Takdir Cinta
Cerpen: Mustopa Kamal Batubara
Mentari masih malu-malu memperlihatkan wujudnya
yang mungil di tengah kerumunan mahasiswa yang mulai berdatangan ke kampus. Hari ini kami masuk pada pukul delapan
pagi. Sebelum pukul delapan kami sudah harus berada di ruang belajar karena mahasiswa yang terlambat datang tidak akan diperbolehkan mengikuti mata kuliah. Disiplin memang, aku yakin itu demi
kebaikan kami juga.
“Assalamu ‘alaikum” ujar Bapak Hamid dosen mata kuliah Hukum
Pidana kami.
“Wa’alaikum
salam Pak”. Kami serentak menjawab salam beliau.
Hari ini seolah
ada yang berbeda. Di samping pak Hamid terlihat sesosok bidadari memakai baju merah jambu bergaris-garis. Jilbabnya
berwarna biru seperti warna rok yang sedang ia kenakan. Senyumannya
manis bak gula. Alis matanya lentik bak semut berbaris-baris.
Aku benar-benar terpana melihat kecantikan gadis itu.
“Anak-anak hari ini kita kedatangan mahasiswa baru, namanya Anisa.
Dia adalah mahasiswa pindahan dari Jakarta”
Sebagai ketua kelas, aku terlebih dulu menanyakan alasan gadis
cantik itu pindah kuliah ke Pekanbaru ini.
“Kalau boleh tau, Anisa Kenapa
pindah kuliah ke sini?”
“O, saya pindah kuliah ke Pekanbaru ini karenakan ayah saya pindah tugas dari Jakarta, jadi kami sekeluarga
sekarang menetap di kota ini” jawab Anisa sembari tersenyum manis.
“O” gumamku.
“Ada lagi pertanyaan? kata pak dosen.
“Tidak Pak” para
mahasiswa serentak menjawab .
“Anisa, kamu silahkan duduk” suruh Pak Hamid.
“Baik Pak”
***
Mata kuliah kedua ini bapak dosen belum hadir. Mumpung
dosennya belum hadir aku coba berkenalan lebih dekat dengan sang bidadari, Anisa.
“Hai, saya Rahman”
“Anisa”
“Bagaimana pendapatmu tentang kampus kita
ini?”
“Kampus ini menurutku sangat bagus. Aku
sangat senang ada di sini, karena lingkungannya asri dan mahasiswanya juga
ramah-ramah”
“O, selamat bergabung ya, semoga nanti kamu betah kuliah di kampus
ini” ucapku.
“Ya, terimakasih”.
Dia benar-benar cantik. Belum
ada yang bisa menyaingi kecantikannya di kampus ini. Dia benar-benar gadis yang
sempurna menurutku.
***
“Hai Anisa, perkenalkan aku Naira” sahut Naira dari belakang.
“Anisa, hai Naira” Jawab Anisa.
“Kalau boleh tau, emang pekerjaan ayah Anisa apa ya, kok bisa
pindah tugas ke sini”
“O, ayahku seorang pimpinan umum stasiun TV, jadi ayah ditugaskan
oleh perusahaan untuk memimpin salah satu stasiun TV yang ada di Pekanbaru ini,
yang masih anak perusahaan dari stasiun TV di Jakarta”
“O, berarti anak konglomerat dong, hehe..”
“Nggak juga kok” Anisa berusaha rendah hati.
“O ya Nis, Rahman ini adalah ketua kelas
kita” ujar Naira sambil menunjuk aku.
“Iya Ra, tadi kami udah kenalan” jawab Anisa.
“O baguslah” ujar Naira menutup pembicaraan.
Pertanyaan Naira tadi menurutku
terlalu lebay, kok nanya pekerjaan orangtua Anisa segala. Mungkin tadi
Naira menghampiri kami, karena ia cemburu melihat aku dan Anisa berduaan. Aku
sebenarnya tahu, kalau Naira itu mempunyai perasaan sesuatu kepadaku tapi ia
tidak berani mengungkapkannya. Naira memang cantik, tapi Anisa jauh lebih
cantik.
