Makalah
MEWUJUDKAN PERADILAN
BERSIH DAN BERWIBAWA
Hukum tata negara
Fakultas syariah & hukum
UIN SUSKA RIAU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
MEWUJUDKAN PERADILAN BERSIH DAN
BERWIBAWA
Sistem hukum menurut Lawrence M
Friedman, terdiri dari tiga unsur, yaitu stuktur (structure), substansi (substance)
dan kultur hukum (legal culture).
Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian
yang memberi semacam bentuk atau batasan terhadap keseluruhan. Substansi adalah
aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Substansi juga berarti produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan
yang mereka keluarkan, peraturan baru yang mereka susun. Substansi juga
mencakup living law (hukum yang
hidup) dan bukan hanya aturan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang (law books). Sedangkan kultur hukum
adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai,
pemikiran serta harapannya. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri
tidak berdaya seperti ikan mati yang terkapar di keranjang dan bukan seperti
ikan yang hidup di laut.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
struktur diibaratkan sebagai mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan
apa yang dihasilkan oleh mesin dan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja
yang menentukan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.
Fakta yang menyedihkan menurut
Achmad Ali, ketiga unsur sistem hukum itu mengalami keterpurukan dan berakibat
dunia hukum di Indonesia mendapat sorotan tajam dari seluruh lapisan masyarakat
baik dari dalam maupun luar negeri.
Mereka menuntut sistem hukum ditegakkan sebagaimana mestinya.
Di era sekarang ini penegakan hukum
merupakan bagian dari tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya suatu
reformasi hukum, akan tetapi sering kali tuntutan masyarakat terhadap reformasi
hukum tersebut hanya disudutkan pada “hakim”,
dalam hal ini pengadilan. Padahal
penegakan hukum bukan hanya dibebankan pada tugas hakim/pengadilan saja tetapi
termasuk sebagai bagian tugas dari polisi selaku penyidik, jaksa selaku
penuntut umum, advocat dan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara yang sering
disebut dengan istilah “criminal justice
system”.
Fenomena hujatan dan kritikan publik
terhadap peradilan dengan melemparkan istilah “mafia peradilan/Judicial Corruption” telah lama
terdengar, semua itu terjadi disebabkan adanya dalih mendapatkan hak dan
memperjuangkan kebenaran semu, para pihak tersebut “memaksakan kebenaran” meski
nyata-nyata berada di tempat yang salah untuk menghubungi para hamba hukum
seperti polisi, jaksa, hakim dan advocat. Lebih parah lagi para hamba hukum
tersebut bersedia menggadaikan kebenaran dengan kenikmatan sesaat. Singkat
kata, benar menjadi salah, dan salah menjadi benar.
Praktik
“mafia peradilan/Judicial Corruption”
dilakukan antara lain, (1) memilih oknum hakim tertentu yang memiliki hubungan
khusus dengan advocat tertentu, (2) pemalsuan putusan, (3) mempercepat atau
memperlambat perkara, (4) pengaturan berat dan ringan hukuman, dan (5)
penafsiran pasal-pasal perundang-undangan yang intinya agar putusan sesuai
dengan keinginan. Tentunya tidak terlupakan praktik “mafia peradilan/Judicial Corruption” yang dilakukan oleh
Hakim “MA” sebagai Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tangerang, Propinsi
Banten, memvonis bebas terdakwa penggelapan Gayus HP Tambunan.
Dia
disebut menerima USD40.000 (empat puluh ribu dolar US) dari terdakwa kasus
mafia pajak tersebut dan Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) DKI
Jakarta dengan inisial “I” yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) tengah menerima suap sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dari advocat Abner Sirait, ditambah lagi tindakan jaksa “UTG” dan “DSW” demikian juga yang dilakukan
petugas pemasyarakatan baik terhadap pemberian fasilitas kepada “Ayin” maupun
pengendalian narkoba dari lembaga pemasyarakatan serta banyak kasus lain yang
mencoreng dunia peradilan kita.
