Makalah
STUDY QUR’AN
ILMU NUZULUL QURAN
Jinayah siyasah
fakultas syariah
UIN SUSKA RIAU, PEKANBARU
2014
KATA
PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil
‘Alamin... puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yamg telah
membentangkan jalan keselamatan buat insan dan menerangi mereka dengan pelita
yang terang benderang. Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad SAW yang membawa
petunjuk buat kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula, ucapan
keselamatan atas keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat.
Alhamdulillah akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan , kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat
jauh dari kata sempurna, oleh karna itu kami sangat berterima kasih apabila ada
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
- DALIL DAN
PROSES TURUNNYA ALQURAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR, 3.
- PEMELIHARAAN
ALQURAN DI MASA NABI SAW, 4.
- PEMELIHARAAN
ALQURAN DI MASA ABU BAKAR, 9.
- PEMELIHARAAN
ALQUR’AN DI MASA KHALIFAH USMAN BIN AFFAN, 11.
E. USAHA LANJUTAN DAN
PROSES PENYEMPURNAAN MUSHAF UTSMANI, 12.
DAFTAR PUSTAKA
- DALIL DAN PROSES TURUNNYA ALQURAN
SECARA BERANGSUR-ANGSUR
Pada
umumnya para ulama cenderung berpendapat bahwa Alquran turun tiga kali: (1)
mula-mula turun di Lauh Mahfudz, (2) selanjutnya ke Baitul-`Izzah di langit
dunia (langit lapis pertama), (3) dan terakhir diturunkan secara terpisah dan
berangsur-angsur sejalan dengan peristiwa tertentu. Alquran turun dari Lauh
Mahfudz ke Baitul ‘Izzah adalah sekaligus pada malam Lailah al-Qadr.
Beberapa dalil untuk
mendukung pendapat ini ialah:
(إنا أنزلناه في
ليلة القدروما أدراك ما ليلة القدر (القدر97: 1
شهر رمضان الذي
أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى نقاوالفر
(8لبقرة(2): 1 ا)
Dua
nash tersebut menjelaskan bahwa Alquran diturunkan pada malam malam lailatul
Qadr. Turunnya ini dimaksudkan adalah turun yang pertama kepada Baitul ‘Izzah
karena kalau yang di maksud turun kali yang kedua, maka tidaklah absah bahwa
dikatakan turunnya Alquran pada malam yang satu (Ramadhan), karena Alquran itu
diturunkan pada masa yang panjang selama masa pengutusan (23 tahun), dan
diturunkan pada bulan Ramadhan yang merata pada seluruh Ramadhan.
Sedangkan
model kedua yaitu Alquran turun berangsur-angsur, maksudnya ialah turun dari
Baitul `Izzah ke dalam hati Nabi saw secara berangsur-angsur selama 23 tahun
sampai akhir hidup Rasulullah. Menurut berbagai sumber riwayat setelah bi’tsah
Rasulullah hidup di Makkah selama 13 tahun, kemudian hijrah ke Madinah dan
bermukim di kota itu hingga akhir hayatnya, yakni 10 tahun. Begitulah Alquran
turun berangsur-angsur. Nabi saw membacanya perlahan-lahan, sedang para sahabat
membacanya sedikit demi sedikit. Ayat-ayat Alquran diturunkan sehubungan dangan
peristiwa, baik bersifat individual maupun sosial. Adapun dalil naqli
bahwa Alquran turun berangsur-angsur yaitu:
وقال الذين كفروا
لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان:32)
B. PEMELIHARAAN ALQURAN DI MASA NABI SAW.
Alquran
menurut para ulama ialah sebagai kalam Allah swt yang diwahyukan kepada
RasulNya (Muhammad saw) dan bagi yang membacanya adalah ibadah (Manna
al-Qattan, 1973:21).