Waktu berjalan mengikuti arus sungai Siak yang menghiasi sudut kota
Pekanbaru ini. Hari-hari kulalui
dengan perasaan suka cita karena Anisa kelihatannya sudah menaruh hati kepadaku. Walaupun aku belum mengutarakan perasaan cintaku kepada Anisa, tapi aku yakin ia juga mempunyai perasaan yang sama sepertiku.
***
Hari kamis nan cerah, secerah hatiku ketika
berada di dalam ruang belajar ini. Hidupku begitu
bermakna karena kehadiran Anisa, yang telah
memberi seteguk air di bawah panasnya terik mentari. Dari pertama aku mengenalnya, hatiku terasa tentram. Senyumnya yang manis selalu terngiang di benakku ketika hendak
tidur. Wajahnya yang cantik selalu hadir
dalam mimpi indahku.
“Tapi mungkin nggak ya,
aku dan dia ditakdirkan jodoh?. Aku
hanyalah anak seorang pedagang kedai nasi, sedangkan ia adalah putri raja. Sudahlah,
biarlah waktu yang memberi jawaban” gumamku dalam hati.
Aku turuni anak tangga dari lantai tiga menuju lantai bawah karena
hari ini mata kuliah kami sudah selesai. Hatiku sontak kaget ketika Nurul
tiba-tiba menghampiriku dari belakang.
“Ada apa Nurul?”
“Aku, ada sesuatu buat kamu”
“Buat aku?, apaan?”
“Ini dia, tadi Naira titip ini, katanya surat”
“Surat apaan?”
“Aku juga kurang tahu, mungkin surat izin, entah besok dia nggak
hadir, soalnya tadi aku lupa juga nanyain, karena dia keburu-buru
sih”
“O, baiklah,, terimakasih ya Nurul”
“Oke, sama-sama, aku duluan ya” jawab Nurul mengakhiri pembicaraan
kami.
***
Kurebahkan
tubuh di atas kasur berwarna biru muda, kubuka amplop surat yang diberikan Nurul
tadi. Sembari membukanya hatiku bertanya-tanya
“kok Naira
ngasih suratnya gak langsung ke aku, emang dia mau kemana
ya?”.
Pekanbaru,
30 April 2015
Assalamu ‘alaikum... Wr. Wb.
Untuk seseorang yang aku kagumi.
Semoga seseorang yang aku kagumi
berada dalam lindungan Allah SWT, agar tetap semangat dalam mengejar impian dan
cita-cita. Rahman, sebelumnya maaf kalau aku terlalu berani mengungkapkan
perasaan ini. Sebenarnya aku mengirim surat ini karena bisikan dari hati yang tidak bisa aku tolak.
Aku tidak bisa lagi menyembunyikan
perasaanku kepadamu, wajahmu selalu menghiasi ingatanku ketika hendak tidur.
Senyummu selalu terpancar di cermin ketika aku hendak berkaca dan bayanganmu
selalu menghantui naluriku. Sudah lama aku mengagumimu Man,
tapi aku selalu memendamnya dalam hati. Perasaan cinta ini selalu menyuruh aku
untuk berterus terang padamu. Aku tidak tahu apakah kamu mempunyai perasaan
yang sama terhadapku, semoga perasaan cinta ini bisa kamu maklumi. Aku menunggu
jawabanmu besok di kampus.
Demikian surat ini aku tulis di
sudut keheningan malam yang dihiasi rembulan, khusus kupersembahkan bagi orang
yang sangat kukagumi dalam hidup ini, semoga ia mempunyai perasaan yang sama
sepertiku.
Wassalam
Naira
Sebenarnya, dulu aku pernah menaruh hati kepada Naira, tapi sesudah
Anisa hadir dalam hidupku, perasaan itu seolah lenyap dihempas angin. Aku tidak
tahu lagi harus bagaimana besok, semoga Naira tidak kecewa dengan keputusanku.
***
Mentari
tertutup awan, semilir angin memainkan senandung sendu, dari kejauhan terlihat
sesosok insan yang sedang berdiri di depan kelas. Dari wajahnya terpancar aura
bahwa ia sedang menunggu jawaban dariku, aku pun menghampirinya.
