Terakhir terucap salam cinta dan doa dari
anakmu yang sedang melayari samudera ilmu di rantau. Semoga ayah selalu dalam
lindungan Allah dan diberikan kekuatan oleh-Nya, agar suatu saat nanti kita
bertemu dan bisa merasakan kebahagiaan hidup bersama-sama.
Anakmu
tercinta
Abdul
Hamid
Batinku
sedikit tenang setelah mencurahkan isi hati dalam lembaran-lembaran putih itu.
Setidaknya surat yang kutulis dalam secarik kertas itu mampu menyatukan rinduku
kepada orangtua sematawayangku itu, seorang lelaki sekaligus sebagai sosok
seorang ibu setelah kepergian wanita yang melahirkanku sepuluh tahun lalu.
“Assalamu
‘alaikum, Syukron”
“Walaikum salam. Ada apa Mid ?”
“Ini
Ron, aku mau mengantar surat yang mau dititip ke rumah”
“O,
iya Mid”
“Kapan
jadi pulang Ron ?”
“Insyaallah nanti malam Mid”
“O,
sebelumnya terimakasih banyak ya Ron. Selamat jalan aja, semoga nanti selamat
sampai tujuan”
“Oke
Mid, terimakasih atas doanya”
***
Lelaki
muda itu tampak mendekatiku yang sedang membaca buku di teras kos. Sekilas
kupandang, sosoknya tidak asing bagiku. Akupun menjatuhkan mata dalam setiap
hentak kakinya. Semakin ia mendekat semakin jelas bagiku bahwa dialah teman
yang kuberi amanah tuk menyampaikan surat kepada ayah di kampung satu bulan
yang lalu.
“Apa kabar Mid ?”
“Alhamdulillah kabar baik. Kapan sampai
ke Pekanbaru ini Ron?”
“O,
tadi pagi kawan”
“O.
Surat yang aku titip sudah Syukron kasi?”
“Iya
Mid, surat yang kamu titip kemarin sudah aku berikan ke pamanmu”
“Ke
paman ? kenapa bukan ke ayah Ron ?” jawabku penuh tanda tanya besar dalam hati.
“Sebenarnya begini Mid, ayahmu di kampung
sedang sakit parah. Ketika aku datang ke rumahmu beliau sedang tidak sadarkan
diri. Kata pamanmu sudah satu bulan terakhir ini beliau hanya bisa berbaring di
ranjang, kaki beliau mengalami kelumpuhan. Entahlah apa penyebabnya Mid,
pamanmu juga katanya kurang tahu”
Serasa
bumi runtuh menimpa tubuhku yang kerdil, aku terkapar antara pingsan dan sadar.
Nalarku tak berkutik. Aku mencoba tuk berdiri dari puing-puing reruntuhan.
Dengan merangkak, kususuri jalan panjang menuju masa lalu. Kulepaskan semua asa
yang hendak menghampiriku. Tanpa pikir panjang, akupun pulang.
0 komentar:
Posting Komentar