Sebab-sebab Timbulnya Aliran
Filsafat Hukum Islam
Sebab munculnya aliran-aliran filsafat adalah karena
perbedaan pandangan para filosof terkait dengan definisi filsafat yang
berbuntut pada perbedaan beberapa prinsip sehingga menyebabkan berdirinya
beberapa aliran filsafat. Secara teori, aliran-aliran filsafat dalam peradaban
Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik (Massyâ) dan Iluminasionis (Isyrâq).
Sumber dua aliran ini pada dasarnya berasal dari Yunani
kuno. Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang merupakan metode rasional
yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik sementara metode
pemikiran Plato yang merupakan sebuah metode inspirasional disebut sebagai
metode Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban Yunani
yang dapat ditelusuri hingga filosof Yunani yaitu Phytagoras.
Setelah buku al-Syifâ
karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur
terpenting filsafat adalah buku al-Asfar
al-Arba’ah karya Mulla Sadra. Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra,
kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra. Buku-buku
yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian dan pemaparan yang berdasarkan
pada paradigma pemikiran Sadrian dan dewasa ini aliran filsafat yang tersebar
adalah aliran filsafat Hikmah Mut’aliyah (Filsafat Hikmah) Mulla Sadra.
Pada peradaban Yunani Kuno setiap aliran memiliki definisi
tersendiri terkait dengan filsafat. Bahkan Plato yang berpandangan
Iluminasionis, memiliki definisi yang berbeda dengan gurunya Sokrates atau
dengan muridnya Aristoteles. Ragam definisi ini disertai dengan prinsip-prinsip
filosofis aliran-aliran Yunaninya telah memasuki peradaban Islam memberi
pengaruh pada munculnya aliran-aliran filsafat dalam Islam.
Definisi filsafat yang disebutkan sebagai ilmu yang
membahas tentang esensi, sifat, hukum-hukum dan kondisi-kondisi universal wujud
sebagaimana adanya ia (yang dilakukan) sesuai dengan kemampuan manusia” merupakan
definisi Peripatitek terkait dengan filsafat. Demikian juga definisi filsafat
sebagai ilmu yang memunculkan perubahan dalam diri manusia yang secara perlahan
memasuki alam akal dan mirip dengan alam luaran. Definisi ini dapat disaksikan
pada tuturan-tuturan Farabi dan Mulla Sadra. Definisi filsafat ini sepertinya
merupakan definisi yang diadopsi dari aliran Phytagoranisme atau aliran etika
Stoikisme yang berdasarkan pada definisi tersebut tujuan filsafat adalah
penyempurnaan jiwa pada sisi ilmu dan amal.
Akan tetapi amal yang menjadi obyek perhatian filosof Ilahi
adalah penyucian jiwa yang merupakan tujuan pertama filsafat yaitu mengetahui
realitas-realitas seluruh entitas dan setelah beramal sesuai dengan ilmu
sehingga dengan demikian wajarlah filsafat terdiri menjadi dua bagian. Bagian
teori dan bagian praktis yang tentu saja bagian praktis filsafat tujuan
utamanya adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang dapat menata masyarakat
dengan baik dan benar, kemudian bagian teorinya, dapat meraih sukses
pada peradaban filsafat Islam.
Namun filosof Islam kurang menaruh perhatian pada sisi-sisi
filsafat praktis Yunani dan yang menjadi obyek perhatian kaum Muslimin pada
filsafat praktis Yunani adalah hal-hal umum yang berkaitan dengan dasar-dasar
etika praktis; karena hukum-hukum fikih Islam dan akhlak-akhlak praktisnya telah
mencukupi bagi kaum Muslimin. Dari sudut pandang teori aliran-aliran filsafat
dalam peradaban/hukum Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik (Massyâ) dan Iluminasionis (Isyrâq). Sumber dua aliran ini pada
dasarnya berasal dari Yunani kuno.
Ibnu Sina menjadikan aliran filsafat Aristoteles sebagai
metode dasar filsafatnya sementara Suhrawardi menjatuhkan pilihan pada sistem
filosofis Plato. Namun hal ini secara mutlak tidak sepenuhnya tepat karena
tiada satu pun filosof dalam peradaban filsafat Islam yang Peripatetik murni
dan Iluminasionis murni.
Dengan mengkaji literatur-literatur filsafat Islam kita
sampai pada kesimpulan bahwa filsafat Islam dalam pembahasan teologis tidak
terlalu berkukuh menetapkan batasan dan cakupan aliran-aliran. Secara prinsip hal
ini bukan menjadi tujuan mereka belajar filsafat.
Tujuan yang mereka ingin capai dalam filsafat Ilahi dan urusan-urusan metafisikal adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang tepat berdasarkan ilmu dan amal. Dengan merealisasikan tujuan ini sistem pemikiran Aristotelian dapat diwujudkan dan juga sistem pemikiran Platonian serta gabungan dari kedua metode pemikiran ini.
