Adat Moyang
Cerpen: Mustopa Kamal Batubara
Bola
mataku hampir saja lepas dari cangkangnya. Letih. Jenuh. Bosan rasanya mencari
buku yang kumaksud di antara jejeran rak yang tertata bak pasukan militer yang
sedang berbaris mendengarkan komando atasannya. Ingin rasanya segera
meninggalkan ruang yang dipenuhi para pemburu ilmu ini. Tidak bisa. Aku harus
menemukan buku itu. Penting. Aku tidak akan bisa menyelesaikan tugas skripsi
tanpa buku yang entah dimana rimbanya itu.
Suasana
hening. Tegang. Senyap. Mencari buku berhenti sejenak. Dua pasang mata saling
berpandangan. Tak kuduga sebelumnya. Tak ada isyarat yang menandakan akan ada
pertemuan. Ya, pertemuan yang tak kukehendaki. Aku kaget. Rona matamu penuh
harap pada pandanganku. Tatapanmu sayu. Ingin dipahami.
“Sungguh
tak kusangka kita dipertemukan takdir di tempat ini” katamu padaku di tengah
kebisingan siang.
“Ya
Nur, aku juga tidak menduga. Bagaimana kabarmu ?”
“Apakah
kau masih ingin tahu kabarku” jawabanmu sedikit angkuh. Matamu kosong.
“Kusangka kau ingin melupakanku selama-lamanya”
“Aku
tidak akan pernah melupakanmu Nur. Aku masih sayang kepadamu. Rasa itu masih
ada sampai sekarang”
“Jika
kamu masih mempunyai perasaan terhadapku, kenapa kamu menghilang tanpa kabar.
Kutelepon nomor HP mu, tidak aktif. Kucari akun media sosialmu, ternyata tak
dapat kutemukan lagi. Kutanya teman-temanmu tak satupun yang mau memberitahu
keberadaanmu”
“Maafkan
aku Nur. Saat ini aku sedang ingin fokus menyelesaikan skripsi. Aku ingin cepat
bisa wisuda”
“Wisuda
?”
“Ya.
Setelah itu aku akan…”
“Akan
datang melamarku seperti pesan SMS yang pernah kau kirim lima bulan lalu ?”.
“Entahlah.
Bukan aku tak mau datang melamarmu Nur, tapi….”
“Tapi
adat dan budaya kita berbeda ?” kamu menyambung perkataanku. “Itukah jawaban
yang kamu maksud ?” kata-kata meluncur dari bibirmu tanpa henti. Suasana senyap.
“Bukankah dulu pernah kau katakan, adat tak jadi penghalang bagi kita tuk
bertemu di pelaminan, bukankah adat moyangmu itu sudah tidak berlaku lagi saat
ini ?”.
Aku
tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya kepadamu. Ruh moyangku itu sudah menyatu
dengan jasadku. Sudah pernah kuceritakan kepadamu tentang kebiasaan leluhurku.
Kalau kami ingin menikah, kami harus pulang kampung mencari calon istri yang
sesuku. Bukan karena akan ada sanksi yang kami terima jika tidak kami perbuat.
Toh, sekarang banyak juga saudara-saudaraku di rantau yang menikah dengan
perempuan yang tidak sesuku. Tapi aku beda. Aku ingin kehidupan dunia akhiratku
langgeng. Aku belum bisa memutus darahku dengan mencampurbaurkannya dengan
darah yang tidak menghargai adat dan budaya leluhurku.
Kau
tetap saja termenung mendengar penjelasanku. Aku lanjutkan. Aku takut kelak
jika kita yang akan membangun rumah tangga, kau tidak bisa melebur dengan
adatku yang sangat asing itu bagimu. Dulu kau pernah berkata padaku. Kau heran
melihat adat, budaya dan tutur bahasaku. Katamu bahasa moyangku sangat jauh
berbeda dengan bahasa negeri kita ini. Bahkan kau bilang bahasa yang kututurkan
adalah bahasa dari planet lain. Ketika itu, kau pun kuvonis sebagai orang yang tidak
memahami kekayaan adat dan budaya Indonesia.
Setelah
kau hampir tersungkur ke bumi mendengar semburan kata-kataku. Kau ajak aku ke
bangku yang berjejer di perpustakaan itu. Kau sengaja memilih tempat yang sepi
agar orang lain tidak mendengar pembicaraan kita.
“Lantas
kenapa kau menghilang begitu saja. Tanpa ada kejelasan hubungan kita ?” katamu
memulai kembali pembicaraan setelah kita duduk di bangku itu.
“Aku
kurang suka mendengar kata-katamu tempo hari yang secara tidak langsung menyudutkan
adat, budaya dan bahasa leluhurku”
“Aku
minta maaf”
“Kata
maaf takkan mampu mengobati luka hati moyangku”
“Lantas
?”
“Aku
akan memaafkanmu dengan syarat kau berjanji tidak akan merendahkan adat
leluhurku lagi”
“Ya
aku berjanji. Apakah kau masih ingin merajut kembali hubungan kita ?”
“Kurasa
kita tidak jodoh Nur. Kelihatannya moyangku tidak merestui hubungan kita lagi”
“Semua
kaukatakan atas nama moyang. Semua orang juga punya moyang” suaramu sedikit
meninggi.
“Kita
berbeda Nur. Aku dilahirkan oleh adat moyang yang mengerang. Sedang kau…”
“Maksudmu,
aku tidak mempunyai adat ?”
“Bukan.
Kau juga mempunyai adat leluhur. Tapi…”
“Tapi
apa ?”
“Sudahlah
tidak perlu kita bahas lagi”
Kau
pergi dengan kedangkalan adat. Kau tinggalkan aku sendiri di meja dan kursi
yang masih ingin bersamamu. Tanpa menemui titik terang. Kau turuni jejeran anak
tangga lantai tiga perpustakaan ini. Langkahmu ditatih rasa gusar, kecewa,
marah. Wajahmu memerah mentari siang hari. Kau hilang ditelan ketidakpastian.
0 komentar:
Posting Komentar