Di
samping itu kedatangan Alquran adalah dengan jalan mutawatir sehingga memberi
nilai qath’iyul wurud. Sejarah mencatat bahwa Alquran itu diwahyukan bukan
kepada seorang yang pintar baca tulis, tetapi kepada Rasul yang ummi dan kepada
bangsa yang sebagian penduduknya buta huruf di Jazirah Arab. Demikian juga kaum
muslimin telah sepakat bahwa Alquran sejak masa Nabi saw sudah tertib ayat
ayatnya, susunannya maupun kalimat-kalimatnya serta huruf-hurufnya.
Perlu
juga ditambahkan bahwa pada waktu Alquran diturunkan, bangsa Arab telah
mengenal berbagai kesenian, keterampilan berkuda, kisah-kisah dan peribahasa
dan dialek yang berlaku di kalangan bangsa Arab itu. “Kami tidak mengutus Rasul
kecuali dengan menggunakan bahasa yang digunakan di kalangan bangsanya, agar
dia menjelaskannya kepada kita. (QS Ibrahim [14]:4).
Dalam sejarah, kita melihat di masa Nabi saw
telah banyak sahabat Nabi yang hafal Alquran seluruhnya. Oleh Subh Shalih yang
diambil dari riwayat Bukhari di dalam shahihnya, tidak dapat mengatakan lebih
kecuali jumlah para sahabat yang hafal Alquran pada hidup Rasulullah tidak
lebih dari tujuh orang. Tujuh orang itupun naman-namanya tidak disebut secara
beturut di dalam satu riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari, tetapi
tersebut dalam tiga buah riwayat yang meninggalkan nama-nama yang telah di
sebut berulang-ulang.
Riwayat
pertama berasal dari Abdullah bin ‘Amar bin al-‘Ash yang mengatakan sebagai
berikut: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Belajarlah alQur’an dari empat
orang, ‘Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz dan Ubai bin Ka’ab”.
Riwayat
kedua, berasal dari Qatadah yang mengatakan : Aku pernah bertanya pada Anas bin
Malik: “Siapakah sebenarnya para penghafal Alquran pada masa hidup Rasulullah?”.
Anas menjawab:”Empat orang semuanya dari kaum Anshar, yaitu Ubai bin Ka’ab,
Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid”. Aku bertanya lagi: Siapakah Abu
Zaid? Anas menjawab: “Seorang dari kaum muslimin awam”.
Riwayat
ketiga, dikemukakan oleh Tsabit berasal dari Anas bin Malik yang mengatakan
sebagai berikut: Ketika Rasulullah wafat belum ada yang hafal Alquran kecuali
empat orang, yaitu Abu Darda’, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.
Nabi
saw tidak pandai baca tulis karena itu dia menyuruh para sahabat untuk
menuliskan wahyu Allah setiap Nabi saw menerimanya. (al-Ibyari, 1964:47).
Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah mempunyai beberapa pencatat wahyu, di
antaranya, empat oramg sahabat yaang akhirnya menjadi Khulafaur Rasyidin, ditambah
Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai bin Ka’ab, Tsabit bin
Qais.
Beliau
menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga Alquran yang
terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan yang tertulis. (Subh al-Shalih,
1977:69). Namun sekalipun telah dihafalkan dan dituliskan seluruh Alquran pada
masa Nabi, tetapi masih belum terkumpul dalam satu mushaf atau satu tempat dan
tidak pula tersusun surat-suratnya secara tertib. (as-Suyuti, 1979:59). Para
sahabat menuliskan ayat itu pada lempengan kulit, daun, batu-batuan yang
tipis, yang lebar, pelepah kurma, tulang-tulang unta atau kibas yang sudah
kering, pelana unta serta pada kulit. (Subh al-Shalih, 1977:70; as-Suyuti,
1979:60).