Tujuan yang mereka ingin capai dalam filsafat Ilahi dan urusan-urusan metafisikal adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang tepat berdasarkan ilmu dan amal. Dengan merealisasikan tujuan ini sistem pemikiran Aristotelian dapat diwujudkan dan juga sistem pemikiran Platonian serta gabungan dari kedua metode pemikiran ini.
Atas dasar itu, Farabi berusaha menggabungkan
pendapat-pendapat Aristoteles dan Plato dan pada dasarnya pandangan ini
(menggabungkan dua pandangan filsafat) adalah pandangan Farabi sendiri yang
ingin mendamaikan pemikiran-pemikiran Peripatetik dan Iluminasionis, murid
aliran ini, Ibnu Sina kurang lebihnya melakukan hal ini.
Qasidah ‘Ainiyyah karya Ibnu Sina sepenuhnya bercorak neo-Platonisme dan pada al-Isyarât wa al-Tanbihât dalam dua pertiga namath, Ibnu Sina mengemukakan pembahasan-pembahasan dengan menggunakan metode Peripatetik-Iluminasionis.
Qasidah ‘Ainiyyah karya Ibnu Sina sepenuhnya bercorak neo-Platonisme dan pada al-Isyarât wa al-Tanbihât dalam dua pertiga namath, Ibnu Sina mengemukakan pembahasan-pembahasan dengan menggunakan metode Peripatetik-Iluminasionis.
Syaikh Maqtul Syihabuddin Suhrawardi (Syaikh al-Isyraq), yang
merupakan filosof yang menghidupkan filsafat Iluminasi Iran-Yunani, berkata
bahwa untuk menyempurnakan jiwa pada sisi ilmu dan amal maka setiap orang harus
menguasai prinsip-prisip filsafat teoritis Peripatetik dan juga pada tataran
amal harus beramal sesuai dengan spirit filsafat Iluminasionis.
Pasca Ibnu Sina, kita dapat mengecualikan Khaja NasiruddinThusi dan Ibnu Rusyd al-Andalusi di sini dan selainnya kita hitung sebagai aliran eklektik atau gabungan yang pada dasarnya berhubungan dengan abad ketiga, keempat dan awal-awal abad kelima.
Pasca Ibnu Sina, kita dapat mengecualikan Khaja NasiruddinThusi dan Ibnu Rusyd al-Andalusi di sini dan selainnya kita hitung sebagai aliran eklektik atau gabungan yang pada dasarnya berhubungan dengan abad ketiga, keempat dan awal-awal abad kelima.
Aliran terpenting dari aliran eklektik ini adalah aliran
Ikhwan al-Shafa dan Khillan al-Wafa serta pada masa yang sama aliran filsafat
Ismailiyyah yang berdasarkan pandangan-pandangan khusus Abu Hatim al-Razi dan
Hamiduddin Kermani. Dalam aliran Ikhwan al-Shafa seluruh mazhab diterima dan seluruh
peradaban dimanfaatkan.
Dengan bersandar pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat, mereka
melahirkan aliran gabungan yang bisa jadi merupakan sebuah aliran toleran.
Adapun aliran filsafat Ismailiyah yang didirikan oleh Abu Hatim al-Rai dan
Hamiduddin Kermani sejatinya tidak bertujuan demikian dan melanjutkan aliran
ini yang berpindah ke dinasti Ayyubi dan menarik puluhan filosof lainya seperti
Suhrawardi.
Aliran-aliran ini di samping aliran teologi filsafat Hasani
Zaidi yang merupakan pemikir mazhab Zaidiyah yang sezaman dengan Hamiddudin
Kermani, melotarkan pemikiran baru dimana segala sesuatu dapat
ditafsirkankan dan ditakwil.
Beranjak dari situ, aliran lainnya berdiri yang
mengedepankan zuhud, tasawuf dan ketakwaan oleh Hasan Basri dan Rabi’ah
al-Adawiyyah yang kemudian disusul oleh Abdurrahman al-Sulami, Junaid
al-Baghdadi, Hallaj yang diteruskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi dan Ibnu Faridh.
Muhyiddin Ibnu Arabi menyempurnakan langkah pendahulunya dan khususnya ia menilai
dirinya sebagai pembawa berita gembira agama Muhammad. Aliran Ibnu Arabi tidak
ada yang menandinginya dari sisi keluasan pengaruhnya pada masa itu dan
setelahnya tiada satu pun aliran irfan yang dapat menyainginnya.