Melihat fenomena tersebut di atas,
secara empiris seharusnya menjadi bahan renungan sehingga perlu adanya sikap
reintrospeksi kelembagaan dan kebijakan aparatur peradilan untuk merefleksikan
kinerja pelayanannya terhadap publik. Hal ini bersesuaian pula dengan teori
hukum kausalitas yang mengajarkan bahwa “apa yang terjadi hari ini adalah
akibat pekerjaaan kita di masa lalu”, dalam konteks ini, kondisi hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan saat ini, juga tidak bisa
dilepaskan dari kinerja peradilan di masa lalu. Oleh karena itu, saat ini,
mulai detik ini, seluruh insan peradilan (terutama hakim) perlu memperbaiki
diri untuk lebih baik lagi, bukankah dalam Al-Qur’an Surat Al-Zalzalah ayat 7-8
difirmankan “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, pasti akan
melihat akibatnya” secara dogmatis manusia diajarkan bahwa manusia dipastikan
akan menuai hasil dari apapun yang ditanamnya di dunia ini.
Dalam rangka perbaikan kinerja
peradilan agar penegakan hukum benar-benar dilaksanakan sebagaimana seharusnya
dan agar para penegak hukum, khususnya
para hakim, memiliki integritas dan
nurani maka penulis mencoba menuangkan
pokok pikiran tentang mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.
BAB II
PEMBAHASAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa “misi
suci” (mission sacree) lembaga
peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu sendiri,
seperti yang dikemukakan oleh Oliver
Wendell Holmes, “The Supreme court is not court of justice, it is a court of
law”, melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu
maupun bagi masyarakat, bangsa, dan Negara, bahkan keadilan yang dimaksud
adalah keadilan Demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan
bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib dan damai. Hal ini tercermin
dari setiap putusan hakim di Indonesia, yang diawali dengan ungkapan yang
sangat religius, yakni : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Disamping itu adanya motto dari B.M.Taverne “Berikan aku Hakim yang
baik, Jaksa yang baik dan Polisi yang baik maka aku akan berantas kejahatan
walau tanpa undang-undang secarikpun”,[1][4] dan kalau kita memasuki lembaga-lembaga pengadilan di
Inggris, maka ditemukan motto yang hampir sama yaitu “berikan aku hakim yang
baik, meski di tanganku ada hukum yang buruk”.
Motto ini untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau
menangani perkara supaya dirinya tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya
terdapat kekurangan, pada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang
berkategori lemah dan mengundang banyak penafsiran (interpretasi).
Dari motto tersebut, hakim merupakan
kunci pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal
justice system) dominan berada di dalam kekuasaannya, bukan diletakkan pada
produk hukumnya. Produk yuridisnya boleh
saja kurang, kabur, dan bahkan cacat, tetapi mentalitas hakim dilarang cacat,
tidak boleh lebih buruk dibandingkan kondisi produk hukumnya.
Atas hal tersebut hakim merupakan
bagian terpenting dalam penegakan hukum dan mencerminkan wajah peradilan secara
keseluruhan, walaupun ada rekayasa di Kepolisian, Kejaksaan ataupun tempat lain
hakim dapat memahami dan mengetahui itu semuanya sehingga kemudian dapat
mengeluarkan produk berupa putusan yang bermartabat dan kemudian dapat merebut
kembali kepercayaan publik terhadap dunia peradilan.
1.
Hukum atau peraturan itu sendiri.
2.
Petugas yang menegakkan hukum.
3.
Warga masyarakat yang terkena ruang
lingkup peraturan hukum.
4.
Kebudayaan atau legal cultur dan
5.
Sarana atau fasilitas yang dapat
diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Jadi dapat dikatakan inti dari
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dalam sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Berkaitan dengan hal tersebut
diatas, untuk membangun kepercayaan
banyak langkah yang bisa dilakukan untuk mengembalikan citra lembaga
peradilan, maka diambillah
langkah-langkah pembaharuan normatif, pembaharuan sistem pengelolaan,
pembaharuan orientasi, pembaharuan sumber daya manusia dan lain-lain. Berbagai langkah ini belumlah sepenuhnya
mampu memulihkan kepercayaan tapi paling tidak sebagai penentu bagi terciptanya
tata peradilan yang baik dan berwibawa, secara internal lembaga peradilan harus
didukung oleh hal-hal sebagai berikut :
1.