Seluruh
Alquran itu tidak mungkin ada kalimat atau kata yang disisipkan Nabi saw atau
dituliskannya karena tidaklah pantas sifat seorang Nabi seperti itu. Di samping
itu ia adalah ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Seperti para ahli
sejarah menyebutkan kajadian pada perang Uhud. Pada waktu itu Abbas berada di
Makkah dan menulis surat kepada Nabi saw dan surat tersebut dibawa oleh seorang
laki-laki dari Bani Ghifari.
Isi
surat itu memberitahukan bahwa orang-orang Quraisy telah bersepakat untuk
keluar dari Makkah menuju perang Uhud. Ketika Nabi saw menerima surat tersebut,
beliau memanggil Ubai bin Ka’ab (sekretaris Nabi saw) untuk membacanya. Setelah
Ubay selesai membaca surat tersebut, Nabi menyuruh Ubai untuk merahasiakan isi
surat tersebut. (Ibyari, 1964:48). Sekiranya Nabi pandai tulis baca tentu tidak
perlu beliau minta bantuan untuk membacakan surat tersebut, apalagi kandungan
surat itu sangat penting dan bersifat rahasia.
Sebagaimana
telah disebutkan bahwa tartib ayat-ayat Alquran itu adalah menurut petunjuk
Nabi saw (tauqify). Nabi saw bisa membaca satu surat berulang-ulang dengan
tertib ayat-ayatnya baik dalam shalat maupun pada waktu beliau berkhutbah dan
disaksikan oleh para sahabatnya. Ini menunjukkan tartib ayat-ayat Alquran
adalah tauqify (Subh al-Shalih, 1977:71).
Kalau
tidak tauqify, tentu Nabi saw dalam membacakan ayat-ayat Alquran tidak perlu
tartib. Kita tahu bahwa dalam satu surat bukanlah membicarakan satu jenis
masalah. Kadang-kadang beberapa ayat membicarakan satu jenis permasalahannya,
kemudian beralih ke masalah yang lain, lalu kembali lagi ke masalah semula.
Demikian juga ayat yang lebih awal turun ditempatkan pada awal Alquran atau
yang akhir turun ditempatkan pada awal dari Alquran, seperti QS Al-Baqarah
[2]:281 adalah akhir turunnya ayat Alquran (Ibyari, 1964:62). Dan Nabi saw
menempatkannya di antara dua ayat “riba dan dain” dari surat al-Baqarah.
Seperti itu juga sekalian ayat Alquran (Subh al-Shalih, 1977:71; Ibyari,
1964:67).
Mengenai
susunan surat yang sekarang ini, apakad berdasarkan tauqify atau tidak, ada
beberapa pendapat:
Susunan
surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat. Karena susunan surat pada mushaf
sahabat sebelum penulisan pada Khalifah Usman berbeda-beda. Kalau susunan itu
atas petunjuk Nabi saw, niscaya mereka mematuhi Nabi saw.
Berdasarkan
tauqify sebagaimana susunan ayat. Karena seluruh ayat-ayat alQur’an
ditempatkan sesuai dengan perintah Nabi saw dengan alasan (1) bahwa semua
sahabat telah sepakat terhadap susunan surat dalam mushaf yang ditulis pada Khalifah
Usman dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Kesepakatan itu
terjadi tidak lain karena berdasarkan tauqify. Sekiranya susunan surat dalam
mushaf Usman itu berdasarkan ijtihad, tentu para sahabat yang mempunyai mushaf
sendiri tetap mempertahankannya, yang susunannya berbeda dengan mushaf Usman.