Apa yang telah disampaikan di atas merupakan ringkasan dari
aliran-aliran dan pandangan-pandangan filsafat yang membangung fondasi
pemikiran sosok yang bernama Shadruddin Syirazi yang lebih dikenal sebagai
Mulla Sadra. Setelah buku al-Syifa
karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur
terpenting filsafat adalah buku al-Asfar
al-Arba’ah karya Mulla Sadra yang pada masanya orang-orang tidak begitu
dapat memahami pentingnya filsafat yang dibangun oleh Mulla Sadra.
Apa yang pasti adalah bahwa buku al-Asfar ini telah dikenal dengan baik semenjak masa dinasti
Qajar dan ulama telah mengakui signifikansinya. Pada masa itu dan masa-masa
setelahnya sangat sedikit ulama yang membahas, menelaah dan mengajarkan karya magnum opus Mulla Sadra ini. Salah
satu sebabnya adalah sangat sukar memahami pandangan-pandangan penulisnya dan
sebab lainya adalah bahwa buku al-Asfar
bukanlah buku filsafat biasa.
Terdapat beberapa alasan terkait sebab penamaan buku al-Asfar al-Arba’ah ini sebagai Hikmah Muta’aliyah. Sebagian meyakini bahwa Mulla Sadra menyebut filsafatnya sebagai Hikmah Muta’aliyah karena berbicara dengan bahasa yang lebih tinggi dari filsafat biasa Peripatetik dan Iluminasionis.
Terdapat beberapa alasan terkait sebab penamaan buku al-Asfar al-Arba’ah ini sebagai Hikmah Muta’aliyah. Sebagian meyakini bahwa Mulla Sadra menyebut filsafatnya sebagai Hikmah Muta’aliyah karena berbicara dengan bahasa yang lebih tinggi dari filsafat biasa Peripatetik dan Iluminasionis.
Mulla Sadra berbeda dengan filosof lainya menjadikan fokus
filsafatnya pada entitas (qua entitas) dan memandang bahwa yang hakiki
adalah entitas (wujud) bukan kuiditas (mâhiyyah).
Ia memecahkan banyak persoalan filsafat Ilahi dengan pandangan tipikalnya dalam
bab kehakikian wujud (ashâlat al-wujud)
dan kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
Dalam pandangan Mulla Sadra segala sesuatu memiliki gradasi wujud; nama-nama,
sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan merupakan bagian dari gradasi wujud.
Sebagian lainnya berdasarkan inklusifitas filsafat Mulla
Sadra menjelaskan mengapa disebut muta’âliyah
karena merupakan gabungan antara Peripatetik dan Iluminasi, ayat-ayat dan
riwayat-riwayat. Nampak jelas filsafat Mulla Sadra merupakan gabungan antara
hikmah dzauqi (iluminasi), aqli (rasional), irfan, ayat-ayat dan
riwayat-riwayat. Dengan demikian, sebagian memandangnya sebagai filosof
eklektik sementara pada kenyataannya tidak demikian.
Mulla Sadra mengambil manfaat dari hikmah dzauqi dari cabang Yunaninya yaitu pemikiran-pemikiran Plato, Phytagoras, Stoikisme dan juga dari pemikiran-pemikiran baru neo-Plato dan neo-Stoikisme demikian juga cabang-cabangnya di Iran yaitu dari pemikiran-pemikiran Syihabuddin Suhrawardi.
Mulla Sadra mengambil manfaat dari hikmah dzauqi dari cabang Yunaninya yaitu pemikiran-pemikiran Plato, Phytagoras, Stoikisme dan juga dari pemikiran-pemikiran baru neo-Plato dan neo-Stoikisme demikian juga cabang-cabangnya di Iran yaitu dari pemikiran-pemikiran Syihabuddin Suhrawardi.
Dari sisi lain, juga ia mengeksplorasi pemikiran-pemikiran
Aristoteles pendiri aliran filsafat Peripatetik dan para pengikutnya di Yunani
serta pada peradaban Islam yaitu pewaris utama filsafat Peripatetik, Farabi dan
Ibnu Sina. Demikian juga dari tuturan-tuturan para arif besar seperti Hallaj,
Bayazid, Muhyiddin dan yang lainnya serta menaruh perhatian ekstra pada ayat-ayat
al-Quran dan riwayat.
Setelah mengutip pemikiran-pemikiran besar filosof dan arif
serta teolog hal itu tidak bermakna bahwa filsafat Mulla Sadra adalah filsafat
eklektik. Tidak demikian. Lantaran Mulla Sadra pada setiap pembahasan ia
terlebih dahulu menyampaikan pandangan-pandangannya kemudian mengutip dan
mengkritisi atau terkadang menyokong pandangan pemikir lainnya di samping itu
menggunakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat untuk mendukung pendapatnya.
Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra.
Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra.
Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian
dan pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikirannya. Dewasa ini aliran
filsafat yang tersebar di dunia Islam adalah aliran filsafat Hikmah Mut’aliyah
Mulla Sadra.
0 komentar:
Posting Komentar