Pengadilan harus bersih dari segala
bentuk KKN, untuk itu diupayakan hal-hal seperti : a). membangun pribadi hakim
yang berintegritas, b).sistem kontrol yang baik, c). fasilitas yang cukup, dan
d). intelektualitas hakim yang handal. Secara ekternal harus didukung juga
hal-hal sebagai berikut : a).budaya yang baik dari masyarakat, yakni masyarakat
harus patuh dan hormat pada hukum, tidak berbuat dengan segala cara untuk
memenangkan perkara, dan masyarakat harus terbebas dari budaya suap menyuap,
b). keberadaan lembaga peradilan harus mendapat dukungan politik yang memadai
seperti ketersediaan anggaran yang cukup, dan c). dukungan sosial yang cukup
untuk turut serta memecahkan masalah bukan sekedar membicarakan masalah atau
sekedar memajukan tuntutan.
2.
Lembaga peradilan, utamanya majelis
hakim harus bebas dari segala bentuk campur tangan dari suatu kekuasaan atau
kekuatan sosial atau kekutan politik yang menggiring suatu majelis hakim pada
arah tertentu.
3.
Membangun sikap hormat dan patuh
pada pengadilan dan putusan majelis hakim sebagai suatu bentuk keikutsertaan
membangun pengadilan yang berwibawa.
4.
Sistem manajemen yang menjamin
efisiensi, efektifitas, produktivitas, putusan-putusan yang bermutu atau
memberi kepuasan kepada yang berperkara atau publik pada umumnya. Hal ini dapat
dicapai dengan membangun sumber daya yang bermutu, sistem manajemen yang baik,
dukungan dana yang cukup, dan berbagai prasarana dan sarana yang memadai.[3][7]
Mahkamah Agung Republik Indonesia
memiliki Visi dan Misi yang telah dirumuskan dalam Cetak Biru dan Rencana
Strategis MARI 2010-2035 adalah sebagai berikut : 1). Visi yaitu terwujudnya
Badan Peradilan Indonesia yang Agung, dengan rincian yang terkandung dalam visi
tersebut adalah :
a). Bahwa peradilan menunjukkan lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. b). Indonesia menunjukkan lokasi keberadaan Mahkamah Agung. c). Agung menunjukkan keadaan/sifat kehormatan, kebenaran, kemuliaan, keluhuran. Jadi yang ingin dicapai melalui visi ini adalah menjadikan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya sebagai lembaga peradilan yang dihormati, yang dikelola dan diawasi oleh hakim dan pegawai yang memiliki kemuliaan, kebesaran dan keluhuran sikap dan jiwa dalam melaksanakan tugas pokoknya memutus perkara. 2). Misi Mahkamah Agung untuk memperjelas upaya pencapaian keberhasilan visi tersebut, telah dirumuskan 4 misi sebagai fokus program kerjanya: a). Menjaga kemandirian lembaga peradilan. b). Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan. c). Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan. d). Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.[4][8]
a). Bahwa peradilan menunjukkan lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. b). Indonesia menunjukkan lokasi keberadaan Mahkamah Agung. c). Agung menunjukkan keadaan/sifat kehormatan, kebenaran, kemuliaan, keluhuran. Jadi yang ingin dicapai melalui visi ini adalah menjadikan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya sebagai lembaga peradilan yang dihormati, yang dikelola dan diawasi oleh hakim dan pegawai yang memiliki kemuliaan, kebesaran dan keluhuran sikap dan jiwa dalam melaksanakan tugas pokoknya memutus perkara. 2). Misi Mahkamah Agung untuk memperjelas upaya pencapaian keberhasilan visi tersebut, telah dirumuskan 4 misi sebagai fokus program kerjanya: a). Menjaga kemandirian lembaga peradilan. b). Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan. c). Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan. d). Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.[4][8]
Untuk dapat mengevaluasi
keberhasilan dari 4 misi tersebut digunakan Area
of Court Excellence sebagai instrumen penyusunan keberhasilan yang meliputi
: a). Manajemen dan kepemimpinan badan peradilan. b). Kebijakan peradilan. c).
