Info Penting Hari Ini !!!

Selamat Datang di KARYA KAMAL. Apa yang Sedang Sahabat Cari ??? Moga Blog Ini Bisa Membantu Sahabat Semua...!!! Kabar Gembira, Novel Sampan di Seberang akan segera dipublikasikan di blog ini agar para sahabat setia bisa menikmati karya yg pernah menang dalam kompetisi novel ini. Novel "Sampan di Seberang" diangkat dari kisah nyata pengalaman mengabdi di daerah terpencil. Novel "Sampan di Seberang" Tentang Pengabdian, Persahabatan & Kenangan, Tunggu Kehadirannya...!!! Karya Kamal; Novel Jalan Impian, Novel Pardangolan, Novel Sampan di Seberang, Buku Bait Bait Hati & Buku Facebook Mengguncang Dunia Akhirat. __Mustopa Kamal Batubara__ __Facebook: Mustopa Kamal Batubara.__ __Instagram: @kamal_btr.____Twitter: @mustopakamalBTR____Email: mustopakamalbatubara@gmail.com__ __Salam Karya Kamal__

Minggu, 13 Desember 2015

Siluet Ayah
Oleh: Mustopa Kamal Batubara


Pintu-pintu tamu tertutup sudah. Kelam semakin merekah. Suara jangkrik saling bersahutan tak kenal lelah. Tangan-tangan alim menengadah, berharap keluar dari cengkraman susah.
***
“Kapan pulang Nak ?”
“Maaf Yah, Hamid belum bisa pulang karena masih kuliah”
“Ya sudah, ayah mendoakan kamu agar kelak jadi orang sukses”
Aku terbangun. Kupandangi jam yang menempel di dinding kos, jarumnya tepat mengarah ke angka dua. Entah kenapa ayah tiba-tiba menyuruhku pulang dalam mimpi dini hari ini. Degup jantungku kian kencang. Berbagai soal tanpa jawaban menggrogoti benakku.
Akhir-akhir ini seorang yang kukagumi itu selalu lalu-lalang melintasi jalan khayalku. Sosok itu bak kunang-kunang. Terkadang tampak jelas, namun dengan cepat akan menghilang dari pandangan. Siluet itu selalu datang merasuki jasadku, lalu ia pergi begitu saja. Nalarku buntu tuk menangkap pesan yang hendak disampaikannya.
“Hamid sedang apa ?” ujar temanku Syukron yang tiba-tiba menghampiriku di dalam kos.
“Eh.. Syukron. Tidak ada Ron, hanya lagi duduk-duduk saja”
“O. Kelihatannya kamu lagi ada masalah ya ?”
“Iya Ron. Akhir-akhir ini perasaanku aneh sekali. Entah kenapa, padahal aku tidak biasanya seperti ini”
“Aneh, maksud kamu ?”
“Akhir-akhir ini aku sering bermimpi dan teringat sama ayahku di kampung”
“O. Mungkin karena kamu lagi kangen sama beliau Mid”
“Entahlah Ron, aku juga kurang paham”
“O. Sebentar lagi kan kita sudah libur semester genap. Nanti kan bisa pulang kampung, biar kumpul lagi sama keluarga. Kalau jurusan kami ujian tinggal satu hari lagi Mid, jadi lusa udah bisa pulang. Kalau jurusan Hamid emang ujiannya berapa hari lagi ?”
“Satu minggu lagi Ron.”
“Selepas itu sudah bisa pulang kan ?”
“Aku tidak pulang Ron”
“Kenapa Mid ?”
“Aku tidak diizinkan atasanku libur kerja. Bahkan waktu libur kuliah nanti jadwal kerjaku semakin padat. Maklumlah Ron, kamu kan sudah tahu bagaimana agar aku bisa tetap bertahan kuliah”
“O. Iya Mid aku paham kok, perjuanganmu kelak pasti berbuah manis. Ngomong-ngomong nanti Hamid ada pesan nggak yang mau disampaikan sama keluarga di kampung ?”
“Iya Ron, nanti malam saja aku tulis di surat”
“O, oke Mid”

Pekanbaru, 10 November 2015

Kepada yang luar biasa,
Ayah di Bange Malintang, Mandailing.

