Makalah
MEWUJUDKAN YANG PERADILAN JUJUR
Jinayah Siyasah
Fakultas syariah
& hukum
UIN SUSKA RIAU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Puji dan rasa syukur marilah senantiasa kita panjatkan atas
rahmat, nikmat dan hidayah yang telah dicurahkan Allah sang Pencipta kepada
kita, serta salawat dan salam tentunya juga tidak akan lupanya kita hadiahkan
kepada kekasih Allah yaitu Nabi Muahammad SAW.
Hakim sejatinya adalah pejabat negara yang ditugaskan
sebagai pengadil dan pelaksana hukum juga mempunyai kewajiban untuk memeriksa
dan mengadili sutau perkara yang dilimpahkan ke pengadilan. Kinerja hakim di
Indonesia sampai saat ini dirasakan belum memuaskan. Hal ini dikarenakan banyak
persoalan-persoalan yang melanda para hakimnya. Di saat masyarakat merindukan
hukum yang bisa digunakan untuk dijadikan tumpuan terakhir saat keadilan dan
hak-hak masyarakat dirampas, di sinilah peran hakim untu berbuat adil. Namun
tak jarang kita lihat hakim yang tidak menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati.
Kebanyakan hakim saat ini juga terlibat dalam kasus suap dan korupsi.
Saat ini mencari keadilan seperti mencari sebatang jarum
yang hilang dalam tumpukan jerami, rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan
jebakan, yang berujung kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
hukum. Menumpuknya belasan ribu perkara di Mahkamah Agung , tidak hanya
menunjukkan banyaknya permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan
tetapi juga karena panjang dan berbelitnya proses peradilan. Inilah diantaranya
penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Tindakan main hakim
sendiri (eigenrechting) yang dilakukan oleh masyarakat khususnya terhadap
kejahatan jalanan (street crimes) adalah bukti ketidakhormatan dan
ketidakpercayaan mereka terhadap hukum (disrespecting and distrusting the law).
Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, nampaknya
tergambarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC
Nielsen yang antara lain menyatakan: 49% sistem hukum tidak melindungi mereka
(the legal system does not protect them), 38% tidak ada persamaan dimuka hukum
(there is no such thing as equality before the law), 57% sistem hukum masih
tetap korup (the legal system is just as corrupt as it has always been)
problem.
Maka dari itu diperlukan untuk membangun sistem peradilan
yang jujur dan berwibawa, supaya masyarakat dapat terlindungi serta merasa aman
jika sistem tersebut dapat diwujudkan. Peradilan yang bersih dan berwibawa
dapat dibangun dengan beberapa cara dan dengan strategi yang bermacam macam.
namun kenyataannya belum memberikan kesan bahwa peradilan adalah tempat yang
bersih dari korupsi. Dan kini mewujudkan sistem peradilan yang jujur dan
berwibawa terkesan sulit dan rumit, karena semua itu tergantung pada para
pelaku peradilan di negeri kita.
BAB II
PEMBAHASAN
Strategi
Strategi yang dilakukan untuk membangun sistem peradilan
yang jujur dan berwibawa dilakukan dengan berbagai cara. Peradilan yang bersih
dan berwibawa dapat dibangun dengan menciptakan profesionalitas para hakim.
Salah satu cara membuat para hakim profesional adalah dengan meningkatkan
kesejahteraan mereka. Itulah salah satu hal yang pernah dilakukuan.
Faktor
Pendukung
Faktor pendukung sangat diperlukan untuk memberhasilkan
pembangunan sistem peradilan yang jujur dan berwibawa, itu semua dapat
berpengaruh dalam keadilan dalam hukum dan demi kesejahteraan pengguna
peradilan untuk mendapatkan kebenaran yang sesuai. Faktor pendukung juga dapat
meningkatkan kualitas hukum di Negeri kita.