Kenyatannya
mereka tidak mempertahankannya, tetapi menerima mushaf Usman, bahkan membakar
mushaf mereka sendiri (2) bahwa keadaan surat-surat yang sejenis dalam Alquran
itu tidak senantiasa disusun secara urut (3) bahwa Ibnu Asyta dalam
al-Mashahifnya meriwayatkan dari jalan Ibnu Wahab dari Sulaiman bin Bilal, dia
berkata: Saya mendengar Rabiah ditanya: “mengapa engkau mendahulukan surat
al-Baqarah dan Ali Imran dalam susunannya, sedangkan sebelum kedua surat itu
turun, telah ada delapan puluh surat lebih yang turun di Makkah dan al-Baqarah
serta Ali Imran keduanya turun di Madinah”. Kemudian dia menjawab:” al-Baqarah
dan Ali Imran didahulukan dalam susunannya dan Alquran disusun atas ilmu dari
yang telah menyusunnya”.
Bahwa susunan
surat-surat dalam Alquran itu berdasarkan tauqify, dan sebagian yang lain
berdasarkan ijtihad sahabat (al-Zarkasyi, tt.:353-8; as-Suyuti, 1979:64).
Pendapat
kedua yaitu Alquran baik ayat-ayatnya maupun susunan suratsuratnya adalah
berdasarkan tauqify. Di samping alasan-alasan yang telah dikemukakan, juga
dapat dikutip pendapat Subh al-Shalih, (4) bahwa susunan surat Alquran itu
tauqify karena Alquran telah lengkap sepeniggal Nabi saw sehingga usaha-usaha
sahabat yang selain Usman, maka hal itu merupakan ikhtiar sahabat itu sendiri.
Mereka tidak bermaksud atau berusaha agar seseorang mengikuti tertib surat yang
berada dalam mushaf mereka. Tidak juga mereka mengatakan bahwa menyalahi mushaf
mereka dilarang.
Mereka
menulis mushaf untuk mereka sendiri sehingga setelah umat Islam sepakat
terhadap tertib surat yang ditulis oleh panitia adhoc yang dibentuk Khalifah
Usman, mereka mengambilnya dan meninggalkan mushaf-mushaf mereka. Sekiranya
mereka berpendapat bahwa tertib surat itu ijtihadi, tentu mereka tetap
berpegang kepada mushaf mereka dan tidak perlu mengambil mushaf Khalifah Usman
(Subh al-Shalih, 1977:71). Perlu ditambahkan bahwa Zaid bin Tsabit (ketua
panitia) sebagai pengkodifikasinya adalah seorang yang hafal Alquran seluruhnya
dan dia hadir pada waktu kali yang terakhir Jibril as datang untuk mengecek
Alquran yang dihafalkan oleh Rasulullah saw sehingga adanya perbedaan tertib
surat yang ada di tangan para sahabat semata-mata karena perbedaan kedekatan
mengikuti Nabi saw, seperti Ali bin Abi Thalib, dan sahabat yang lain
kadang-kadang dapat mengikuti Nabi dan kadang-kadang tidak. Demikian juga kalau
kita lihat begitu rapinya susunan surat, maka tidak mungkin para sahabat
berfikir untuk menyusunnya dalam waktu yang relatif singkat sedang keadaan pada
waktu itu dilanda oleh situasi yang tidak stabil (perang).
Sebagian
besar ulama berpendapat, bahwa penghimpunan ayat-ayat semasa hidup Rasulullah
telah dipertimbangkan penulisannya supaya mencakup “tujuh huruf’ yang menjadi
landasan turunnya Alquran.
Sesungguhnya,
setiap ayat yang dicatat disimpan di rumah Rasulullah, sedang para pencatat
membawa salinannya untuk mereka sendiri. Sehingga terjadilah saling kontrol
antara naskah yang berada di tangan para pencatat wahyu itu dan suhuf
(lembaran-lembaran Alquran) yang berada di rumah Rasulullah saw. Di samping itu
ada kontrol lain dari para penghafal Alquran di kalangan sahabat Nabi saw, baik
yang buta huruf maupun tidak. Keadaan itulah yang menjamin Alquran tetap
terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah
swt:
إنا نحن نزلنا
الذكر وإنا له لحافظون(الحجر:9)
“Kamilah yang menurunkan
Alquran dan Kami (jugalah) yang menjaganya”
C. PEMELIHARAAN ALQURAN DI MASA ABU BAKAR
Penulisan
Alquran bukan soal baru, karena Rasulullah sendiri telah memerintahkan
penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai lembaran kulit dan
daun, tulang-tulang unta dan kambing yang kering, atau pada pelepah kurma.
