Rintihan Siang
Cerpen: Mustopa Kamal Batubara
Senja menghilang. Malam terkembang.
Lampu-lampu jalan menghiasi kelam. Perempuan-perempuan jalang berkeliaran dari
kandang. Terpasang senyum merekah di balik lidah. Untaian kata mengecup mesra.
Lelaki hidung belang terawang-awang.
“Berapa
cantik ?” tanya seorang pria yang sedang berbicara dari dalam mobil berwarna
hitam.
“Buat
om satu juta saja”
“Itu
terlalu mahal. Om hanya bawa uang lima ratus ribu”
“Tambah
dua ratus ribu lagi, biar sama-sama oke”
“Uang
om hanya segini lagi. Kalau kamu mau, tambahnya besok om berikan”
“Oke
om”
Pria
hidung belang dan gadis jalang itu terlelap dibuai malam.
***
Perempuan
paruh baya itu tidak bisa tidur. Ia mondar-mandir di ruang tengah rumah. Ia
takut jika terjadi sesuatu hal terhadap putri sematawayangnya. Nalarnya
bercabang. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa pada seperdua malam itu.
Kakinya letih karena terlalu lama berdiri. Iapun duduk di bangku kayu dekat
pintu. Dipandanginya jarum jam yang semakin keras terdengar dawai malamnya.
“Kamu
dari mana saja Cika ?” ujar perempuan itu saat melihat putrinya masuk tanpa
salam.
“Dari tempat teman Bu” jawab gadis itu
berusaha berbohong.
“Setiap
malam ke rumah teman ?”
“Ibu
tidak usah banyak bertanya. Cika sudah dewasa”
“Maksud
kamu ?”
“Sudahlah
Bu, Cika mau tidur”
“Cika…
dengarkan perkataan ibu. Ibu tidak pernah mengajari kamu seperti ini. Apa kamu
tidak malu sama tetangga, setiap hari pulang tengah malam begini ?”
“Biarkan
saja mereka berkata apa. Tahu apa mereka tentang kita. Kita juga tidak pernah
mengusik kehidupan mereka”.
Cika
berlalu ke kamar.
***
Siang
yang menggerahkan. Tidak ada keteduhan. Kata-kata tak bertuan membisingkan.
Ingin sekali ibu Cika menutup telinganya ketika hendak ke warung itu membeli
keperluan rumah. Ia memang sudah tahu kalau ibu-ibu tetangganya itu pasti akan
selalu menanyakan keberadaan Cika ketika di warung.
“Bu
si Cika sudah tidak di sini lagi ya ?” ujar salah seorang wanita yang sedang
membeli sayur-mayur.
“Dia
ada di rumah. Ada apa Bu ?” kata ibu Cika dengan nada letih menjawab pertanyaan
yang selalu diulang-ulang ketika ia sedang berbelanja di warung itu.
“Owh..
tidak ada kok, cuma bertanya saja”
“Kelihatannya
dia jam segini tidak pernah keluar rumah ya ?” ujar perempuan lain yang sedang
membeli beras.
“Jam
segini dia biasanya masih tidur Bu”
“O.
Cika sering pulang tengah malam ya. Memang sekarang dia kerja apa ya ?”
“Tidak
ada Bu. Dia masih kuliah. Dia dari rumah temannya kalau malam”
“Setiap hari ke rumah teman ?”
“Sudahlah
Bu, saya pamit duluan ya. Nanti saya takut Cika mencari saya”
Ibu Cika berlalu dengan hati diiris
sembilu.
***
Desas-desus
di warung itu hampir saja membuat tekanan darah ibu Cika naik. Ia tidak mau
berlama-lama di tempat itu. Ia takut sewaktu-waktu penyakitnya kambuh dan membuat
dirinya nekat berbuat hal-hal yang tidak diinginkan. Dulu sewaktu muda hampir
saja ia mencekik leher seorang perempuan yang diduga selingkuh dengan almarhum
suaminya. Kalau saja dulu suaminya tidak melerai keributan itu dengan cepat,
mungkin hidup perempuan itu akan berakhir di tangannya.
“Ibu
dari mana ?” ujar Cika menghentikan langkah perempuan itu. “Kelihatannya ibu
sedang marah ?” Cika berusaha mengetahui perasaan ibunya.
“Bagaimana
tidak marah, semua ibu-ibu di perumahan ini sudah tahu kalau kamu selalu pulang
malam”
“Lantas
apa kata mereka tentang Cika Bu ?”
“Tanyakan
saja sama mereka langsung. Kamu sudah jadi bahan gunjingan penduduk di perumahan
ini. Ibu malu. Ibu tidak tahu lagi harus menyembunyikan muka kemana”
“Ibu
tidak usah mendengar mereka. Mereka pasti iri kalau melihat Cika bahagia”
“Maksudmu
?”
“Sudahlah
Bu. Ibu tidak usah mendengar perkataan mereka”
***
Gunjingan
telah membuat ibu Cika buta mata. Ia menyusuri kelam malam. Mencari tahu sebuah
kejanggalan. Dengan langkah renta, ia menyalip mobil-mobil yang sedang melintas
di jalan raya pinggiran kota itu. Di depannya tampak perempuan-perempuan binal
yang sedang menjajakan diri kepada lelaki pemuja syahwat. Pandangannya tertuju
pada seorang gadis yang sedang memakai baju kuning berdiri di samping mobil
yang sedang berhenti.
“Cika..”
“Ibu
?” Cika terheran melihat ibunya datang ke tempat stasiun nafsu itu.
“Lain
kali saja ya. Om tidak mau ikut campur urusan keluargamu” lelaki hidung belang
itupun membatalkan proses tawar-menawar yang sedang mereka lakukan.
“Apa
yang kamu lakukan di tempat terlaknat ini hah ?”
“Ibu
ada apa ke sini ?. Membuat malu Cika saja”
“Apa
kamu bilang, malu ?. Seharusnya kamu yang malu jadi perempuan murahan seperti
ini”
***
“Kenapa
kamu harus melakukan ini semua Cika ?” ujar perempuan yang telah lama ditinggal
mati suaminya itu. Suasana hening. Ia lanjut berbicara. “Warisan peninggalan
ayahmu masih cukup Nak tuk membelanjai kebutuhan kita sehari-hari”.
Gadis
itu hanya membisu. Mukanya masam.
“Kalau
saja ayahmu masih hidup, pasti beliau akan marah melihatmu seperti ini”
“Aku
mau pergi saja dari rumah ini, biar tidak ada lagi yang mengusik hidupku”
Gadis
itu segera mengkemas barangnya. Baju, sandal dan alat-alat rias ia bawa semua.
Ia berlalu meninggalkan airmata ibunya.
***
Dua
hari ini gadis itu merasa aneh sekali. Tubuhnya kaku. Demam. Batuk. Mual. Sakit
kepala. Perasaannya tak menentu. Tidak bisa konsentrasi. Bintik-bintik hitam
kemerah-merahan tiba-tiba menjamur di sekujur tubuhnya. Kulitnya mengelupas. Ia
tidak tahu sakit apa yang sedang menimpanya.
“Setelah diperiksa, anda positif sedang
mengidap penyakit HIV” ujar dokter muda itu.
“Apa
dok, HIV ?” Cika kaget.
“Iya.
Anda Positif HIV” dokter itu kembali menguatkan perkataannya.
Gadis
malang itu pulang dari rumah sakit ditemani temaram. Langkahnya gontai meratap
bumi. Ia telah dikhianati malam. Malam pergi menghilang. Hanya ada siang
panjang dihiasi rintihan.
0 komentar:
Posting Komentar