“Naira aku sudah membaca suratmu”
“O, maaf ya Man kalau aku terlalu berani”
“Naira, kita bisa ke
belakang kelas bentar, aku mau ngomong sesuatu sama kamu”
“Ya, boleh”
Naira mungkin sudah tahu maksudku mengajak dia ke belakang kelas
ini, aku ingin memberikan keputusan tentang balasan suratnya kemaren. Naira pun
terlihat deg-degan ketika aku mulai bicara.
“Naira sebenarnya aku suka sama kamu, tapi....?!!”
“Tapi apa Man?”
“Tapi, aku tidak bisa menerima cintamu karena aku sudah terlanjur
mencintai seseorang”
Spontan air hujan turun dari langit mengalir melalui sudut mata
Naira, mungkin dia tidak bisa menerima keputusanku. Aku memang kasihan melihat
naira, tapi aku juga tidak bisa memaksakan kehendak hatiku. Aku sudah terlanjur
cinta kepada Anisa.
“Naira,
jangan menangis. Maafin aku ya, aku tidak bermaksud menyakitimu”
“Nggak kok, mungkin aku tidak
sesempurna yang kamu inginkan”
Perlahan
Naira
menghilang dari sudut pandangan. Aku tidak tahu dia mau kemana. Mungkin
ia pergi untuk menenangkan perasaannya yang belum bisa menerima keputusanku. Satu sisi aku merasa bersalah kepada
Naira, di sisi lain aku tidak bisa memaksakan perasaan cintaku. Cinta itu suci,
cinta itu tidak bisa dipaksakan.
***
Rembulan
telah disapa mentari. Malam
telah dihampiri siang. Sembari menunggu mata kuliah kedua, aku dan Anisa duduk di bawah
pepohonan rindang di samping kantin. Tempatnya yang sangat teduh, membuat kami
betah berlama-lama di sini.
“Anisa, di sini sejuk ya”
“Iya Rahman, di sini banyak pohon rindang, gak seperti di ruang
belajar kita, pohonnya masih kecil-kecil”
“ Iya Nis, Sejuknya tempat ini, sesejuk hatiku bila berada di
sampingmu”
“Aduh Rahman pandai gombal deh”
“Benar Nis, aku gak bohong”
“Iya deh, aku percaya”
“Nis, sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, boleh gak?”
“Boleh, mau bilang apa Man”
“Gak terasa ya, waktu berlalu begitu cepat. Tinggal
nunggu beberapa minggu lagi kita udah libur”
“Iya Man”
“Tapi sebenarnya bukan itu yang mau aku bilang sama
Anisa”
“Jadi?”
Hatiku benar-benar deg-degan ketika mau mengatakan perasaan cinta
yang sesungguhnya kepada Anisa. Hati kecilku berkata belum saatnya untuk mengungkapkan
perasaan ini, di sisi lain ia pun menyuruhku untuk secepatnya mengungkapkan perasaan yang telah
lama terpendam. Aku benar-benar berada di persimpanagn hati.
“Rahman, hello, Rahman tadi mau
bilang apa?”
“Ooo, Anisa aku tadi mau bilang aku mau ke toilet bentar, boleh kan ?”
“Oo, iya Man silahkan”
Di toilet hati kecilku kembali bertanya. Apakah aku
harus mengatakan cinta sekarang atau lain kali aja. Hatiku
benar-benar deg-degan. Aku putuskan
untuk mengungkapakan perasaan cintaku kepada Anisa saat ini juga. Aku tidak mau
mengulur-ulur waktu lagi.
“Anisa, Rahmat boleh lagi gak
mengatakan sesuatu sama kamu?”
“Gak boleh, hehe.... Ya
boleh lah Rahman. Mau bilang ke
toilet lagi ya?”
“Nggak Nis”
“Lantas?”
