Baju Batik Atuk di Petak Umpet
Cerpen: Mustopa Kamal Batubara
Lelaki
itu tak hentinya memandangiku. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin ia
tidak tahu kalau aku memperhatikan glagatnya ketika ia baru saja duduk di kursi
berwarna abu-abu itu sedari tadi. Aku benar-benar tidak bisa fokus tuk
mengalahkan motor-motor tangguh yang silih berganti meninggalkan kecepatanku.
Aku nanti akan menyalahkan lelaki tua itu jika aku kalah pada permainan game balap motor di gadget yang baru dibelikan mama sebulan yang lalu ini.
Duduk
di kursi ruang tamu sudah menjadi kebiasaan lelaki itu setiap malam. Setelah
shalat maghrib, ia akan membawa secangkir teh dan beberapa potong roti. Tak
lupa, koran yang belum selesai ia tammatkan pada siang harinya akan ia rampungkan
tuk membacanya pada malam hari. Jika tumpukan koran itu telah selesai ia baca,
selanjutnya ia akan menghidupkan tv yang tepat ada di hadapannya. Ia akan
mematung di depan stasiun tv berita yang sepanjang hari akan menyiarkan
berbagai peristiwa yang sedang terjadi di seantero negeri. Ia juga memang
sangat hobi menonton berita, pun usianya sudah renta namun ia tidak mau
ketinggalan info terkini.
Sorot
mata lelaki itu mengantarkanku pada kekalahan permainan balap motor malam ini.
Aku ingin sekali memarahinya. Ketika aku akan berubah jadi iblis garang yang
akan mengancamnya, nalar telah terlebih dahulu menjadikanku sesosok malaikat
yang sedang teringat akan semua kebaikan-kebaikan lelaki itu. Aku harus sabar.
Aku tidak seharusnya melampiaskan rasa kesal kepada lelaki yang sudah di usia
senja itu.
Entah
kenapa tatapannya sedari tadi terhenti padaku, bukan pada koran yang sedang ia
pegang. Apa perbuatanku ada yang salah hari ini ?. Aku rasa tidak. Atau ada
yang ingin ia katakan ?. Kelihatannya tidak juga. Biasanya jika ada yang ingin
ia katakan, pasti akan langsung ia ungkapkan tanpa harus menunggu aku selesai
bermain game. Entahlah apa maksud
sorot matanya yang penuh dengan tanda tanya.
***
“Udah
selesai main gamenya Cu ?” ujar
lelaki yang sedari tadi menatapku itu.
“Udah
Tuk”
Atuk
masih saja memandangiku.
“Ada apa Tuk ?”
Atuk
terdiam. Tatapannya kosong. Sorot matanya semakin tajam meluncur pada baju yang
sedang kukenakan.
“Baju
batik cucu Atuk ini siapa yang beli ?”
“Mama
Tuk”
“O
ya”
“Kapan
mama beli ?”
“Tadi
Tuk, selepas pulang dari kantor”
“Di
mana ?”
“Di
plaza”
“Ada
apa Tuk, ada yang salah ?”
Atuk
terdiam sejenak.
“Baju
yang sedang Riki pakai ini mengingatkan Atuk pada masa 60 tahun silam”
“Maksud
Atuk ?”
“Baju
yang sedang Riki kenakan ini sama persis dengan baju Atuk dulu, itu baju
favorit Atuk, dibelikan eyang buyutmu ketika Atuk juara kelas waktu SD. Baju
itu juga merupakan baju yang paling sering Atuk gunakan ketika bermain petak
umpet. Atuk rasa baju itu selalu membawa keberuntungan ketika bermain permainan
tradisional itu. Atuk tidak pernah kalah. Atuk tidak pernah menjaga pohon petak
umpet. Atuk serasa bermimpi ketika melihat baju yang Riki pakai. Ternyata di
era modern ini masih ada baju batik yang sama persis dengan kepunyaan Atuk dulu”
“Oo,
jadi itu sebabnya atuk memperhatikan Riki semenjak tadi”
Atuk
tersenyum sumringah.
“Kata
guru kesenian Riki di sekolah Tuk, suatu mode itu akan kembali populer secara
berulang-ulang”
“Maksud
cucu ?”
“Begini
Tuk, apa yang pernah populer pada masa dulu akan kembali populer pada masa-masa
tertentu. Jadi baju yang dibuat dengan mode tertentu pada zaman dulu akan
kembali bisa populer pada zaman sekarang”
“Benarkah
?”
Aku
mengangkukkan kepala.
“Berarti petak umpet juga akan kembali populer
suatu saat ?”
