Konsep Imamah Menurut Syiah (Makalah MM. Fil Siyasah UIN Suska Riau)
Disusun Ulang dari Berbagai Sumber
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Orang pertama yang mewacanakan imamah
ala Syiah adalah Abdullah bin Saba. Ia memulai propagandanya dengan mengatakan
bahwa imamah merupakan wasiat Nabi Saw. Yang khusus diperuntukan bagi penerima
wasiatnya. Apabila imamah itu dijabat orang lain selain si penerima wasiat,
maka kaum muslimin harus berlepas diri dari orang itu dan mengkafirkannya.
Pada awalnya Abdullah bin Saba’
membatasi penerima wasiat pada Ali bin Abi Thalib ra. saja. Kemudian
tokoh-tokoh syiah sesudahnya menyatakan bahwa seluruh keturunan Ali bin Abi
Thalib ra. adalah penerima wasiat
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, kami
tergugah untuk mendalami konsep Imamah menurut mazhab Syiah, oleh karena itu
makalah ini akan membahas segala hal yang berkaitan dengan konsep Imamah dalam
presfektif Syiah.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP IMAMAH DALAM MAZHAB SYIAH
A.
Siapa
Itu Syiah ?
Secara
etimologi, kata Syî‘ah berarti pengikut atau pendukung. Secara terminologis Syî‘ah berarti
orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali secara khusus, dan berpendapat bahwa
hanya Sayyidina Ali saja yang berhak menjadi khalifah dengan ketetapan nash dan
wasiat dari Rasulullah , baik secara tersurat maupun tersirat.
Mereka
berkeyakinan bahwa hak imâmah (menjadi pemimpin umat Islam) tidak keluar dari
keturunan Ali . Apabila imâmah ternyata tidak dalam genggaman keturunan Ali ,
berarti ada kezaliman dari pihak lain, atau imam yang berhak sedang menerapkan
konsep taqiyyah.Syiah meyakini bahwa imamah merupakan bagian dari rukun islam
dan salah satu pokok keimanan, bahwa keimanan seseorang hanya dinilai sempurna
jika meyakininya dan suatu amal ibadah hanya diterima jika dengan
mewujudkannya.
Orang pertama yang mewacanakan imamah
ala Syiah adalah Abdullah bin Saba. Ia memulai propagandanya dengan mengatakan
bahwa imamah merupakan wasiat Nabi Saw. Yang khusus diperuntukan bagi penerima
wasiatnya. Apabila imamah itu dijabat orang lain selain si penerima wasiat,
maka kaum muslimin harus berlepas diri dari orang itu dan mengkafirkannya.
Syiah berkeyakinan bahwa Rasulullah Saw
telah bersabda ihwal kepada para imam dan menentukan mereka secara jelas, yang
semuanya berjumlah 12 orang. Kedua belas imam tesebut adalah :
1.
Ali bin Abi Thalib ra. (Al-Murtadha),
wafat tahun 40 H
2.
Al-Hasan bin Ali ra. (Al-Zaki), wafat
tahun 50 H
3.
Al-Husain bin Ali ra. (Sayyidus
Syuhada’), wafat tahun 61 H
4.
Ali bin Al-Husain (Zaid Al-Abidin),
wafat tahun 94 H
5.
Muhammad bin Ali (Al-Baqiir), wafat
tahun 113 H
6.
Ja’far bin Muhammad (Ash-Shadiq), wafat
tahun 148 H
7.
Musa bin Ja’far (Al-Khazim), wafat 183 H
8.
Ali bin Musa (Ar-Ridha), wafat 202 H
9.
Muhammad bin Ali (Al-Jawwad), wafat
tahun 220 H
10.
Ali bin Muhammad (Al-Hadi), wafat tahun
254 H
11.
Al Hasan bin Ali (Al-Askari), wafat
tahun 256 H
12.
Muhammad bin Al-Hasan (Al-Mahdi), wafat
tahun 260 H[1]
Pada awalnya Abdullah bin Saba’
membatasi penerima wasiat pada Ali bin Abi Thalib ra. saja. Kemudian
tokoh-tokoh syiah sesudahnya menyatakan bahwa seluruh keturunan Ali bin Abi
Thalib ra. adalah penerima wasiat.
B.
