Cinta di Langit Ramadan
Oleh: Mustopa Kamal Btr
Gadis
berwajah manis itu merenung di jendela kamar. Mukanya terlihat membengkak
karena butiran-butiran air yang mengalir dari sudut matanya. Ia belum bisa
menerima keputusan dua hari yang lewat, yang sangat menyayat hatinya. Hubungan
dengan kekasih hatinya sudah kandas di tengah jalan. Entah apa penyebabnya, ia
tidak tahu. Mungkin ada orang ketiga. Atau mungkin orangtua kekasihnya itu
tidak merestui hubungan mereka lagi.
Anisa,
nama yang indah, namun tak seindah perasaannya saat ini. Ia merasa hidupnya tak
berarti lagi setelah berpisah dengan pujaan hatinya, Romi. Cinta sucinya telah
ia amanahkan kepada pria berpendidikan tinggi itu sejak dua tahun silam. Romi
juga sudah berjanji kepadanya bahwa ia akan setia sampai mati.
“Anisa,
kenapa sayang?” ujar Aminah, ibunya, yang tiba-tiba membuka pintu kamar.
“Nggak
ada Bu, Anisa cuma kurang enak badan aja” Anisa berusaha menyembunyikan
perasaannya. Ia memang tidak pernah menceritakan kepada keluarganya kalau ia
menjalin cinta dengan Romi.
“Kalau
Anisa kurang enak badan, nanti ibu panggil dokter”
“Nggak
usah Bu, Anisa cuma kurang istirahat aja mungkin”
“Anisa
jangan berkata begitu, ibu takut nanti sakitnya tambah parah. Dua hari ini ibu
perhatikan Anisa sering melamun”
“Nggak
papa kok Bu, Anisa cuma kurang enak badan biasa aja” Anisa masih tidak mau
menceritakan hal yang sadang terjadi karena di kampungnya, masalah asmara
adalah sesuatu yang jangggal untuk diceritakan kepada orangtua.
“Ya sudah
kalau begitu, Anisa istirahat saja dulu ibu mau beres-beres rumah ya”
Setelah
ibunya keluar dari kamar, Air mata anisa kembali mengalir dengan derasnya.
Hatinya berontak. Lidahnya keluh. Ia tidak tahu lagi tempat untuk mengadukan
kisah pilunya itu. Ia merasa hidupnya seolah bagai sebatang kara. Tiada tempat
mengadu. Tiada tempat berlindung dan berkeluh kesah. Cinta membuat hatinya
bagai bawang yang diiris pisau yang sangat tajam. Cinta juga telah membuatnya
lupa akan kasih sayang orangtuanya selama ini. Semenjak menjalin asmara dengan
Romi, ia semakin malas membantu orangtuanya untuk masak dan membersihkan rumah.
Ia lebih sering menghabiskan waktu senggang dengan lelaki pujaan hatinya itu.
Hati Anisa
masih berkabut di hari ketiga setelah ia berpisah dengan Romi. Ia masih saja
merenung di samping jendela kamarnya. Pandangannya kosong menghadap matahari
terbit. Sinar mentari yang mulai meninggi itu belum juga bisa menerangi
kegelapan jiwanya. Ia tak tahu lagi hendak berbuat apa, dalam hatinya menyesal
kenapa dulu ia harus mengenal lelaki pecundang itu. Anatara marah dan sedih
itulah gejolak batin yang sedang mencengkramnya.
“Anisa
sayang, coba lihat apa yang ibu bawa” Aminah tiba-tiba muncul ke kamar Anisa.
“Ada apa
Bu” Anisa menyeka airmatanya.
“Coba
Anisa buka, apa isinya”
“Ini apa
Bu, kok dibungkus segala”
“Anisa
buka aja, biar tahu apa isinya”
“M-u-k-e-n-a”
“Iya ibu
tadi belikan di pasar”
“Anisa kan
masih punya mukena Bu”
“Iya ibu
tahu, mukenanya kan udah lama gak diganti. Anisa nanti jangan lupa pake pas
shalat tarawih ya, kan Ramadhan udah dekat”
Anisa
memandangi mukena putih yang dibelikan ibunya itu. Air matanya menetes. Hatinya
terharu. Jemarinya gemetar. Ia bergegas menuju dapur. Ia pandangi wajah wanita
renta yang sedang menyiapkan makanan. Perlahan ia dekati wanita tanpa kenal
lelah itu.
“Bu,
terimaksih mukenanya ya. Anisa sangat senang”
“Iya
sayang”
“Yang
penting Anisa harus rajin ibadah lagi ya”
“Iya Bu.
Anisa minta maaf selama ini sudah jarang ngerjakan ibadah”
“Iya
sayang. Anisa harus rajin lagi ya”
“Iya Bu”
Langkah
gadis itu perlahan, namun pasti. Ia baru saja menyimpan mukenanya di kamar.
Raut wajahnya mulai terlihat merona. Pandangannya menyimpan sejuta asa.
“Bu, Anisa
ikut bantu masak ya?”
“Anisa
istirahat aja dulu biar cepat sembuh”
“Nggak
Bu, Anisa udah sembuh kok”
“Ya sudah
kalau Anisa mau bantu ibu masak. Anisa motong sayurannya aja ya”
“Iya Bu”
jawab gadis berkulit putih itu.
