Info Penting Hari Ini !!!

Selamat Datang di KARYA KAMAL. Apa yang Sedang Sahabat Cari ??? Moga Blog Ini Bisa Membantu Sahabat Semua...!!! Kabar Gembira, Novel Sampan di Seberang akan segera dipublikasikan di blog ini agar para sahabat setia bisa menikmati karya yg pernah menang dalam kompetisi novel ini. Novel "Sampan di Seberang" diangkat dari kisah nyata pengalaman mengabdi di daerah terpencil. Novel "Sampan di Seberang" Tentang Pengabdian, Persahabatan & Kenangan, Tunggu Kehadirannya...!!! Karya Kamal; Novel Jalan Impian, Novel Pardangolan, Novel Sampan di Seberang, Buku Bait Bait Hati & Buku Facebook Mengguncang Dunia Akhirat. __Mustopa Kamal Batubara__ __Facebook: Mustopa Kamal Batubara.__ __Instagram: @kamal_btr.____Twitter: @mustopakamalBTR____Email: mustopakamalbatubara@gmail.com__ __Salam Karya Kamal__

Minggu, 13 Desember 2015

Adat Moyang
Cerpen: Mustopa Kamal Batubara


Bola mataku hampir saja lepas dari cangkangnya. Letih. Jenuh. Bosan rasanya mencari buku yang kumaksud di antara jejeran rak yang tertata bak pasukan militer yang sedang berbaris mendengarkan komando atasannya. Ingin rasanya segera meninggalkan ruang yang dipenuhi para pemburu ilmu ini. Tidak bisa. Aku harus menemukan buku itu. Penting. Aku tidak akan bisa menyelesaikan tugas skripsi tanpa buku yang entah dimana rimbanya itu.
Suasana hening. Tegang. Senyap. Mencari buku berhenti sejenak. Dua pasang mata saling berpandangan. Tak kuduga sebelumnya. Tak ada isyarat yang menandakan akan ada pertemuan. Ya, pertemuan yang tak kukehendaki. Aku kaget. Rona matamu penuh harap pada pandanganku. Tatapanmu sayu. Ingin dipahami.
“Sungguh tak kusangka kita dipertemukan takdir di tempat ini” katamu padaku di tengah kebisingan siang.
“Ya Nur, aku juga tidak menduga. Bagaimana kabarmu ?”
“Apakah kau masih ingin tahu kabarku” jawabanmu sedikit angkuh. Matamu kosong. “Kusangka kau ingin melupakanku selama-lamanya”
“Aku tidak akan pernah melupakanmu Nur. Aku masih sayang kepadamu. Rasa itu masih ada sampai sekarang”
“Jika kamu masih mempunyai perasaan terhadapku, kenapa kamu menghilang tanpa kabar. Kutelepon nomor HP mu, tidak aktif. Kucari akun media sosialmu, ternyata tak dapat kutemukan lagi. Kutanya teman-temanmu tak satupun yang mau memberitahu keberadaanmu”
“Maafkan aku Nur. Saat ini aku sedang ingin fokus menyelesaikan skripsi. Aku ingin cepat bisa wisuda”
“Wisuda ?”
“Ya. Setelah itu aku akan…”
“Akan datang melamarku seperti pesan SMS yang pernah kau kirim lima bulan lalu ?”.
“Entahlah. Bukan aku tak mau datang melamarmu Nur, tapi….”
“Tapi adat dan budaya kita berbeda ?” kamu menyambung perkataanku. “Itukah jawaban yang kamu maksud ?” kata-kata meluncur dari bibirmu tanpa henti. Suasana senyap. “Bukankah dulu pernah kau katakan, adat tak jadi penghalang bagi kita tuk bertemu di pelaminan, bukankah adat moyangmu itu sudah tidak berlaku lagi saat ini ?”.
Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya kepadamu. Ruh moyangku itu sudah menyatu dengan jasadku. Sudah pernah kuceritakan kepadamu tentang kebiasaan leluhurku. Kalau kami ingin menikah, kami harus pulang kampung mencari calon istri yang sesuku. Bukan karena akan ada sanksi yang kami terima jika tidak kami perbuat. Toh, sekarang banyak juga saudara-saudaraku di rantau yang menikah dengan perempuan yang tidak sesuku. Tapi aku beda. Aku ingin kehidupan dunia akhiratku langgeng. Aku belum bisa memutus darahku dengan mencampurbaurkannya dengan darah yang tidak menghargai adat dan budaya leluhurku.
Kau tetap saja termenung mendengar penjelasanku. Aku lanjutkan. Aku takut kelak jika kita yang akan membangun rumah tangga, kau tidak bisa melebur dengan adatku yang sangat asing itu bagimu. Dulu kau pernah berkata padaku. Kau heran melihat adat, budaya dan tutur bahasaku. Katamu bahasa moyangku sangat jauh berbeda dengan bahasa negeri kita ini. Bahkan kau bilang bahasa yang kututurkan adalah bahasa dari planet lain. Ketika itu, kau pun kuvonis sebagai orang yang tidak memahami kekayaan adat dan budaya Indonesia.
Setelah kau hampir tersungkur ke bumi mendengar semburan kata-kataku. Kau ajak aku ke bangku yang berjejer di perpustakaan itu. Kau sengaja memilih tempat yang sepi agar orang lain tidak mendengar pembicaraan kita.
“Lantas kenapa kau menghilang begitu saja. Tanpa ada kejelasan hubungan kita ?” katamu memulai kembali pembicaraan setelah kita duduk di bangku itu.
“Aku kurang suka mendengar kata-katamu tempo hari yang secara tidak langsung menyudutkan adat, budaya dan bahasa leluhurku”
“Aku minta maaf”
“Kata maaf takkan mampu mengobati luka hati moyangku”
“Lantas ?”
“Aku akan memaafkanmu dengan syarat kau berjanji tidak akan merendahkan adat leluhurku lagi”
“Ya aku berjanji. Apakah kau masih ingin merajut kembali hubungan kita ?”
“Kurasa kita tidak jodoh Nur. Kelihatannya moyangku tidak merestui hubungan kita lagi”
“Semua kaukatakan atas nama moyang. Semua orang juga punya moyang” suaramu sedikit meninggi.
“Kita berbeda Nur. Aku dilahirkan oleh adat moyang yang mengerang. Sedang kau…”
“Maksudmu, aku tidak mempunyai adat ?”
“Bukan. Kau juga mempunyai adat leluhur. Tapi…”
“Tapi apa ?”
“Sudahlah tidak perlu kita bahas lagi”
Kau pergi dengan kedangkalan adat. Kau tinggalkan aku sendiri di meja dan kursi yang masih ingin bersamamu. Tanpa menemui titik terang. Kau turuni jejeran anak tangga lantai tiga perpustakaan ini. Langkahmu ditatih rasa gusar, kecewa, marah. Wajahmu memerah mentari siang hari. Kau hilang ditelan ketidakpastian.


0 komentar:

Translate

Jumlah Pembaca

Instagram @kamal_btr