1. Secara internal lembaga peradilan harus
didukung oleh hal-hal sebagai berikut :
Pengadilan harus bersih dari segala bentuk KKN, untuk itu
diupayakan hal-hal seperti :
a) membangun pribadi hakim
yang berintegritas,
b) sistem kontrol yang baik,
c) fasilitas yang cukup, dan
d) intelektualitas hakim yang
handal.
Secara ekternal harus didukung juga hal-hal sebagai berikut
:
a) budaya yang baik dari
masyarakat, yakni masyarakat harus patuh dan hormat pada hukum, tidak berbuat
dengan segala cara untuk memenangkan perkara, dan masyarakat harus terbebas
dari budaya suap menyuap,
b) keberadaan lembaga
peradilan harus mendapat dukungan politik yang memadai seperti ketersediaan
anggaran yang cukup, dan
c) dukungan sosial yang
cukup untuk turut serta memecahkan masalah bukan sekedar membicarakan masalah
atau sekedar memajukan tuntutan.
2. Lembaga
peradilan, utamanya majelis hakim harus bebas dari segala bentuk campur tangan
dari suatu kekuasaan atau kekuatan sosial atau kekutan politik yang menggiring
suatu majelis hakim pada arah tertentu.
3. Membangun
sikap hormat dan patuh pada pengadilan dan putusan majelis hakim sebagai suatu
bentuk keikutsertaan membangun pengadilan yang berwibawa.
4. Sistem
manajemen yang menjamin efisiensi, efektifitas, produktivitas, putusan-putusan
yang bermutu atau memberi kepuasan kepada yang berperkara atau publik pada
umumnya. Hal ini dapat dicapai dengan membangun sumber daya yang bermutu, sistem
manajemen yang baik, dukungan dana yang cukup, dan berbagai prasarana dan
sarana yang memadai.[7]
Faktor
penghambat
Dalam sebuah peradilan banyak faktor faktor
yang menghambat kelancaran urusan dalam peradilan hukum, hal hal tersebut dapat
merusak sistem peradilan dan juga merusak kualitas hukum di negeri kita.
Beberapa contoh penghambat dalam sistem
peradilan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak hukum, mulai
dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang dilansir
Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100
hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai
judicial corruption.
Selain sistem pengawasan berbasis sistem,
permasalahan mendasarnya justru karena tidak ada pengawasan yang melekat dan
berdimensi ruhiyah (rohani). Konsekwensi dari sistem hukum dan peradilan
sekular yang menafikan keberadaan Allah mengakibatkan mereka melakukan sesuatu
tanpa memperhatikan benar-salah, baik-buruk apalagi halal-haram.
Faktor faktor penghambat dapat dikurangi
dengan membenahi moral para hakim dan moral orang orang yang berpotensi
melakukan tindakan suap kepada hakim maupun karupsi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulannya, Sitem peradilan yang jujur dan bijaksana
dapat dibentuk dengan cara menciptakan profesionalitas para hakim yaitu dengan
meningkatkan kesejahteraan mereka, memperbaiki moral manusia, pengadilan harus
bersih dari segala bentuk KKN (membangun pribadi hakim yang
berintegritas, sistem kontrol yang baik, fasilitas yang cukup, intelektualitas
hakim yang handal), memperbaiki mental aparat penegak hukum, mulai dari
polisi, panitera, jaksa hingga hakim, dan memberikan pengawasan yang melekat
dan berdimensi ruhiyah (rohani).
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan
yang baik dalam ukuran proses maupun hasilnya. Dan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa harus adanya peran masyarakat. Tanpa adanya peran masyarakat dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa mungkin akan sulit untuk
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Selain itu pula untuk
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, para pelaku hukum
harus berani menindak tegas para pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Dalam rangka mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih atau jujur dan berwibawa),
diharapkan adanya pemberian penghargaan (reward) kepada peran serta masyarakat, pemberian penghargaan
aparat pemerintah. Dengan sistem pemberian penghargaan kepada peran serta
massyarakat dan aparat pemerintah maka diharapkan akan terjadi peningkatan
motivasi untuk mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih dan berwibawa).
0 komentar:
Posting Komentar