Malam
kelam dihiasi bintang-gemintang. Selepas shalat maghrib Anisa menghampiri kedua
orangtuanya yang sedang berada di depan tivi memantau perkembangan penetapan
satu Ramadan yang dilakukan oleh pemerintah. Ia melihat kedua orangtuanya itu
sangat antusias menyambut bulan suci ramadhan. Dengan perasaan haru, ia coba
mendekati kedua orang yang telah membesarkannya sejak kecil itu.
“Alhamdulillah.
Akhirnya hilal sudah terlihat. Besok kita sudah puasa” ungkap Ali, ayah Anisa,
ketika menyaksikan dari tivi keputusan Kementrian Agama Indonesia.
“Alhamdulillah
ya yah, malam ini kita sudah mulai tarawih” ungkap Aminah.
“Iya Bu.
Nanti kita sekeluarga akan pergi tarawih sama-sama”
“Yah, Bu”
tiba-tiba Anisa menghampiri.
“Ya ada
apa Anisa” jawab kedua orantuanya serentak.
“Besok kan
kita udah puasa, Anisa mau minta maaf sama ayah dan ibu atas semua kesalahan
Anisa selama ini. Anisa dulu sering gak ngerjain kewajiban-kewajiban Anisa
sebagai seorang anak dan sering juga lalai ngerjakan ibadah”
“Iya Anisa
Ayah dan ibu juga minta maaf ya” jawab ayahnya.
“Iya
sayang. Anisa juga maafin kesalahan ibu sama ayah ya” ibunya menambahkan.
“Iya Bu”
Kumandang
azan isya menyeru insan tuk menghadap tuhan. Kerumunan manusia terlihat ramai
menuju masjid. Di sudut kegelapan gadis itu tampak ceria dalam perjalanan
menuju rumah tuhan. Ia bersama kedua orangtua dan dua adiknya. Wajahnya tampak
bercahaya di tengah kelam malam. Sesekali dia melempar senyuman kepada
orang-orang yang berjalan di samping kiri-kanannya.
“Kalau
nanti udah selesai shalat, ayah nanti tunggu kalian di samping pohon kelapa
depan masjid ya” ungkap ayah Anisa.
“Iya Yah,
kami nanti menyusul ke situ” jawab ibu Anisa.
“Anisa
harus khusuk ibadahnya ya. Minta ampun sama Allah atas kesalahan-kesalahan yang
telah lalu”
“Iya Yah”
Sore nan
indah dibingkai lukisan mentari. Udara yang cukup panas tidak menyurutkan
semangat Anisa untuk membantu ibunya menyiapkan hidangan berbuka di hari
pertama bulan suci Ramadan.
“Bu Anisa
aja yang masak lauknya, ibu istirahat aja dulu”
“Bentar
lagi Anisa, ibu tuangkan takjil ini dulu”
“Anisa aja
Bu yang nuangkan”
“Ya sudah,
ibu mandi dulu ya biar gantian”
“Iya bu”
Awan merah
sudah mulai menghampiri langit ramadhan pertama. Anak-anak kecil terlihat
berlari tergopoh-gopoh membawa takjil menuju rumah masing-masing. Ibu-ibu rumah
tangga mulai beranjak dari teras-teras menuju ke ruang makan rumah mereka.
Suara bedug terdengar bergema menghiasi jagat raya.
“Hore
bedug sudah bunyi” ungkap anak kecil bernama Rahman, adik laki-laki Anisa.
“Alhamdulillah
waktu berbuka sudah tiba” jawab Anisa.
“Rahman,
kakak minta satu kurmanya sayang”
“Kurmanya
tinggal tiga biji lagi. Ini buat kurma sahur Rahman” jawab anak polos yang
sedikit nakal itu.
“Anisa
makan ini aja. Tadi Rahman ngasi sebiji sama ibu”
“Nggak
usah Bu, sama ibu aja. Anisa cuma iseng aja tadi mintanya sama Rahman. Karena
Anisa takut aja tadi kurmanya mubazir, gak dihabisin Rahman.
“Udah
Anisa makan aja. Ibu makan takjil yang kita buat tadi sore aja”
“Nggak kok
Bu, sama ibu aja”
“Sini biar
ayah makan kurmanya, kalau gak ada yang mau makan” jawab Ali sambil becanda.
“Ayah bisa
aja” jawab Anisa sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Langit
Bulan Suci Ramadan ini telah jadi saksi perjalanan kisah cinta Anisa. Kini
telah ia sadari akan ketulusan cinta yang telah diberikan kedua orangtuanya. Cinta
yang tiada tara. Cinta tanpa harap balas jasa. Cinta yang melebihi kesetiaan
langit kepada bumi. Cinta yang melebihi kesetiaan bintang kepada malam. Cinta
yang tulus tanpa syarat, melebihi cinta yang diberikan kekasihnya dulu, cinta
yang diberikan lelaki pecundang, lelaki yang pergi tanpa alasan. Sekarang Anisa
berjanji akan membalas ketulusan cinta kedua orangtuanya. Cinta sepasang
manusia yang selalu mengajarinya untuk mencintai sang Maha Memilik Cinta, Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar