Makalah
Sistem
Peradilan Pidana
Jinayah
siyasah
Fakultas syariah
& hukum
UIN SUSKA RIAU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem peradilan pidana merupakan
suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat
dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila
dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana
berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise
justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi
oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam
penegakan hukum.Proses Hukum Yang Adil ( Layak ). Di dalam pelaksanaan
peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita
peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak Secara keliru arti dari
proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan
penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka
atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar
penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil. Pemahaman tentang
proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan
terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku
kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk
mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pelaksanaan proses
pengadilan yang lebih sederhana, cepat dan murah
Asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan
pelayanan administrasi peradilan yang mengarah pada prinsip dan asas efektif
dan efisien adalah asas sederhana, cepat dan murah.
Sederhana dapat dimaknai sebagai proses yang tidak bertele-tele, tidak
berbelit-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, tidak
interpretable, mudah dipahami, mudah dilakukan, mudah dilaksanakan, mudah
diterapkan, sistematis, konkrit baik dalam sudut pandang pencarian keadilan,
maupun dalam sudut pandang penegakan hukum yang mempunyai tingkat kualifikasi
yang sangat beragam.
Cepat harus
dimaknai sebagai upaya strategis menjadi sistem peradilan sebagai institusi
yang dapat menjamin terwujudnya/ tercapainya keadilan dalam penegakan hukum
secara cepat oleh pencari keadilan.
Murah mengandung
makna bahwa pencari keadilan melalui lembaga peradilan adalah tidak sekedar
orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya, tetapi harus ada
jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan,
keadialan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai-nilai lain yang dapat
mengkaburkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan dapat diperjualbelikan,
keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan merupakan kata dengan sejuta
pesimisme utopis, keadilan tidak dapat dikualifikasikan dalam bentuk dan jenis
apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia yang hidup secara
universal.
b. Pembentukan pengadilan yang
bersih, jujur, objektif dan adil yang ditunjang oleh suatu sistem pemantauan.
Sistem peradilan yang jujur, adil, objektif dengan sistem
pengawasan yang holistic hanya menjadi slogan-slogan kepentingan dari ideology
rezim ekonomi dan politik belaka. Peradilan yang jujur, adil dan objektif
sekadar menjadi wacana yang hanya berkembang di lingkungan kampus-kampus, sekolah-
sekolah, akademi-akademi, yang seringkali juga terlalu asik mansyuk dengan
dunianya sendiri.
c. Penyelesaikan
penimbunan perkara dan kelambatan proses perkara di Mahkamah Agung
Permasalahan
yang penting yang berkaitan dengan asas cepat dan prinsip administrasi
peradilan adalah masalah penimbunan perkara dan kelambatan proses perkara di
Mahkamah Agung.
Untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut memang membutuhkan upaya dan
strategis yang sistematis, sustainable, komprehensif dari semua items tersebut.
Tetapi upaya administratif seperti pembatasan pengajuan banding/ kasasi dan
mempercepat proses pengadilan, adalah pilihan yang memang bukan satu-satunya,
tetapi dapat dipandang sebagai langkah terobosan hukum acara pidana yang ada.
Pengaturan mengenai pembatasan perkara banding dan kasasi, harus tidak boleh
menimbulkan kesan pembatasan terhadap hak untuk mendapatkan keadilan dalam
penegakan hukum secara formil, tetapi juga tidak boleh menimbulkan pembatasan
perwujudan perkara banding dan kasasi.
Secara
komprehensif, ide pembatasan perkara banding dan kasasi juga mempunyai
konsekuensi logis terhadap kebutuhan akan reformasi struktural dalam lembaga
peradilan yang sekarang ada, reformasi hukum acara menjadu panduan dasarnya,
politik hukum yang mendasari paradigma bangunan sistem peradilan yang akan
dibentuk, kemampuan dan potensi sumber daya manusianya.
2. Gambaran tentang sistem
peradilan pidana atau criminal justice system
1.
Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai ”the
network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s
enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman baik
mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan
untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya
penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam
melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.
2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
3.
Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu
berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan
membawa bencana berupa ketidakadilan.
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana.
Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem,
undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah
menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Seperti
dikatakan oleh Andi Hamzah
Misalnya
Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem
hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun
kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem
dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan
Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana
Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara
dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa
Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive
law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu,
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen
di Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM) menyatakan bahwa keadaanya
Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas dan dipertimbangkan oleh
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tingkat nasional, akan
tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut M. Lubis:
“’The
new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan
hidup bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula
disesuaikan dengan Pancasila.”
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat
menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum
pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut
belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah
diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat
disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan
undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum
untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di
Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur
yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan
misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat
diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai
contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap
nyawa orang, sebagai berikut:
Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang,
karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah
persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak
hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur;
sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:
“Dalam
hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum”.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy
Koesnomo dari Kejaksaan Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat dapat kita lihat
bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk berkas dari pihak
kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan sebuah perkara
pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap yang mengandung
semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan menyusul SPDP
biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh pihak
kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat kejaksaan negeri)
barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAPnya lengkap
dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian
disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan
cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka
pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada
pihak kehakiman dan pengadilan.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat
untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
v Sistem peradilan Pidana Dalam Peraturan Perundangan
di Indonesia
Ketentuan
mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu
pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat ketentuan hukum
pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang tersebar dalam
Undang-Undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
v Sistem Peradilan diwakili dalam 4 yuridiksi
Di Indonesia terdapat 4 macam sistem peradilan yang di akui
terdapat dalam pasal 10 ayat 2 UU No. 4/ 2004, yaitu :
1. Lingkungan peradilan umum
2. Lingkungan peradilan agama
3. Lingkungan peradilan
militer, dan
4. Lingkungan peradilan tata
usaha negara
Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan
penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki
fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini
tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum.
Demikian
pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka
pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan
hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip
dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.
Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network)
peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum
pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun
demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks
sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian
demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang
bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang
bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.
Proses Hukum yang adil (layak).
Proses Hukum yang adil (layak).
Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah
hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of
law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang
adil atau layak
Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi.
Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi.
BAB III
PENUTUP
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat
untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Di Indonesia telah banyak pembagian
sistem peradilan pidana yang sekarang semuanya dibawah kekuasaan Mahkamah
Agung. Tetapi dalam proses pelaksanaannya masih banyak kekurangan-kekurangan
yang penyebabkan peradilan di Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan pencari
keadilan, masalah itu baik secara administratif maupun
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di lingkungan peradilan. Adapun upaya
yang telah dilakukan saat ini belum optimal untuk menyelesaikan masalah di
lingkungan peradilan.
Terutama
di Indonesia sendiri banyaknya pembagian yurudiksi di tengkat peradilan
menyebabkan banyaknya cela yang harus di tutup kembali guna mewujudkan
peradilan yang bersih dan adil. Dengan Tujuan tujuan tersebut diharapkan dapat
meminimalisir terjadinya kejahatan khususnya tindak pidana yang dapat
membahayakan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar