Makalah FIQIH
SIYASAH
“Beberapa
Aspek Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin”
Jurusan Hukum
Tata Negara Islam
Fakultas Syariah & Hukum
Uin Suska Riau
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi
Rabbil ‘Alamin... puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yamg telah
membentangkan jalan keselamatan buat insan dan menerangi mereka dengan pelita
yang terang benderang. Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad SAW yang membawa
petunjuk buat kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula, ucapan
keselamatan atas keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat.
Alhamdulillah
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan, kami menyadari bahwa makalah ini
masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karna itu kami sangat berterima
kasih apabila ada kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu
‘alaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dalam
setiap sistem pemerintahan, terdapat metode dan mekanisme dalam pengangkatan dan pemberhentian pemimpin.
Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyâdah)
dan kekuasaan (al-sulthân). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas
pembuat hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan
berkenaan dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum.
Dalam
sistem kerajaan misalnya, raja menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan
sekaligus. Dialah yang memiliki otoritas sebagai pembuat hukum sekaligus
penentu siapa yang menjadi penggantinya. Dalam hal ini, raja mengangkat ‘putra
mahkota’, yang biasanya berasal dari keturunannya.
Sedangkan
dalam sistem republik pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat.
Konsekuensinya, semua hukum dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang
dianggap menjadi representasi rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden
atau kepala negaranya. Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh
rakyat, bisa juga oleh parlemen.
Beranjak dari keterangan-keterangan diatas pada kesempatan ini kami
telah menyusun makalah Fiqih Siyasah dengan judul “Beberapa Aspek Tentang
Pengankatan dan Pemberhentian Pemimpin
. Semoga makalah ini dapat diterima semua kalangan. Aamiin.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Aspek pengangkatan pemimpin
Aspek pemberhentian pemimpin
C.
TUJUAN
Mengetahui tata cara pengangkatan pemimpin
Mengetahui tata cara pemberhentian pemimpin
Mengetahui sistem pemerintahan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam
sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân)
dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan
syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas
untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’),
baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût
(sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan
hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik
rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang
mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang
dibuat oleh Allah Swt
Sedangkan
kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk
menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’
itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah
(syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki,
merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.
Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang
baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan
melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan
satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.
Hadits-hadits
yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum
Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah
bin Shamit ra, ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي
الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا
Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan
mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan
yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan
(HR Muslim).
Diriwayatkan dari Jarir
bin Abdullah ra, ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Saya membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat,
membayar zakat, dan memberikan nasihat kepada seluruh muslim (HR
al-Bukhari).
Berdasarkan
hadits-hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari
umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan
sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun
perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn.
Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.
Ketentuan baiat
tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat.
Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat
untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat
itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat
untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara,
bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.
Sebagai
pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan yang wajib
ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan kepada
khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah
mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ
إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ
اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia
memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu.
Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu
(HR Muslim dan Abu Daud).
Tegaknya suatu pemerintahan dan negara dalam konsepsi politik Islam atau
siyasah syariah sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Almubarak adalah
keharusan adanya tiga prinsif, yaitu:
1.
Penentuan pemerintah, kepala negara dan pemilihannya.
2.
Penetapan syarat-syarat pokok atau sifat-sifat kecakapan yang harus ada
di dalam diri orang yang dipilih sebagai pemimpin bagi komunitas dan kepala
negara
3. Adanya dukungan politik dari Ahlu Ra’yi (Staf Ahli)[1]
A. Aspek Pengangkatan Pemimpin (Khalifah)
Selain
menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga menetapkan metode
pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah dengan bai’at. Baiat dalam buku Fikih Siyasah karya Drs. Beni Ahmad Saebani M.si
adalah perjanjian diantara dua golongan yaitu pemimpin dan rakyat untuk
bersedia taat kepada aturan-aturan Allah dan Rasul.[2] Kesimpulan
ini didasarkan pada baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw dan perintah beliau
kepada kita untuk membaiat seorang khalifah. Baiat kaum Muslim kepada
Rasulullah saw bukanlah baiat atas kenabian, tetapi baiat atas pemerintahan.
Masalah baiat ini juga tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ
عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ
وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ
بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan
sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan
membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik,
maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 12).
Imam al-Bukhari
meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin al-Shamit yang mengatakan:
بَايَعْنَا
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ
نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ
لَوْمَةَ لَائِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw agar mendengar dan
menaatinya, baik dalam keadaan senang maupun yang tidak disenangi; dan agar
kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami
mengerjakan atau mengatakan yang haqq di mana saja kami berasa, tidak takut
kepada Allah kepada celaan orang yang suka mencela (HR
al-Bukhari).
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw
bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ
إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ
اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia
memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu.
Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu
(HR Muslim dan Abu Daud).
Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ
لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا
تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ
فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya
oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya.
Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah.
Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau
menjawab, “Penuhilah baiat yang pertaama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak
mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan
yang dibebeankan kepada mereka” (HR al-Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah, dengan alafadz al-Bukhari).
Juga Hadits yang yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id al Khudri dari Rasulullah saw yang
bersabda:
إِذَا بُويِعَ
لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang
terakhir dari keduanya” (HR Muslim).
Nash-nash
al-Quran dan al-Sunnah tersebut menunjukkan bahwa baiat merupakan satu-satunya
metode pengangkatan khilafah. Para sahabat telah memahami perkara tersebut.
Bahkan mereka telah mempraktikkannya dalam pengangkatan al-khulafâ’ al-râsyidûn.
B.
Beberapa Bentuk Pengangkatan
Pemimpin
Bagi ummat Islam, tidak ada pilihan lain selain meyakini bahwa
menjalankan Syariat Islam merupakan bagian dari menjalani aturan agama secara
kaffah. Saat ini banyak terungkap keinginan untuk menegakkan Syariat Islam
diberbagai tempat di seluruh Indonesia.[3]
Memilih pemimpin secara hukum syariah juga merupakan keinginan ummat Islam,
akan tetapi kita harus mengetahui beberapa bentuk atau sistem pengangkatan
pemimpin sesuai siyasah islamiyah.
Prosedur
pengangkatan dan pembaitan khalifah dapat dilaksanakan dlam bentuk yang
berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana pernah dipraktikkan dalam al-khulafâ’
al-râsyidûn. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallah
‘anhum. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal,
tatacara itu termasuk dalam perkara yang harus diingkari seandainya
bertentangan dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan perkara
terpenting yang menjadi sandaran keutuhan institusi kaum Muslim dan kelestarian
pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam.
Pengangkatan
Abu Bakar ra sebagai khalifah dihasilkan dari hasil musyawarah sebagian kaum
Muslim di Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu, yang dicalonkan adalah Sa’ad bin
Ubadah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Umar bin al-Khaththab, dan Abu Bakar. Hanya
saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak bersedia menjadi pesaing Abu
Bakar sehingga seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan
Saad bin Ubadah saja. Bukan yang lain. Dari hasil musyawarah itu, dibaiatlah
Abu Bakar. Pada hari kedua kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi untuk membaiat
Abu Bakar. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah bai’at in’iqãd
yang mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Sementara baiat pada hari kedua
merupakan baiat taat.
Ketika
Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkannya pada kematian dan pasukan
Muslim sedang berada medan perang melawan negara besar (Persia dan Romawi),
beliau memanggil kaum Muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang
akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat itu
berlangsung selama tiga bulan. Setelah Abu Bakar telah selesai meminta pendapat
kaum Muslim, beliau pun mengetahui pendapat mayoritas yang menghendaki Umar
sebagai penggantinya. Maka Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi khaifah
sesudahnya. Penunjukan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan
Umar sebagai khalifah. Sebab, sesudah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke
masjid dan tetap membaiat Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan. Artinya,
dengan baiat inilah Umar sah menjadi kaum Muslim. Bukan dengan proses
pengumpulan pendapat kaum Muslim. Juga bukan dengan proses penunjukan oleh Abu
Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad kehilafahan kepada
Umar, tentu tidak diperlukan baiat kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang
telah disebutkan sebelumnya yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak
akan menjadi khalifah kecuali melalui baiat kaum Muslim.
Ketika
Umar tertikam, kaum Muslim meminta beliau menunjuk penggantinya. Akan tetapi,
Umar menolaknya. Karena terus didesak, Umar pun menunjuk enam orang yang
bermusyawarah mengenai khalifah penggantinya. Keenam orang itu adalah Ali bin
Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhab bin Ubaidillah,
Zubair bin al-Awwam, dan Saad bi Abi Waqash. Beliau juga menunjuk Suhaib untuk
mengimami masyarakat dan memimpin enam orang yang telah dicalonkan itu hingga
terpilih seorang khalifah dari mereka. Mereka diberikan jangka waktu tiga hari
untuk membuat keputusan. Beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang
telah bersepakat, dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara
satu orang yang lain menolaknya, maka penggallah leher orang itu dengan
pedang.” Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh
orang lainnya untuk mengawal mereka. Beliau memilih Miqdad untuk memilih tempat
bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan.
Setelah
Umar wafat dan setelah para calon berkumpul Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Siapakah
di antara kalian yang mau mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya
untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semua diam. Lalu
Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku mengundurkan diri.”
Abdurrahman
mulai meminta pend pat mereka satu-persatu. Ia menanyai mereka, seandainya
perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih
berhak. Akhirnya jawabannya terbatas pada dua orang: Ali bin Abi Thalib dan
Utsman bin ‘Affan. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pendapat kaum Muslim
dan menanyai siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka
kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali
pendapat masyarakat. Abdurrahman melakukannya bukan hanya siang hari, tetapi
juga malam hari.
Imam
al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang
berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, ia mengetuk
pintu hingga aku terbangun. Ia berkata,”Aku melihat engkau banyak tidur.
Demi Allah, janganlah kalian banyak tidur mengabiskan tiga hari ini –yakni tiga
malam—dengan banyak tidur.” Ketika orang-orang melaksanakan subuh, maka
sempurnalah pembaitan Utsman. Dengan baiat kaum Mukmin itulah Utsman menjadi
khalifah. Bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang tersebut.
Sesudah
Utsman bin ‘Affan terbunuh, mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiat
Ali bin Abi Thalib. Dengan baiat kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah.
Bertolak
dari tatacara pembaiatan al-khulafâ’ al-râsyidûn para sahabat itu,
dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada
masyarakat. Di samping itu, syarat in’iqãd terpenuhi pada
masing-masing calon. Kemudian di ambilalih pendapat Ahli Halli wa al-aqdi
di antara kaum Muslim, yaitu yang merepresentasikan umat. Mereka
merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa al-khulafâ’
al-râsyidûn. Siapa saja yang dikehendaki sahabat atau mayoritas para
sahabat untuk dibaiat dengan in’iqãd, yang dengan itu ia menjadi
khalifah, maka kaum Muslim wajib membaiat mereka dengan baiat taat. Demikianlah
proses terwujudnya khilafah yang menjadi wakil umatdalam menjalankan
pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah
yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan al-khulafa’
al-rasyidun –semoga Allah meridhai mereka. Selain itu, ada dua perkara lain
yang dapat dipahami pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur
pembaiatan Utsman. Dua perkara itu adalah: (1) adanya amir atau pemimpin
sementara selama masa penngangkatan khalifah yang baru, dan (2) pembatasan calon
sebanyak enam orang sebagai batasan maksimal.
C. Masa Jabatan Pemimpinan (Khalifah)
Dalam
sistem khilafah, jabatan khalifah tidak memiliki periode tertentu atau dibatasi
dengan waktu tertentu sebagaimana dalam sistem republik. Selama khalifah tidak
kehilangan syarat, berpegang teguh kepada syariah, menerapkan hukum-hukumnya,
serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab
kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Hal ini didasarkan peda
riwayat Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik, dari Nabi saw bahwa beliau
bersabda:
اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ
زَبِيبَةٌ
Dengar dan taatlah pemimpin kalian sekalipun yang memimpin
adalah seorang budak hitam yang kepalanya seperti dipenuhi bisul
(HR al-Bukhari).
Dari Nafi’ bin Abdullah
ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Mendengar dan taat kepada seorang (pemimpin) muslim wajib
dalam hal yang disulai atau dibenci selama tidak diperintahkan maksiat. Apabila
diperintahkan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat (HR
al-Bukhari).
Di
samping itu, al-khulafâ’ al-râsyidûn`masing-masing telah dibaiat
secara mutlak sebagaimana yang terdapat dalam sejumlah hadits. Kekhilafahan
mereka tidak dibatasi dengan masa tertentu. Masing-masing dari al-khulafâ’
al-râsyidûn memimpin sejak dibaiat sampai wafat. Dengan demikian, ini
merupakan ijma’ sahabat yang menunjukkan bahwa kekhilafahan tidak mempunyai
masa tertentu, tetapi bersifat mutlak.