Kedudukan Imamah
Persoalan imamah menurut Ahlussunah tidaklah termasuk pokok-pokok
agama (Ushuluddin) yang harus diketahui setiap mukhallaf. Hal ini
dikemukakan banyak ulama.Akan tetapi, menurut Syiah Rafidhah berbeda. Dalam Al-Kafi
terdapat beberapa riwayat yang menempatkan imamah sebagai rukun islam yang
utama. Al Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata,
“Islam dibangun atas lima pondasi : Shalat, zakat, puasa, haji, dan al-waliyah
(kewalian). Tidak ada yang lebih diserukan dari pada kewalian, akan tetapi
orang-orang melaksanakan yang empat dan meninggalkan itu- maksudnya kewalian.”[2]
Mereka telah menggugurkan dua kalimat
syahadat dari rukun islam dan menggantinya dengan kewalian, serta menganggapnya
sebagai rukun islam yang utama, dengan menyatakan: “Tidak ada yang lebih
diserukan daripada kewalian.” Hal ini diperkuat beberapa riwayat lainnya.
Dalam sebuah riwayat, ada redaksi
tambahan :“Aku bertanya, “Manakah yang paling utama diantara rukun-rukun tersebut?”
Ia menjawab, “Kewalian yang paling utama.”
Al-Majlisi mengatakan, “Tidak diragukan
lagi bahwa kewalian dan keyakinan tentang imamah para imam, serta ketundukan
pada mereka termasuk pokok-pokok agama (ushuluddin) dan lebih utama
daripada semua amal ragawi karena itu merupan kunci bagi semuanya”
Al-Muzhaffar salah satu ulama syiah kontemporer megatakan,
“Kami menyakini bahwa imamah adalah salah satu pokok agama (ushuluddin).
Imam hanya sempurna dengan meyakininya. Dalam hal ini tidak boleh bertaklid
pada nenek moyang, keluarga, dan pembina seagung apapun mereka, akan tetapi
imamah tetap harus diperhatikan sebagaimana kita memperhatikan tauhid dan
kenabian.”
Riwayat-riwayat Syiah Rafidhah itu dan
semacamnya dalam buku-buku Syiah Rafidhah dijadikan dalil bahwa imamah
merupakan standar penilaian keimanan dan
kekafiran seseorang serta menempatkan seorang muslim sebagai sasaran tuduhan
kafir hanya karena berbeda keyakinan dengan Syiah Imamiyyah ihwal imamah.
Karena itulah, kita melihat beberapa ulama senior Syiah Imamiyah, baik zaman
dahulu maupun zaman sekarang, menegaskan kenyataan yang pahit itu.
Ibnu Babawiah Al-Qummi, dalam makalahnya
Al-I’tiqadat, mengatakan, “Kami meyani bahwa orang yang mengingkari
imamah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. sama seperti orang yang
mengingkari semua nabi. Dan kami meyakini bahwa orang yang mengaku imamah
amirul mukminin Ali bin Abi thalib ra. tetapi mengingkari salah satu imam
sepeninggalnya sama seperti orang yang mengaku semua nabi tetapi mengingkari
kenabian Muhammad Saw.
Menurut mereka, imamah sejajar dengan
kenabian bahkan lebih agung daripadanya, imamah adalah pokok agama sekaligus
prinsip mendasarnya. Karena itulah, untuk melengkapi ekstrimisme mereka, Syiah
Itsna Asyariyyah melalui orang yang mengingkari imamah salah seorang dari kedua
belas imamnya sebagai seorang kafir yang akan kekal di neraka. Mereka juga
mengutuk dan menyatakan murtad semua kelompok kaum muslimin selain Syiah Itsna
Asyariyyah, sehingga yang mereka nyatakan kafir antara lain :
1.
Para Sahabat
Buku-buku yang ditulis
tokoh-tokoh Syiah Rafidhah penuh dengan kutukan, caci maki,dan pengkafiran
terhadap kaum Muhajirin maupun kaum Anshar, para veteran Perang Badar, para
peserta Baiat Ar-Ridwan dan seluruh sahabat Rasulullah Saw. yang diridhai Allah
dan meridhai-Nya kecuali beberapa saja yang jumlahnya bisa dihitung dengan
jari.
Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Menurut Syiah Rafidhah, kaum Muhajirin dan kaum Anshar
telah menyembunyikan teks dalil Rasulullah Saw., sehingga semuanya telah kafir,
kecuali beberapa orang saja, yang jumlahnya belasan orang atau lebih. Kemudian
mereka mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bin Al-Khatab serta orang-orang yang
sependapat dengan keduanya adalah munafik. Mereka juga mengatakan bahkan mereka
itu tadinya beriman kemudian kafir”.
2.
Ahlulbait
Beberapa
riwayat mereka menyatakan kemurtadan masyarakat sahabat ra.yang ideal lagi
istimewa, kecuali maksimal tujuh orang saja. Dan, diantara ketujuh orang itu,
tidak seorangpun tergolong Ahlulbait, kecuali Ali ra.seorang.