“Petak
umpet ?”
“Iya”
“Riki
tidak tahu kalau masalah itu Tuk”
“Kenapa
tidak tahu ?”
“Riki
tidak banyak tahu tentang petak umpet”
“Benarkah
?”
“Iya
Tuk. Emangnya permainan petak umpet itu seperti apa ya Tuk ?”
“Petak
umpet itu adalah salah satu permainan tradisional yang sudah mulai dilupakan”
“Benarkah
?”
Atuk
menganggukkan kepala.
“Dulu,
ketika semasa atuk, petak umpet merupakan salah satu permainan favorit para
anak-anak seusia Riki di kota kita ini. Atuk juga sangat senang ketika ikut
main petak umpet. Satu orang yang kalah akan menjaga pohon petak umpet,
selainnya akan bersembunyi. Si penjaga pohon petak umpet akan mencari
kawan-kawannya yang sedang bersembunyi di belakang rumah-rumah warga atau di
balik semak-semak, sehingga setiap orang yang kedapatan terlihat di tempat
persembunyian maka ia akan menjadi penjaga pohon petak umpet”
Atuk
terlihat sangat terharu ketika menceritakan kisah permainan petak umpet itu.
Airmatanya seolah ingin meluap namun ia tahan. Beliau menceritakan permainan
tradisional itu dengan serius dan penuh keprihatinan.
“Kenapa
sekarang permainan petak umpet tidak ada lagi di kota kita ini Tuk ?”
“Entahlah
cucuku, Atuk juga kurang tahu. Mungkin anak-anak zaman sekarang lebih memilih
main game dengan gadget”
Atuk
berdiri dari tempat duduknya.
“Tunggu di sini sebentar, Atuk ke Kamar dulu”
“Mau
ngapain Tuk ?”
“Tunggu
aja di sini, nanti cucu Atuk akan tahu”
***
Atuk
keluar dari kamar. Beliau berjalan gontai menuju tempatku menunggu. Atuk menunjukkan
baju batik kesayangannya dulu padaku. Memang sangat persis dengan baju yang
sedang aku pakai sekarang. Warna, corak dan jenis sulamannya benar-benar tak
ada bedanya, hanya saja baju batik Atuk ini sudah kelihatan mulai lusuh dimakan
usia.
“Benar
kan yang atuk bilang, bajumu sama persis dengan baju kesayangan atuk”
Aku
menganggukkan kepala pertanda mengiyakan perkataan beliau.
Memori
ingatan Atuk kembali terbawa pada masa silam. Atuk berkisah. Malam itu mereka
beberapa sekawan sedang bermain petak umpet di halaman rumah. Tiba-tiba temannya
yang bernama Hasan berteriak ketakutan ketika bersembunyi di belakang rumah
yang agak gelap.
“Setan…”
teriak Hasan, anak yang sangat penakut di masa itu, sembari berlari
terbirit-birit.
“Mana
setannya, agar kita cingcang ?” jawab Roni, kawan Atuk yang paling berani.
“Di
sana tadi, di belakangku, pas waktu sembunyi”
“Ayo
kita lihat”
“Kalian
aja yang melihatnya, aku tak berani lagi”
“Dasar
penakut kau Hasan”
Beberapa
orang itu pun berjalan perlahan menuju tempat persembunyian Hasan tadi. Jika
benar, mereka sudah tidak sabar lagi akan bertemu dengan setan yang dimaksud
Hasan itu.
“Haha…
Ada apa ?” ujar Atuk.
“Kata
Hasan di sini tadi ada setan”
“Haha…
mana ada, cuma aku aja tadi yang datang ke belakang Hasan, haha…”
Atuk
tampak sangat bahagia bercampur haru ketika menceritakan kenangan hidupnya yang
takkan terlupakan itu.
Sesaat
kemudian suasana senyap. Entah kenapa raut ceria wajah Atuk tiba-tiba berubah
drastis menjadi seolah memperlihatkan perasaan tidak karuan. Mungkin beliau
merasa sudah penat senyam-senyum sedari bercerita kisah ketika bermain petak
umpet dulu atau ?. Entahlah.
“Atuk, aku juga ingin suatu saat nanti bisa
membawa baju batikku ini bermain petak umpet seperti yang pernah Atuk lakukan
dengan baju batik Atuk dulu”
“Benarkah ?”
“Iya
tuk, benar, benar, benar”
“Kalau begitu, Atuk akan berdoa agar diberikan
umur panjang, hingga suatu saat kelak Atuk bisa melihat cucu kesayangan ini bermain
petak umpet”
Selesai
0 komentar:
Posting Komentar