Apa
kabar sobat Kamal ?, semoga keberuntungan masih setia menemani sobat
muda. Nggak terasa ya kita udah mulai disibukin dengan tugas-tugas
kampus, tapi jangan khawatir, penulis di sini akan tetap setia menemani
sobat semua untuk bantu ngerjain tugas-tugas yang membuat kepala mau
pecah tu. Nah, kali ini penulis akan berbagi makalah tentang Fiqh Munakahat,
selamat membaca ya..!!!!
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................
Daftar Isi ............................................................................................................
BAB I
Pendahuluan
Latar
Belakang ...........................................................................
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Perkawinan ..........................................................
B. Hukun Pernikahan .................................................................
C. Rukun dan Syarat Sah
Nikah ................................................
D. Wanita yang Haram di
Nikahi ...............................................
E.
Hikmah
Pernikahan / Perkawinan ..........................................
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan ...........................................................................
B.
Saran
...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
Pendahuluan
Munakahat berarti pernikahan atau
perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia,
kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga
kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu
ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk
membentuk keluarga yang bahagia dlan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah
adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam
usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia.
Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang
diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum
yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi
bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari
perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya
syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan
tersebut baik menurut hukum agama/fiqih munakahat atau pemerintah
(Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak
terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat
atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan
salah satunya.
Berawal
dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba
membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam
hubungan antara keduanya.
Pembahasan
A. Pengertian Perkawinan
Secara bahasa
: kumpulan, bersetubuh,
akad secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki
dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Kata nikah berasal dari bahasa
arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah
menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan
antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan
akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki -
laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah
SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah.
Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini
akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki
maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang
berada disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara
laki - laki dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana pernikahan akan
membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan masyarakat
disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa
mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat
menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi
keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu.
Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3
sebagai berikut :
” Maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang
kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku
adil maka (kawinilah) seorang saja .” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada
orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang
dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa
pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga
menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat
tertentu.
B. Hukum Nikah
Para fuqaha mengklasifikasikan
hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
·
Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar
jatuh ke dalam zina.
·
Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara
diri dari zina.
·
Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah
dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
·
Makruh,
bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan
isterinya.
·
Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga
merugikan isterinya.
C. Rukun dan Syarat Sah Nikah
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun
yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam
menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada
mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai
bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai
miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan
kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk
selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a. Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang
hadir.
b. Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah
:
a. Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka )
b. Bukan mahrom dari calon isteri
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita
adalah :
a. Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah)
& mukallaf
b. Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa
‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a. Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b. ‘Adil
c. Tidak dipaksa.
d. Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah
sebagai berikut:
a. Ayah
b. Kakek
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f. Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g. Paman sekandung
h. Paman seayah
i.
Anak laki-laki dari paman
sekandung
j.
Anak laki-laki dari paman seayah.
k. Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun
semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi
Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil
agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :
a. Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b. ‘Adil
c. Dapat mendengar dan melihat.
d. Tidak dipaksa.
e. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar
:
a. Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan
lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada
saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b. Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya,
bukan kepada/milik mertua.
c. Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah
adanya persetubuhan.
d. Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan
dengan kerelaan.
e. Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam
menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku.
Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat.
Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula.
D.
Wanita yang Haram di Nikahi
Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu
kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang
telah lampai. Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan
seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu
(mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah
kamu nikahi (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa:22-24).
Dalam tiga ayat diatas
Allah SWT menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikai. Dengan mencermati
firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tahrim, pengharaman’ ini
terbagi dua:
Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku
selama-lamanya), yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang
laki-laki di segenap waktu.
Kedua: Tahrim Muaqqat
(pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan berubah, gugurlah
tahrim itu dan ua menjadi halal.
Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga:
Pertama karena nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan)
dan ketiga karena penyusuan.
Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena
nasab adalah :
1.
Ibu
2.
Anak perempuan
3.
Saudara perempuan
4.
Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5.
Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6.
Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7.
Anak perempuan saudara perempuan).
Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena
mushaharah adalah :
1. Ibu istri (ibu mertua),
dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur” lebih
dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu
menjadi haram atau menantu tersebut.
2. Anak perempuan dari
isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad nikah
dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak
perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada
firman Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan
sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian menikahinya.”
(An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu
perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar dilangsungkannya akad
nikah.
4. Isteri bapak (ibu tiri)
diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar terjadinya
akad nikah dengannya.
Ketiga: perempuan-perempuan
yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu
kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.”
(an-Nisaa’:23).
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan
haram sebagaimana yang menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih:
Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157,
’Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati
kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki
dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak
yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:
1. Ibu susu (nenek)
2. Ibu Ibu susu (nenek dari
pihak Ibu susu)
3. Ibu Bapak susu (kakek)
4. saudara perempuan ibu
susu (bibi dari pihak ibu susu)
5. Saudara perempuan bapak
susu
6. cucu perempuan dari Ibu
susu
7. Saudara perempuan
sepersusuan
Persusuan Yang Menjadikan Haram
Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak
bisa menjadikan haram, sekali isapan dan dua kali isapan.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud
VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).
Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk
ayat Qur’an yang diwahyukan. Sepuluh kali penyusuan yang tertentu menjadi
haram. Kemudian dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima kali penyusuan
tertentu sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an
itu tetap di baca sebagai bagian dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim
no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308
no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100). Dipersyaratkan
hendaknya penyusuan itu berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah, ”Para
Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw.
bersabda, ”Tidak menjadi haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah
usus-usus di payudara dan ini terjadi sebelum disapih.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk
Sementara Waktu
1. Mengumpulkan dua
perempuan yang bersaudara
Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada
lampau.” (An-Nisaa’:23).
2. Mengumpulkan seorang
isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,
”Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak
ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi
II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i
VI:98).
3. Isteri orang lain dan
wanita yang menjalani masa iddah.
”Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini
wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang
menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah
berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini
mengacu pada hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus
pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya, lantar mereka
memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di
antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw
merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka
berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu
menurunkan ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita
bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal kamu
campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim
no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan
’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141).
4. Wanita yang dijatuhi
talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama
sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT
berfirman, ”Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah
:230).
5. Kawin dengan wanita
pezina
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi
wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan
seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas
sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina
tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan
perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina
atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
yang mukmin.” (An-Nuur : 3).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari datuknya
bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan perang
dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama ’Anaq yang ia
adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui Nabi saw. lalu
kutanyakan kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan ’Anaq Mak
Beliau diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau
memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda, ”Janganlah
engkau menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48
no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).
E. hikmah Pernikahan /
Perkawinan
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan
dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula
dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1.
Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2.
Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3.
Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl :
72)
Rasulullah
berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya
akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4.
Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah
pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara
kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan
dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena
sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari
dan Muslim dalam Kitab Shaum
Penutup
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan
yang disyariatkan dalam agama Islam.
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki
dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat
asal dan pembawaan
manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib,makruh,atau haram.
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah
untuk memenuhi hajat manusia (prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam
rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantoro Sulaiman, SE, Agenda Pengantin,
Hidayatul Insan, Solo, 2002
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
http://www.kosmaext2010.com/makalah-fiqih-makalah-munakahat-perkawinan.php
sumber: http://makalah-fiqh.blogspot.com/2012/05/munakahat.html
1 komentar:
Terima kasih kak, sangat membantu materinya untuk presentasi di kelas. Kepoin website resmi kampusku yuk https://walisongo.ac.id/
Posting Komentar