Salah
satunya adalah riwayat Al-Fudhail bin Yassar dari Abu Ja’far, ia mengatakan,
“semua kembali ke Jahiliyyah, kecuali empat orang saja: Ali, Al-Miqdad, Salman,
dan Abu Dzar. Kemudian aku bertanya, “Lalu Ammar?”Ia menjawab, “Jika yang kau
maksudkan adalah orang-orang yang tidak dimasuki sesuatu, maka ketiga orang itu
(Al-Miqdad, Salman, dan Abu Dzar).”
Penilaian murtad dalam
riwayat itu mencakup seluruh sahabat Rasulullah dan Ahlulbait, termasuk isteri
Rasulullah dan sanak kerabatnya.Padahal, para pembuat riwayat palsu
mengaku-ngaku sebagai pendukung Ahlulbait. Putri-putri Rasulullah saw. juga
tidak luput dari pengkafiran oleh syiah Itsna Asyariyyah, sehingga hampir bisa
dipastikan tidak ada yang terkecuali ataupun lolos dari caci-maki dan
pengkafiran mereka. Bahkan, dalam beberapa riwayat mereka menuduh Aisyah
ra.yang dari atas tujuh langit telah Allah bebaskan dari segala tuduhan sebagai
pezina. Dalam buku-buku tafsir yang menjadi referensi utama mereka, seperti Tafsir
Al-Qummi, mereka melancarkan tuduhan keji tersebut yang notabene berarti
mendustakan Al-Qur’an.
3.
Para Khalifah Kaum Muslimin dan
Pemerintahan Mereka
Semua khalifah umat
islam, selain Ali bin Abi Thalib dan Al-Hasan bin Ali ra., adalah pemerintahan thaghut.
Menurut mereka, meskipun para khalifah itu menyerukan kebenaran, berbakti
kepada Ahlulbait, dan menegakkan agama Allah. Dalam hal ini, mereka
mengatakan,”Semua bendera yang dikibarkan sebelum bendera Imam yang sah,orang
yang mengibarkannya adalah thaghut.”
4.
Menyatakan wilayah Islam sebagai Wilayah
Kafir
Mereka secara tegas mengkafirkan
penduduk Makkah dan Madinah dalam generasi-generasi yang utama.Pada era Ja’far
Ash-Shadiq, mereka mengatakan tentang penduduk Makkah dan Madinah, “Penduduk
Syam lebih buruk dibandingkan penduduk Romawi (Kristen); penduduk Madinah lebih
buruk dibandingkan penduduk Makkah; Penduduk Makkah adalah oerang-orang yang
kafir terhadap Allah Swt. Secara terang-terangan.
Mengenai Mesir dan penduduknya, mereka
mengatakan, “Para penduduk Mesir telah dikutuk melalui ucapan Dawud as.Sehingga
mereka dijadikan kera dan babi. Allah Swt. Memurkai Bani Israel dengan cara
memasukkan mereka ke negeri Mesir, dan Dia hanya meridhai mereka setelah
mengeluarkan mereka dari sana ketempat lain.”
5.
Para Hakim, Imam dan Ulama Kaum Muslimin
Para
hakim pengadilan umat islam mereka anggap sebagai thaghut karena
bernaung dibawah pimpinan yang sesat, menurut mereka. Dalam Al-Kafi,
disebutkan dari Umar bin Hanzhalah, ia menuturkan :
“Aku bertanya
kepada Abu Abdillaj tentang dua orang dari sahabat kami yang sedang berseteru
dalam perebutan warisan ataupun agama.Kemuadian keduanya mengadukan persoalan
mereka kepada hakim pengadilan. “Apakah itu diperbolehkan? “ ia menjawab,
“Orang yang mengadu kepada mereka baik dalam kebaikan maupun kebathilan, sama
artinya mereka mengadu kepada thaghut jarena hukum yang dikeluarkan senantiasa
rusak meskipun benar. Sebab ia memutuskan hukum berdasarkan hukum thaghut, sementara Allah SWT memerintahkan
agar itu dihindari”.
Mereka juga mengkafirkan
seluruh umat Muhammad Saw mulai dari yang awal sampai yang akhir. Mereka
mengkafirkan tokoh-tokoh umat islam seperti Said ibn Al-Musayyib, Abu Muslim
Al-Khaulani, Uwais Al-Qarni, Atha’ ibn Abi Rabah, dan Ibrahim An-Nakh’i.
Faktor
yang menimbulkan pengkafiran tersebut hanya satu dan tidak pernah berubah yaitu
sudah menjadi hukum alam bahwa orang yang mendengki terhadap sahabat
Rasulullah, mencaci dan mengkafirkan mereka secara otomatis mendorong mereka
untuk mengkafirkan umat secara global. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
beberapa ulama salaf : “Setiap hati yang membenci salah seorang sahabat
Rasulullah Saw, pastilah mengandung kebencian lebih mendalam terhadap umat
islam.”[3]
C.