“Sebenarnya telah lama kupendam perasaan ini Nis, sejak pertama aku
melihatmu, aku sudah terjatuh dalam lobang hatimu. Wajahmu selalau membayang-bayangi
benakku. Dari kedekatan kita selama ini, aku sudah menganggapmu sebagai orang
spesial dalam hidupku. Anisa, namamu telah coba aku lukis di langit tapi angin
meniupnya. Namamu telah kutulis di lautan, tapi badai menghempasnya. Sekarang bolehkah namamu aku
tulis dalam hatiku, agar cinta
mengabadikannya?. I love you
Anisa, aku tidak bisa menyimpan perasaan ini lagi”.
“Rahman, sebenarnya aku juga memendam perasaan yang sama sepertimu,
aku sangat suka kepadamu. Ketika aku tidur aku selalu ingat kamu, ketika mau
makan selalu ingat kamu, kemanapun aku pergi bayanganmu seolah mengikuti
jejakku. Tapi.....”
“Tapi apa Nis, apakah aku masih kurang sempurna bagimu?”
“Bukan begitu Man, tapi aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Maaf Man ya kalau aku belum memberi tahu
kamu”
Mentari yang tadi bersinar telah tertutup awan kelam, udara yang tadi sejuk telah berubah menyesakkan dada. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Anisa sudah mempunyai tunangan. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendengarkan jawaban seperti ini. Jawaban yang sungguh mengecewakan.
“Rahman, maafin aku ya. Aku tidak bermaksud
menyakitimu”
Aku berusaha tegar di hadapan Anisa, walaupun hati ini pilu bak
disayat seratus sembilu.
***
Mentari sudah memperlihatkan senyum sumringahnya kepada para mahasiswa yang sedang berlalu-lalang. Di depan kelas terlihat sesosok gadis yang
sedang melepaskan pandangan ke jagat raya. Aku teringat ketika menolak cintanya. Tapi aku
juga pernah menyimpan perasaan terhadapnya, sebelum Anisa hadir dalam hidupku. Gadis manis itu memakai baju biru, warna kesukaanku. Dia
sangat anggun dengan baju bercorak bunga melati itu.
“Naira, apa kabar?”
“Kabar baik Rahman. Kamu apa kabar?”
“Kabar baik juga. Bagaimana sekarang hubungannya
dengan Anisa, masih langgeng kan?”
“Iya Ra. Naira ada sesuatu yang ingin aku utarakan sama kamu”
“Ada apa Man?”
“Kita boleh ke belakang kelas?”
“Boleh”
“Naira, sebenarnya aku masih menyimpan perasaan kepadamu. Perasaan itu tiba-tiba meghampiriku dan berpesan
agar aku sampaikan kepadamu. Apakah kamu
masih mempunyai perasaan yang sama seperti yang aku rasakan saat ini?
“Aku juga sebenarnya tidak bisa melupakanmu Rahman. Perasaan cintaku padamu selalu mengiringi setiap hentakan kaki”
“I
Love You Naira, maukah
kamu menerima cintaku?”
“Maaf Man, aku tidak bisa lagi
menerima cintamu karena aku sudah bertunangan dengan
anak seorang pengusaha”
“Benarkah Naira?”
“Iya Man. Maafkan aku Man,
aku bukan bermaksud melukai perasaanmu”
Hatiku
sangat kecewa dengan jawaban Naira. Mungkin ini balasan dari apa yang pernah aku perbuat
dulu. Gara-gara kehadiran seorang gadis lain, aku tega
melukai perasaan gadis manis yang sebenarnya aku cintai. Entahlah, mungkin ini teguran bagiku agar
aku bisa menghargai perasaan orang lain.
Setelah pulang kuliah, perlahan aku ikuti
hentakan kaki menuju parkir. Ketika berada di atas motor menuju pulang, kuhentikan
sejenak motor berwarna biru. Kupandangi
gedung kampus yang begitu megah . Seulas senyum membungkam
mengingat kisah tiga anak manusia antara aku, Anisa dan Naira. Mungkin takdir belum bisa menemukan
perjalanan cintaku. Akupun berlalu meninggalkan pepohonan di depan kampus yang
tampak bersabar di bawah terik mentari.
0 komentar:
Posting Komentar