Kemudian Abu Bakar memerintahkan pengumpulannya menjadi sebuah naskah, juga
naskah Alquran yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yang terdapat di
dalam rumah Rasulullah saw saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah.
Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar
tidak ada yang hilang.
Pada
tahun 12 H terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan kaum murtad (pengikut
Musailimah al-Kazzab) yang dinamakan peperangan “Yamamah”, di mana 70 penghafal
Alquran mati syahid. Melihat banyaknya penghafal Alquran itu gugur, maka Umar
bin Khaththab meminta kepada Abu Bakar agar ayat-ayat Alquran dikumpulkan. Dalam
shaheh Bukhari disebutkan bahwa Zaid bin Tsabit mengatakan: Bahwa Abu Bakar
memberi tahu kepadaku tentang orang-orang yang mati syahid dalam peperangan
Yamamah, lalu akupun datang kepada Abu Bakar. Secara bersamaan Umar ada di
tempat itu. Abu Bakar berkata: Bahwa Umar datang kepadaku yang menerangkan
bahwa peperangan Yamamah telah membawa korban para qurra’ dan ia khawatir para
qurra’ (penghafal Alquran) itu habis oleh peperangan yang menyebabkan hilangnya
alQur’an.
Apakah
anda menyuruh saya mengumpulkan Alquran? Saya menjawab: Bagaimana kita
melakukan sesuatu yang tidak dilaksanakan Rasul? Umar berkata: Ini (pengumpulan
Alquran), demi Allah merupakan pekerjaan yang baik. Umar terus menerus meminta
pendapatku dan mengulanginya agar aku mengumpulkan Alquran, sehingga Allah
melapangkan dadaku untuk mengambil inisiatif dan saya sependapat dengan Umar.
Kata Zaid bin Tsabit kembali, bahwa Abu Bakar berkata kepadaku: Bahwasanya
engkau wahai Zaid, seorang pemuda yang berakal. Kami tidak meragukan keahlian dan
agamamu dalam penulisan Alquran. Engkau seorang penulis wahyu di masa
Rasulullah maka periksalah alQur’an, kemudian kumpulkan dan satukanlah! Zaid
menjawab: demi Allah sekiranya mereka memberi beban kepadaku memindahkan salah
satu gunung di antara gunung-gunung itu, tadaklah yang demikian itu lebih berat
dari pada disuruh mengumpulkan dan menyatukan Alquran. Saya meneruskan,
bagaimana kamu bisa kerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi saw? Abu Bakar
menjawab: “Demi Allah ini suatu perbuatan yang baik”.
Maka
Abu Bakar selalu menyuruhku untuk mengerjakannya, barulah hatiku dilapangkan
oleh Tuhan. Maka aku memeriksa Alquran dan mengumpulkan lempengan-lempengan
dari pelepah kurma, dari batu, dari para penghafalnya. Setelah saya
melaksanakan, sampai saya mendapatkan akhir surat Taubah dari seorang Anshar
yang bemama Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku dapatkan kecuali bagi dia.
Ayat itu QS. At-Taubah: 128-129):
لقد جاءكم رسول
من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم فإن تولوا فقل
حسبي الله لا إله إلا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم
“Sesungguhnya telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sanat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari
keimanan), maka katakanlah:” Cukuplah Allah bagiu, tidak ada Tuhan selain Dia.
Hanya kepadaNya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memilik] `Arsy yang
agung “.