Sumber daya manusia, materiil dan kekayaan. d). Proses peradilan/pengadilan.
e). Pemenuhan kebutuhan dan kepuasan para pencari keadilan.
Melalui parameter ini, pengukuran
keberhasilan ada pada : a).Pemenuhan kebutuhan dan kepuasan para pencari
keadilan. b). Keterjangkauan pelayanan badan peradilan. c). Kepercayaan publik.
Artinya Mahkamah Agung dan badan peradilan mencapai tujuannya bila : a).
Pencari keadilan terpenuhi kebutuhan dan kepuasannya. b).Pencari keadilan dapat
menjangkau badan peradilan.
Berdasarkan visi dan misi di atas,
dikembangkanlah nilai-nilai utama badan peradilan. Nilai-nilai inilah yang akan
menjadi dasar perilaku seluruh warga badan peradilan dalam upaya mencapai
visinya. Pelaksanaan dari nilai-nilai pada akhirnya akan membentuk budaya badan
peradilan. Nilai-nilai yang dimaksud, adalah :
1.
Kemandirian kekuasaan kehakiman
(Pasal 24 ayat (1) UUD 1945).
a.
Kemandirian Institusional.
Badan Peradilan adalah lembaga mandiri dan harus bebas dari
intervensi oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (Pasal 3 ayat (2) UU
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
b.
Kemandirian Fungsional.
Setiap hakim wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan
tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman). Artinya, seorang hakim dalam memutus perkara harus didasarkan pada
fakta dan dasar hukum yang diketahui, serta bebas dari pengaruh, tekanan, atau
ancaman, baik langsung ataupun tak langsung, dari manapun dan dengan alasan
apapun juga.
2.
Integritas dan kejujuran (Pasal 24A
ayat (2) UUD 1945, Pasal 5 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
Perilaku hakim harus dapat menjadi teladan bagi
masyarakatnya. Perilaku hakim yang jujur dan adil dalam menjalankan tugasnya,
akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan kredibilitas putusan yang kemudian
dibuatnya. Integritas dan kejujuran harus menjiwai pelaksanaan tugas aparatur
peradilan.
3.
Akuntabilitas (Pasal 52 dan Pasal 53
UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Hakim harus mampu melaksanakan tugasnya, menjalankan
kekuasaan kehakiman dengan profesional dan penuh tanggung jawab. Hal ini antara
lain diwujudkan dengan memperlakukan pihak-pihak yang berperkara secara
profesional, membuat putusan yang didasari dengan dasar alasan yang memadai,
serta usaha untuk selalu mengikuti perkembangan masalah-masalah hukum aktual.
Begitu pula halnya dengan aparatur peradilan, tugas-tugas yang diemban juga
harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan profesional.
4.
Responsibilitas (Pasal 4 ayat (2)
dan Pasal 5 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Badan peradilan harus tanggap atas kebutuhan pencari
keadilan, serta berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
mencapai peradilan yang sederhana,cepat, dan biaya ringan. Selain itu, hakim
juga harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
5.
Keterbukaan (Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, Pasal 13 dan Pasal 52 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Salah satu upaya badan peradilan untuk menjamin adanya
perlakuan sama di hadapan hukum, perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang
adil, adalah dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan penanganan suatu perkara dan
kejelasan mengenai hukum yang berlaku dan penerapannya di Indonesia.
6.
Ketidakberpihakan (Pasal 4 ayat (1)
UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Ketidakberpihakan merupakan syarat utama terselenggaranya
proses peradilan yang jujur, adil, dan
berwibawa, serta dihasilkannya suatu putusan yang mempertimbangkan
pendapat/kepentingan para pihak terkait. Untuk itu, aparatur peradilan harus
tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berperkara.
7.
Perlakuan yang sama di hadapan hukum
(Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 UU No.48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman).
Setiap warga Negara, khususnya pencari keadilan, berhak
mendapat perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam rangka meningkatkan kualitas
kerja dan kinerja warga peradilan, agar
terwujud peradilan yang bersih dan berwibawa,
maka perlu upaya untuk mengarahkan perilaku seluruh warga badan peradilan
sesuai dengan nilai-nilai utama badan peradilan tersebut di atas, dengan cara mengoptimalkan pengawasan yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Untuk
tercapainya efektifitas pengawasan secara internal, Mahkamah Agung harus
melakukan pengawasan secara efektif dan sungguh-sungguh terhadap pemilihan
hakim, panitera dan pejabat peradilan lainnya dalam melakukan tugasnya, dan
secara eksternal Komisi Yudisial melaksanakan tugas dan fungsinya untuk menjaga
kehormatan dan kewibawaan hakim dalam arti melaksanakan pengawasan yang
berkaitan dengan perilaku hakim.
Selain itu menyiapkan sarana
keperluan pengaduan masyarakat, dalam arti meja pengaduan publik yang ada pada
setiap Pengadilan harus dilaksanakan secara optimal dan mendapat perhatian yang
serius, penanganan laporan kinerja hakim
dan pengaduan masyarakat yang disampaikan kesatuan harus sungguh-sungguh
ditindaklanjuti, Mahkamah Agung melalui badan pengawasan dibawah koordinasi
Ketua Muda Pengawasan harus mampu memahami simpul-simpul yang memungkinkan
terjadinya pelanggaran (mafia peradilan ) baik di tingkat pencatatan
administrasi perkara, distribusi perkara, waktu yang wajar untuk menyidangkan
perkara, dan putusan yang wajar dari perkara tersebut.
Penjatuhan sanksi juga merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kualitas kerja dan kinerja warga peradilan
karena penjatuhan sanksi secara tegas dan tidak pandang bulu yang diberikan
olah Mahkamah Agung kepada yang terbukti melakukan pelanggaran dan penjatuhan sanksi diumumkan kepada publik
secara transparan sehingga publik tahu tentang hal itu.
BAB III
PENUTUP
Sistem peradilan merupakan
sinergisme atas kinerja para penegak hukum, yang terdiri atas polisi, jaksa,
advocat dan hakim beserta segala daya dukungnya yang menyatu dalam proses penegakan
hukum dan keadilan, dan bagi bangsa Indonesia benteng terakhir untuk
mendapatkan keadilan hanya diperoleh di pengadilan. Hakim menjadi ujung tombak
untuk mewujudkan terpenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat.
Implementasi nilai-nilai utama badan
peradilan dalam pelaksanaan tugas hakim, yang meliputi kemandirian kekuasaan
kehakiman baik institusional maupun fungsional,
integritas dan kejujuran, akuntabilitas,
responsibilitas,
keterbukaan,
ketidakberpihakan, dan perlakukan
yang sama di hadapan hukum, dengan disertai pengawasan Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial yang efektif, maka pada
akhirnya diharapkan akan mampu
mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.
DAFTAR PUSTAKA
Ali.
Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia.
PT. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Tim
MARI. 2010. Cetak Biru Pembaharuan
Peradilan 2010-2035.
Sudirman.
Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan
Putusannya. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung.
Wahid.
Abdul dan Moh.Muhibbin. 2009. Etika
Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia. Bayumedia
Publishing. Malang.
Jurnal
:
Nadapdap.
Binoto. 2003. Mendambakan Putusan Hakim Yang Berwibawa. Jurnal Keadilan. Volume 3 Nomor 2. Hal.12
Majalah
:
Mujahidin.
AM. 2008. Sistem Peradilan Satu Atap di Indonesia. Varia Peradilan. Tahun XXIII N0.269.
Ridwan.
2008. Perilaku Hukum di Pengadilan Dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Yang
Bermartabat. Varia Peradilan. Tahun
XXII No.272.
Harahap.
Krisna. 2010. Paradigma Baru Konsep Hakim Transformatif : Perspektif Agenda
Reformasi Peradilan. Buletin Komisi
Yudisial. Volume V Nomor 2.
0 komentar:
Posting Komentar