D. Pemberhentian Khalifah
Syara’
memang telah memberikan hak bagi umat memilih dan mengangkat khalifah. Akan
tetapi, umat tidak berhak memberhentikannya selama akad baiat kepadanya
dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syara’. Kendati demikian,
bukan berarti khalifah tidak dapat berhentikan apa pun keadaannya.
Syara’
telah menjelaskan keadaan-keadaan tertentu yang khalifah dinyatakan berhenti
secara otomatis, seperti hilangnya syarat-syarat sah khilafah pada dirinya. Di
antara syarat sah khalifah adalah Muslim. Apabila seorang khalifah murtad, maka
harus diturunkan. Demikian pula jika gila total yang tidak dapat diharapkan
kesembuhannya, atau ditawan musuh yang tidak mungkin bisa melepaskan diri.
Sebab, syarat sah khalifah adalah berakal dan merdeka.
Di
samping itu, dijelaskan pula keadan-keadaan tertentu yang khalifah harus
diberhentikan oleh mahkamah madzãlim, seperti ketika ia tidak
dapat melaksanakan tugasnya karena suatu sebab atau kehilangan ‘adâlah-nya,
yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan.
Termasuk
pula jika seorang khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, semisal hendak
mengubah undang-undang negara yang berasal dari syariah menjadi undang buatan
manusia. Dari ‘Auf bun Malik, bahwa Rasulullah saw bersabda:
خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ
وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ
وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan
mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian, kalian pun mendoakan
mereka. Seburuk-buruknya pemimpin adalah kalian benci mereka dan mereka pun
membeci kalian, kalian laknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Ditanyakan
kepada beliau, “Apakah tidak kami perangi saja mereka dengan pedang?”
Rasulullah saw menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di
tengah-tengah kalian.” (HR Muslim).
Yang
dimaksud dengan ‘menegakkan shalat’ dalam hadits ini adalah menegakkan
hukum-hukum Islam. Ini sejalan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari Ubadah
bin al-Shamit. Bahwa kekuasaan harus dicabut dari penguasa yang menampakkan kekufuran
yang nyata. Dari ‘Ubadah bin al-Shamit ra, berkata:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً
عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا
بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Kami
membaiat untuk mendengar dan taat dalam yang kami senangi atau kami benci,
keadaan lapang atau sempit, benar-benar kami prioritaskan, dan tidak mencabut
kekuasaan dari pemegangnya, kecuali “kamu melihat kekufuran yang nyata, yang
kalian memiliki dalil jelas dari Allah (HR Muslim).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selain
menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga menetapkan metode
pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah dengan bai’at. Kesimpulan
ini didasarkan pada baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw dan perintah beliau
kepada kita untuk membaiat seorang khalifah. Baiat kaum Muslim kepada
Rasulullah saw bukanlah baiat atas kenabian, tetapi baiat atas pemerintahan.
Masalah baiat ini juga tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Prosedur
pengangkatan dan pembaitan khalifah dapat dilaksanakan dlam bentuk yang
berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana pernah dipraktikkan dalam al-khulafâ’
al-râsyidûn. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallah
‘anhum. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal,
tatacara itu termasuk dalam perkara yang harus diingkari seandainya
bertentangan dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan perkara
terpenting yang menjadi sandaran keutuhan institusi kaum Muslim dan kelestarian
pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam.
B.
Saran
Tiada gading yang tak retak, retaknya itu bisa jadi ukiran. Tiada
manusia yang sempurna, semoga kekurangan dapat di maafkan. Semoga kekurangan
yang terdapat di dalam makalah ini dapat dimaklumi dan kepada para cendikiawan
semoga dapat memberi saran demi permaikan makalah ini. Akhir kata Wasslamu
‘alaikum warohmatulloh wa barokatuh.
DAFTAR PUSTAKA
Saebani,
Beni Ahmad. 2010. Fiqih Siyasah. Bandung: Pustaka Setia
Azra,
Azyumardi. 2007. Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim. Jakarta: Hikmah
Hikmat,
Asep. 1995. Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan
Santoso,
Topo. 2013. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani Press
www.google.com
0 komentar:
Posting Komentar