Mushaf
yang ditulis itu berada di rumah Abu Bakar sampai akhir hayatnya, kemudian
berpindah ke rumah Khalifah Umar selama hidupnya dan akhirnya berada di rumah
Hafshah binti Umar (Subh al-Shalih, 1977:75). Alasan kenapa Hafshah yang
menyimpan mushaf itu bukan di rumah Khalifah Usman ialah (1) Hafshah itu istri
Rasulullah dan anak khalifah (2) Hafshah itu seorang yang pandai tulis baca
(Subh al-Shalih, 1977:77).
Motif
Abu Bakar mengumpulkan Alquran semata-mata pekerjaan yang dianggap mulia karena
untuk menghindari adanya perubahan dalam Alquran. Kehilangan atau perubahan
Alquran itu bisa saja terjadi karena semakin lama semakin banyak Qurra’ yang
mati syahid. Padahal hafalan itu sebagai sumber terpenting pada masa
pengumpulan Alquran, di samping bukti tertulis.
Keberatan
Abu Bakar pada awalnya untuk mengumpulkan bukan berarti karena sulitnya mencari
sumber-sumber tertulis, tetapi karena tidak ada nash yang menyuruhnya, di
samping pada waktu itu pemerintahannya dihadapkan kepada para murtad dan
orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Konsekwensinya, membuat Abu Bakar
sangat berhati-hati menerima tilusan ayat-ayat Alquran dari para penulisnya dan
selalu tulisan itu disesuaikan dengan hafalan para sahabat.
D. PEMELIHARAAN ALQUR’AN DI MASA USMAN BIN
AFFAN
Beberapa
tahun berlalu dari pemerintahannya timbullah beberapa penggerak supaya meninjau
kembali mushaf yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit. Diriwayatkan oleh Bukhari
dalam kitab shahehnya dari Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik menceritakan bahwa
Huzaifah bin al-Tamam datang kepada Usman setelah memerangi penduduk Syam dalam
penaklukan Armenia dan Azerbaijan, bersama-sama penduduk Irak. Huzaifah
melihat hebatnya perselisihan antara mereka itu dalam soal qira’at. Huzaifah
meminta Usman segera memperbaiki keadaan ini, segera menghilangkan perselisihan
bacaan, agar umat Islam jangan berselisih mengenai kitab mereka, sebagaimana
perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Maka
Usman meminta Hafshah supaya memberikan mushaf yang ada padanya agar disalin ke
beberapa mushaf. Sesudah disalin, akan dikembalikan mushaf itu kepadanya.
Setelah mushaf diterima Usman, beliaupun menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalin
dari mushaf itu menjadi beberapa mushaf Pedoman yang diberikan pada panitia itu
ialah apabila terjadi perselisihan qira’at antara Zaid bin Tsabit (kaum Anshar,
penduduk Madinah), dengan temannya yang tiga itu, (dari suku Quraisy, penduduk
Makkah, kaum Muhajirin) hendaklah ditulis menurut qira’at orang Quraisy, karena
Alquran itu diturunkan dengan lisan mereka. Panitia itupun mulai melakukan
tugasnya pada tahun 25 H.
E. USAHA LANJUTAN DAN PROSES PENYEMPURNAAN
MUSHAF UTSMANI
Dahulu
Mushaf ‘Utsmani huruf-hurufnya tidak memakai tanda titik dan harakat. Hal itu
karena pembawaan bahasa Arab mereka yang masih murni (selamat), yang tidak
membutuhkan harakat dan titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan
dikarenakan adanya pecampuran dengan bahasa orang-orang ‘Ajam (orang non Arab),
maka pihak yang bertanggung jawab dalam masalah itu (pemerintahan saat itu)
merasa perlu untuk memperbaiki penulisan Mushaf dengan menambahkan harakat,
titik, dan lain-lain yang dapat membantu agar pembaca al-Qur’an bisa membaca
dengan benar.
