FIKIH MUNAKAHAT
SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN
Oleh:
Mustopa Kamal
fakultas syariah
UIN SUSKA RIAU, PEKANBARU
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin... puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yamg telah membentangkan jalan keselamatan buat insan dan menerangi mereka dengan pelita yang terang benderang. Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk buat kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula, ucapan keselamatan atas keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat.
Alhamdulillah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan , kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karna itu kami sangat berterima kasih apabila ada kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan perkawinan, dimana perkawinan ini mencegak perbuatan yang melanggar norma – norma agama dan menghindari jinah.
Terpenuhinya syarat rukun perkawinan mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama, fiqih munakahat, dan pemerintah (kompilasi hukum islam). Bila salah satu syarat rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fiqih munakahat atau hukum islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pernikahan?
2. Apa saja rukun di dalam pernikahan tersebut?
3. Apa saja syarat-syarat pernikahan?
4. Dan lain-lain
C. TUJUAN PENULISAN
Ø Mengetahui hukum nikah
Ø Memahami rukun – rukun nikah
Ø Mengetahui syarat-syarat nikah
Ø Memahami hikmah pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN
A. Pengertian Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Selain defenisi diatas, ada beberapa defenisi pernikahan menurut empat mazdhab, yakni:
1. Definisi nikah dalam mazhab Hanafi
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang berakibat pada “pemilikan” seks secara sengaja.
Yang dimaksud dalam pemilikan seks itu adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta seluruh tubuh perempuan untuk dinikmati. Sudah tentu kepemilikan ini bukan bersifat hakiki, karena kepemilkan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.
2. Definisi nikah dalam mazhab Maliki
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa menyebutkan harga secara pasti sebelumnya.
Secara sederhana mazhab malikiyah mengatakan bahwa nikah adalah kepemilikan manfaat kelamin dan seluruh badan istri.
3. Definisi nikah dalam mazhab Syafi’i
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang berdampak akibat kepemilikan seks.
Inti dari definisi ini adalah kepemilikan hak bagi laki-laki untuk mengambil manfaat seksual dari alat kelamin perempuan, sebagian ulama syafi’iyah berpendapat bahwa nikah adalah akad yang memperbolehkan seks, bukan akad atas kepemilikan seks.
4. Definisi nikah dalam mazhab Hanbali
Ulama dalam mazhab ini tampak praktis dalam mendefinisikan pengertian dari nikah. Menurut ulama Hanbaliyah, nikah adalah akad yang diucapkan dengan menggunakan kata ankah atau tazwij untuk kesenangan seksual.
Sedangkan dalam Hukum Perkawinan Islam, definisi Nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkanhubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputu rasa kasih sayang.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
بِالصَّوْمِ فَعَلَيْهِ يَسْتَطِعْ لَمْ وَمَنْ لِلْفَرْجِ وَأَحْصَنُ لْبَصَرِ لِ أَغَضُّ فَإِنَّهُ فَلْيَتَزَوَّجْ الْبَاءَةَ مِنْكُمُ اسْتَطَاعَ مَنِ الشَّبَابِ مَعْشَرَ يَا
(مسلم و لبخارى رواه) وِجَاءٌ لَهُ فَإِنَّهُ
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim)
Istri ibarat tempat tinggal dan kebun bagi suami. Ia adalah teman mengarungi kehidupan, ratu rumah tangga, ibu dari anak-anak, pelabuhan hati dan tempat yang akan emberinya kesenangan dan ketentraman.[1] Oleh karena itu, Islam selalu menekankan pentingnya suami memilih istri yang saleha sebagaimana arti dari sabda Rasulullah SAW:
“Perempuan dinikahi karena empat perkara: harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Pilihlah perempuan yang memiliki (pemahaman) agama (yang baik), niscaya kamu beruntung.”
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
B. Rukun-rukun Pernikahan
Dalam memahami tentang Rukun perkawinan ini ada beberapa buku dan pendapat yang mengutarakan dan menguraikan dengan susunan yang berbeda tetapi tetap sama intinya. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.
Jumhur ‘Ulama’ sepakat bahwa Rukun perkawinan terdiri atas :
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :
اَيُّمَا امْرَأَةٍ نِكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا حُهَا بَاطِلٌ (اخرجه الاربعة الا للنسائ)
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal
3. Adanya dua orang saksi.
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksiakan akad nikah tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
لَا نِكَاحَ اِلِّا بِوَلِيِّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ (رواه احمد)
4. Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan ridhanya.