Assalaamu ‘Alaikum Wr. Wb...
Sebelumnya Hamid mendoakan semoga ayah di kampung senantiasa diberi Allah kesehatan dan umur panjang, agar suatu saat nanti kita bisa merasakan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.
Di sudut malam ini, kugoreskan pena di lembaran putih dengan perasaan tidak menentu, ada perasaan bahagia karena aku bisa menyampaikan curahan hati melalui surat kecil ini, ada juga perasaan was-was karena akhir-akhir ini ayah selalu hadir dalam alam bawah sadarku. Tapi Yah, itu mungkin hanya sekedar halusinasiku.
Ayah. Tahukah ayah, ini adalah surat pertamaku, yang khusus Hamid persembahkan sebagai tanda cinta dan rindu. Apakah ayah tahu juga, ketika menulis surat ini Hamid berusaha menahan linangan air mata, paling tidak sampai Hamid selesaikan tulisan ini. Tapi mata ini berontak Yah, akhirnya air kubiarkan mengalir menganak sungai meluap melewati sudut pandangan.
Ayah. Engkaulah satu-satunya lelaki yang mencintaiku tanpa syarat, yang setia menjaga dan menuntunku sepanjang hayat. Engkau yang mengingatkan ketika aku terlupa, engkau yang yang mensehati ketika aku tersalah dan engkaulah yang selalu menghiburku di waktu gundah.
Masih teringat jelas dalam rekaman ingatanku momen-momen indah dulu. Saat adzan shubuh berkumandang, engkau selalu menuntunku tuk tunaikan kewajiban kepada tuhan. Saat senja menyapa alam aku selalu kau dudukkan di pangkuanmu sembari mengajariku lantunan ayat-ayat tuhan. Saat malam menjelang engkau selalu menemaniku dan menceritakan dongeng sampai aku terlelap lugu. Ayah, semua kenangan indah itu terasa baru saja berlalu dan masih tampak nyata dalam bingkai rinduku. Hamid yakin ayah juga masih mengingat hari-hari indah yang tak terlupakan itu.
Ayah. Maafkan kenakalanku yang dulu, yang terlalu egois dan bertindak sesuka hati karena keinginanku yang tidak ayah turuti. Di saat itu aku iri kepada teman-teman yang lain, ketika melihat mereka dibelikan mainan oleh ayahnya, sedang aku tidak. Tapi sekarang hamid telah sadari ayah, bahwa kehidupan kita tidak sama dengan teman-temanku itu. Orangtuanya pegawai berdasi, sedangkan kita hanyalah buruh kehidupan yang selalu merajut asa di atas lahan orang. Mungkin itulah sebabnya, ayah tidak bisa mengabulkan semua keinginanku yang berlebihan ketika itu. Sekali lagi maafkan anakmu yang nakal ini ayah, karena pada saat itu hamid belum paham akan arti sebuah kehidupan.
Ayah. Aku sangat mengagumi pengorbanan dan perjuanganmu. Setiap hari engkau selalu banting tulang. Di pagi buta, ketika semua orang masih terlelap dalam buaian tidur, engkau sudah bersiap-siap menuju ladang harapan, dengan penuh asa engkau hentakkan kaki meninggalkan rumah, demi mencari sesuap nasi tuk penyambung nyawa dalam hidup ini.
Ayah. Kini aku telah dewasa, sedang berlari mengejar cita-cita. Tahukah ayah, anakmu ini akan selalu bersungguh-sungguh dalam menyelami lautan ilmu di sudut kota bertuah ini. Yah, tidak jarang pula badan ini bermandikan keringat untuk mencari uang kuliah ketika libur tiba. Biarlah Hamid rasakan tanggung jawab yang pernah ayah pikul, asal beban di pundak ayah tidak semakin bertambah.
Ayah, Hamid ingin suatu saat nanti bisa melihat ayah tersenyum bahagia ketika melihatku memakai toga wisuda. Hari ini juga telah aku buktikan Yah, bahwa anak seorang buruh kehidupan juga bisa mengenyam bangku perkuliahan. Walaupun dulu semua orang kampung berkata kepadaku mustahil bisa sekolah tinggi, berkat motivasi ayah aku bisa menjadi manusia yang tegar dalam melewati semak belukar.
Ayah. Hamid tahu keringatmu di kampung sedang menantikan keberhasilanku. Terimakasih Yah, atas semua perjuangan dan pengorbanan yang telah engkau persembahkan bagiku. Terakhir terucap salam cinta dan doa dari anakmu yang sedang melayari samudera ilmu di rantau. Semoga ayah selalu dalam lindungan Allah dan diberikan kekuatan oleh-Nya, agar suatu saat nanti kita bertemu dan bisa merasakan kebahagiaan hidup bersama-sama.

Anakmu tercinta
Abdul Hamid

Batinku sedikit tenang setelah mencurahkan isi hati dalam lembaran-lembaran putih itu. Setidaknya surat yang kutulis dalam secarik kertas itu mampu menyatukan rinduku kepada orangtua sematawayangku itu, seorang lelaki sekaligus sebagai sosok seorang ibu setelah kepergian wanita yang melahirkanku sepuluh tahun lalu.
 “Assalamu ‘alaikum, Syukron”
Walaikum salam. Ada apa Mid ?”
“Ini Ron, aku mau mengantar surat yang mau dititip ke rumah”
“O, iya Mid”
“Kapan jadi pulang Ron ?”
Insyaallah nanti malam Mid”
“O, sebelumnya terimakasih banyak ya Ron. Selamat jalan aja, semoga nanti selamat sampai tujuan”
“Oke Mid, terimakasih atas doanya”
***
Lelaki muda itu tampak mendekatiku yang sedang membaca buku di teras kos. Sekilas kupandang, sosoknya tidak asing bagiku. Akupun menjatuhkan mata dalam setiap hentak kakinya. Semakin ia mendekat semakin jelas bagiku bahwa dialah teman yang kuberi amanah tuk menyampaikan surat kepada ayah di kampung satu bulan yang lalu.
 “Apa kabar Mid ?”
Alhamdulillah kabar baik. Kapan sampai ke Pekanbaru ini Ron?”
“O, tadi pagi kawan”
“O. Surat yang aku titip sudah Syukron kasi?”
“Iya Mid, surat yang kamu titip kemarin sudah aku berikan ke pamanmu”
“Ke paman ? kenapa bukan ke ayah Ron ?” jawabku penuh tanda tanya besar dalam hati.
 “Sebenarnya begini Mid, ayahmu di kampung sedang sakit parah. Ketika aku datang ke rumahmu beliau sedang tidak sadarkan diri. Kata pamanmu sudah satu bulan terakhir ini beliau hanya bisa berbaring di ranjang, kaki beliau mengalami kelumpuhan. Entahlah apa penyebabnya Mid, pamanmu juga katanya kurang tahu”
Serasa bumi runtuh menimpa tubuhku yang kerdil, aku terkapar antara pingsan dan sadar. Nalarku tak berkutik. Aku mencoba tuk berdiri dari puing-puing reruntuhan. Dengan merangkak, kususuri jalan panjang menuju masa lalu. Kulepaskan semua asa yang hendak menghampiriku. Tanpa pikir panjang, akupun pulang.






0 komentar:

Translate

Jumlah Pembaca

Instagram @kamal_btr