Para
Ulama berbeda pendapat tentang awal mula usaha perbaikan ini. Kebanyakan Ulama
berpendapat bahwa yang pertama kali melakukan hal itu adalah Abul Aswad
ad-Duali rahimahullah, yang dinisbatkan kepada beliau peletakkan kaidah-kaidah
dasar bahasa Arab, berdasarkan perintah dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
Diriwayatkan
dalam masalah ini, bahwasanya beliau mendengar salah seorang membaca firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala:
… أَنَّ اللهَ
بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ … {3}
”…Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin. …. (QS. At-Taubah: 3)
Namun
orang itu membaca dengan mengkasrahkan huruf Laam dalam kata Wa rasuuluhu (dan
hal itu mengubah arti al-Qur’an, sehingga artinya dengan bacaan kasrah huruf
Laam menjadi ”Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyirikin dan
(berlepas diri dari) Rasul-Nya”). Maka kesalahan membaca tersebut membuat Abul
Aswad ad-Duali terkejut, dan beliau berkata:”Mahamulia Wajah Allah untuk
berlepas diri dari Rasul-Nya.” Lalu beliau pergi menuju Ziyad, gubernur Bashrah
dan beliau berkata kepadanya”Aku telah memenuhi apa permintaanmu.” Dahulu Ziyad
pernah meminta kepada Abul Aswad untuk membuatkan bagi manusia tanda-tanda
(harakat dan titik), yang dengannya mereka bisa mengenal (membaca dengan benar)
kitab Allah (al-Qur’an). Namun Abul Aswad terkesan lambat dalam merespon
permintaan tersebut hingga akhirnya beliau dikejutkan dengan peristiwa ini. Dari
sinilah beliau mulai berusaha keras, dan hasil akhir dari usaha kerasnya adalah
dengan membuat tanda untuk Fathah satu titik di atas huruf, untuk Kasrah satu
titik di bawah huruf, untuk Dhammah satu titik di antara ujung-ujung huruf, dan
untuk Sukun dua titik.
Imam
as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan dalam al-Itqaan, bahwa Abul Aswad ad-Duali
adalah orang pertama yang melakukan hal itu atas perintah ‘Abdul Malik bin
Marwan, bukan perintah dari Ziyad. Yang mana kaum Muslimin terbiasa membaca
dengan Mushaf ‘Utsmani selama lebih dari empat puluh tahun, hingga ketika
kekhalifahan ‘Abdul Malik terjadi banyak kekeliruan dalam membaca al-Qur’an dan
hal tersebut menyebar di ‘Iraq. Maka para Penguasa di sana memikirkan untuk
membuat titik dan harakat (pada Mushaf).
Dan
ada beberapa riwayat lain yang menyandarkan/menisbatkan pekerjaan ini
(pembuatan membuat titik dan harakat) kepada orang lain (selain Abul Aswad
ad-Duali). Di antaranya al-Hasan al-Bashri rahimahullah, Yahya bin Ya’mar, dan
Nahsr bin ‘Ashim al-Laitsi. Dan hanya Abul Aswad-lah yang terkenal dalam maslah
ini. Dan mungkin saja orang-orang lain yang disebutkan itu memiliki usaha-usaha
yang lain yang mereka kerahkan untuk memperbaiki dan mempermudah Rasm (metode
penulisan Mushaf)َ
Proses
perbaikan rasm ini dilakukan dengan bertahap, pada awalnya syakal (harakat)
berupa titik. Fathah berupa satu titik di atas awal huruf, Dhammah satu titik
di atas akhir huruf dan Kasrah satu titik di bawah awal huruf. Kemudian terjadi
perubahan penetuan harakat yang diambil dari huruf, dan itulah yang dicetuskan
oleh al-Khalil. Maka jadilah fathah garis melintang di atas huruf, kasrah
demikian juga namun di bawah huruf, dhammah wawu kecil di atas huruf, dan
tanwin dengan tambahan tanda yang serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti
pada tempatnya dituliskan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan
berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf
ba’ diberi tanda iqlab berwarna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda
apa-apa ketika idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati)
diberi tanda sukun dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda tetapi huruf
yang sesudahnya diberi tanda syaddah/tasydid/i] kecuali huruf tha’ sebelum ta’,
maka sukun tetap dituliskan diatasnya, seperti فرطْت (al-Itqaan: 2/168)
Kemudian
pada abad ketiga Hijriyah rasm Mushaf menjadi lebih baik dan lebih bagus
orang-orang pun berlomba-lomba untuk memilih bentuk tulisan yang baik dan
mencari tanda-tanda baru yang khas. Mereka memberikan tanda seperti busur untuk
huruf yang ditasydid. Sedangkan untuk alif washal diberi lekuk di atasnya,
bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya, apakah ia fathah,
kasrah atau dhammah.