Berdasarkan pengertian di atas, ijab tidak dapat dikhususkan alam hati sang istri atau wali dan atau wakilnya. Demikian juga dengan qabul.
Jika seorang laki-laki berkata kepada wali perempuan: “Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan putrimu bernama si fulanah”. Wali menjawab: “Aku nikahkan kamu dengan putriku atau aku terima atau aku setuju”. Ucapan pertama disebut ijab dan ucapan kedua adalah qabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk ungkapan baik yang memberikan arti akad atau transaksi, dengan catatan jatuh pada urutan pertama. Sedangkan qabul adalah bentuk ungkapan yang baik untuk menjawab, dengan catatan jatuh pada urutan kedua dari pihak mana saja dari kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab. Sedangkan yang lain berkata: “ Aku terima” adalah qabul.
Tentang Jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
1. Wali dari pihak perempuan,
2. Mahar (maskawin)
3. Calon pengantin laki-laki
4. Calon pengantin perempuan
5. Sighat akad nikah
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
1. Calon pengantin laki-laki,
2. Calon pengantin perempuan,
3. Wali,
4. Dua orang saksi,
5. Sighat akad nikah.
Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki)[2]. Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
1. Sighat (ijab dan qabul)
2. Calon pengantin perempuan,
3. Calon pengantin laki-laki,
4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.
C. Syarat-syarat Pernikahan.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
A). Syarat-syarat calon Suami:
1. Beragama Islam
2. Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
4. Orangnya diketahui dan tertentu
5. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya.
6. Calon suami rela( tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan atas kemauan sendiri.
7. Tidak sedang melakukan Ihram.
8. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9. Tidak sedang mempunyai istri empat.
B). Syarat-syarat calon istri:
1. Beragama Islam atau ahli kitab.
2. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalam sedang iddah.
3. Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
4. Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
5. Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
6. Tidak sedang ihram haji atau umrah.
C). Syarat-syarat Ijab Qabul.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinan nya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Mrnurut pendirian hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya.
Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat di dengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asal masih di dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berplaing dari maksud akad itu.
Adapun lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafaz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah. Demikian menurut asy-Syafi’i dan Hambali. Sedangkan hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-Qur’an, misalnya menggunakan kalimat hibah, sedekah , pemilikan dan seagainya, dengan alasan, kata-kata ini adalah majas yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.
Contoh kalimat akad nikah adalah sebagai berikut:
اَنْكَحْتُكَ.....بِنْتِ.....بِمَهَرِاَلْفِرُوْبِيَّةٍحَالًا.
Aku kawinkan engkau dengan.......binti........dengan mas kawin Rp.1.000 tunai
Jawab atau kalimat kabul yang digunakan wajiblah sesuai dengan ijab.
Akad nikah itu wajib di hadiri oleh : dua orang saksi yang memenuhi syarat sebagai saksi, karena saksi merupakan syarat sah perkawinan.
Adapun dasar dari perkawinan itu wajib dengan akad nikah dan dengan lafadz atau kalimat tertentu adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
Yang artinya:
Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya engkau membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah. (HR. Muslim)
D). Syarat-syarat Wali.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria.Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita (janda) diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
a) Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
b) Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
c) Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
d) Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni ).
e) Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar, pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
f) Tidak sedang ihram haji atau umrah.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah: merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:
- Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
- Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
- Saudara laki-laki sebapak
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
- Paman (saudara dari bapak) kandung
- Paman (saudara dari bapak) sebapak
- Anak laki-laki paman kandung
- Anak laki-laki paman sebapak.
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib.
b. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila :
- Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
- Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
- Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
- Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
- Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
- Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
- Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
- Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
c. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.
E). Syarat-syarat Saksi.
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[3]
a) Saksi harus berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
b) Kedua saksi itu beragama islam.
c) Kedua orang saksi adalah orang yang merdeka.
d) Kedua saksi itu adalah orang laki-laki.
e) Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah (sopan sntun).
f) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
F. HIKMAH PERNIKAHAN
Islam meganjurkan dan menggalakkan pernikahan dengan cara seperti itu karna banyak sekali dampak positif yang sangat bermanfaat, baik bagi pelakunya sendiri maupun umat, bahkan manusia secara keseluruhan. Beberapa hikmah dari pernikahan yang di serukan islam adalah sebagai berikut :
· Naluri sex termasuk naluri yang paling kuat dank keras, serta sex mendesak manusia agar mencari objek penyalurannya. Ketika tidak dapat dipenuhi, banyak manusia yang terus di rundung kesedihan dan kegelisahan, lalu menjerumuskannya kepada jalan yang sangat buruk. Pernikahan merupakan kondisi alamiyah yang paling baik dan aspek biologis yang paling tepat untuk menyalurkan dan memenuhi kebutuhan naluri sex. Dengan cara ini, kegelisahan akan terendam, gejolak jiwa menjadi tenang, pandangan terjaga dari objek-objek yang haram, dan perasaan lebih nyaman untuk meraih apa yang dihalalkan oleh allah. Inilah kondisi yang disinggung dalam ayat al-qur’an, yang artinya : “ Dan diantara tanda – tanda kekuasaan Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentra kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar – benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Arrum : 21 )
· Nikah merupakan sarana paling baik untuk melahirkan anak dan memperbanyak keturunan, serta melanjutkan estafet kehidupan dengan menjaga keturunan yang dalam islam mendapat perhatian sangat besar. Rosulullah SAW bersabda :
Artinya : “ Menikahlah dengan wanita yang besar rasa sayangnya dan subur dan peranaknnya. Sesungghnya, aku membanggakan banyaknya jumlah kalian dihadapan para nabi pada hari kamat keak.” ( HR. Ahmad )
· Naluri kebapaan dan ke ibuan semakin berkembang dan sempurna seiring dengan keberadaan anak. Demikian juga perasaan hangat, kasih sayang dan cinta, semua itu merupakan ke istimewaan – keistimewaan yang jika tidak dimiliki oleh seorang manusia maka sisi kemanusiaannya tidak akakn sempurna.
· Rasa bertanggung jawab atas pernikahan dan pendidikan anak mendorong semangat hidup dan kerja keras untuk meningkatakan bakat dan potensi diri, sehingga menjadi giat bekerja untuk menanggung beban dan menunaikan segala kewajibannya. Dengan cara inilah berbagai bentuk aktivitas dan investasi semakin semarak sehingga sangat efektif dalam menigkatkan taraf kesejahteraan ekonomi dan produksifitas, serta mendorong esploitasi sekian banyak karunaia allah SWT berupa sumbeer daya alam yang sangat bermanfaat.
· Pembagian wilayah kerja yang membuat segala urusan didalam ataupun diluar rumah sama – sama menjadi rapih dan disertai dengan pembagan tanggung jawab yan jelas antar suami dan isteri atas tugas masing – masing. Dengan pembagian tugas yang adil antara suami dan istri, setiap pihak menjalankan tugas-tugasnya secara normal sesuai dengan cara yang diridhoi oleh allah dan terhormat dalam pandangan manusia, serta membuahkan sekian banyak hasil yang penuh berkah.
· Dampak – dampak positif pernikahan berupa trjalinnya hubungan erat antara beberapa – beberapa keluarga, terajutnya cinta kasih dan menguatnya berbagai bentuk hubungan sosial antara mereka, sangat diberkahi, didukung dan galakkan oleh islam. Sebab, masyarakat yang harmonis adalah masyarakat yang kuat dan bahagia.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, yang telah kami bahas. Maka kami mengambil kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1. Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
2. Saran
Sebagai penutup dari makalah ini, tak luput pula kami ucapkan ribuan terima kasih pada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah ini. Di samping itu, masih banyak kekurangan serta jauh dari kata kesempurnaan, tetapi kami semua telah berusaha semaksimal munkin dalam pembutan makalah yang amat sederhana ini. Maka, dari pada itu . kami semua sangat berharap kepada semua rekan-rekan untuk memberi kritik atau sarannya, sehingga dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, aliy. Terjemah Fathul Mu’in, Yogyakarta: Menara Kudus, 1976
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Munakahat, Kihtbah, Naikah, dan Talak, Jakarta: Sinar Grafia 2009.
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009,
Al-Ghazali, Menyingkap hakikat perkawinan, Bandung: Karisma, 1988
Ghazali, Abdurrahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008
Indi, Aunullah. Ensiklopedi Fiqh, Yogyakarta: Pustaka insan madani, 2008
Sa’id, Imam Al-ghazali dan Ahmad Zaidun.Terjemah Bidayatul Mujtahid, jakarta: Pustaka Amani, 1989
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi aksara, 2008
Sulaiman, H. Rasjid. Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1954
0 komentar:
Posting Komentar