Kemudian
secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surat dan bilangan
ayat, simbol-simbol yang menunjukkan kepala ayat dan tanda waqaf. Tanda untuk
waqaf lazim (wajib berhenti) adalah (م), waqaf mamnu’ (dilarang berhenti)
adalah (لا), waqaf ja’iz (boleh berhenti dan boleh lanjut) adalah (ج), waqaf
ja’iz tetapi washal (lanjut) lebih utama adalah (صلى), waqaf ja’iz tetapi berhenti
lebih utama adalah (قلى), waqaf mu’anaqah yang apabila telah waqaf/berhenti
pada satu tempat maka tidak dibenarkan berhenti di tempat lain adalah (:. .:),
selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb, dan penyempurnaan-penyempurnaan
lainnya.
Para
Ulama pada awalnya tidak menyukai usaha tersebut (pembuatan titik dan harakat
dan simbol), karena khawatir akan terjadi penambahan dalam al-Qur’an. Mereka
bersandarkan pada ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu:”Bersihkan (murnikan)
al-Qur’an dan jangan dicampur adukkan dengan apapun.”
Sebagian
dari mereka membedakan antara pemberian titik yang boleh dengan pembuatan
persepuluhan/al-A’syar, dan pembukaan-pembukaan surat yang tidak diperbolehkan.
Al-Halimi rahimahullah berkata:”Dimakruhkan penulisan persepuluhan, perlimaan,
nama-nama surat dan jumlahnya dalam Mushaf, berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud
radhiyallahu 'anhu “Bersihkan (murnikan) al-Qur’an”. Adapun titik-titik maka
itu diperbolehkan, karena titik-titik tersebut tidak memiliki bentuk yang dapat
membuat kerancuan sesuatu yang bukan al-Qur’an dianggap al-Qur’an. Akan tetapi
titik-titik tersebut hanyalah petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca,
sehingga keberadaannya tidak membahyakan (tidak berpengaruh buruk) bagi orang
yang membutuhkannya.”
Namun
akhirnya hal itu berujung pada bolehnya atau bahkan dianjurkannya membuat titik
dan harakat. Ibnu Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari al-Hasan dan Ibnu
Sirin bahwa keduanya mengatakan:”Tidak ada salahnya memberikan titik pada
mushaf.” an-Nawawi rahimahullah mengatakan:”pemberian titik dan
pensyakalan(pemberian harokat-ed) itu dianjurkan, karena hal tersebut dapat
menjaga Mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.”Perhatian untuk menyempurnakan
Mushaf, sekarang mencapai puncaknya dalam khat Arab.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama
RI, Alquran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir
Alquran, Jakarta, 1974.
Hasbi
ash-Shiddigy, Jlmu-ilmu Alquran, Media-media Pokok dalam Menafsirkan Alquran,
Bulan Bintang, Jakarta, 1972.
Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa,
2009
Muhammad
Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1998
Muhammad
Ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2003
Muhammad
Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004
http://www.
al-aziziyah.com/…/147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
0 komentar:
Posting Komentar