Unsur-unsur Pokok dalam Imamah
Penyelewengan yang dilakukan oleh
para pengaku Syi’ah itu adalah problem imamah. Gambaran yang terpenting
mengenai problem ini adalah apa yang disebutkan Al Majlisi di dalam bukunya
“Hajatul Qulub”. Al Majalisi ini adalah seorang dari ulama-ulama mutaakhirin
yang hidup pada masa kekuasaan Daulah Syafawiyah yang menganut mazhab Syiah
sebagai mazhab yang resmi dinegeri Iran.Dalam buku “Hajatul Qulub” kita dapati
uraian-uraian terperinci tentang imamah, yang tidak kita dapati dalam buku-buku
lainnya. Buku tersebut terdiri atas 2 bab.
Bab
pertama berisi uraian tentang “Dharuratul Imam” (Pentingnya imam, yaitu bahwa
imam harus ada disetiap masa. Tak ada masa tanpa imam), sedang bab yang kedua
berisi tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang olehnya dipandang sebagai ayat-ayat
yang erat hubungannya dengan masalah imamah itu.
Bab yang pertama
itu dibagi menjadi sembilan fasal, yaitu:
1.
Dhamratul Imamah, dan keterangan bahwa
setiap zaman tak pernah tidak mempunyai iman
2.
Ishmatul Aimmah, yaitu bahwa imam-imam
tersebut adalah ma’shum
3.
Imamah itu telah didekritkan oleh Allah
dan Rasul. Dan selanjutnya tiap-tiap imam juga mendekritkan untuk imam yang
berikutnya
4.
Keharusan mengakui imam
5.
Mengingkari salah seorang dari imam-imam
tersebut sama artinya dengan mengingkari mereka semua
6.
Keharusan menaati imam
7.
Yang wajib diikuti hanyalah imam
8.
As Tsaqalan ialah Al-Qur’an dan
Ahlulbait
9.
Tentang dekrit untuk para imam
Adapun
bab kedua dari buku itu terdiri dari 42 fasal, berisi tafsiran ayat-ayat yang
oleh Al Majlisi dipandang sebagai ayat yang diturunkan mengenai masalah imamah.
Dari buku ini dan buku-buku syiah lainnya dapat disimpulkan unsur-unsur penting
mazhab syiah dalam masalah imamah, sebagai berikut :
1.
Masalah imamah bukanlah masalah umum,
yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada pertimbangan rakyat. Rakyat tidak
berhak menunjuk seorang imam. Nabi berkewajiban menunjuk imam yang akan
memimpin rakyat sepeninggal beliau. Dan setiap imam wajib pula menunjuk imam
yang akan menggantikannya. Apabila imam tersebut telah menunjuk orang sebagai
penggantinya, maka ia akan dapat meninggalkan dunia ini dengan perasaan lega
dan tidak merasa kuatir atas kepentingan rakyat. Imam mempunyai tugas untuk
menyingkirkan perselisihan dan menggalang persatuan rakyat
2.
Karena Nabi mempunyai kewajiban untuk
menunjuk imam yang akan mengurus kepentingan kaum muslimin sesudah beliau
wafat, maka ia telah melaksanakan kewajiban itu. Nabi telah menunjuk Ali. Dan
penunjukan ini dilakukannya dengan nash (dekrit) yang jelas, bukan secara
sindiran.
3.
Imamah itu adalah khusus untuk Ali dan
anak cucunya dari isterinya, Fatimah. Mereka ini adalah ahlulbait, dan pohon
rindang yang beroleh berkah, yang karenanya Allah senang kepada seluruh
manusia. Orang selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan imamah itu,
sampai Allah mewarisi bumi ini dan semua orang yang berada diatasnya.
Itulah unsur-unsur pokok dalam mazhab
imamiyyah.Selain itu masih ada lagi unsur-unsur yang bukan merupakan
unsur-unsur pokok, melainkan sebagai pelengkap yang dinamai “Ta’alim”
(doctrines), yaitu kepercayaan tentang ‘ishmah, taqiyah, rij’ah, dan mahdiyah.
Yang mereka maksudkan dengan Ishmah ialah imam-imam itu semuanya
ma’shum yakni terhindar dari perbuatan dosa-dosa kecil ataupun besar dan mereka
tidak pernah salah ataupun lupa.Dan yang mereka maksudkan dengan Taqiyah ialah seorang boleh
memperlihatkan (melahirkan) perbuatan atau perkataan yang berlawanan dengan isi
hatinya, untuk menjaga keselamatan diri dan harta bendanya ataupun
kehormatannya.Adapun Mahdiyah
erat sekali hubungannya dengan Rij’ah.
Yang dimaksudkan dengan mahdiyah
itu adalah kepercayaan bahwa Imam Al-Mahdi Al-Muntazharakan datang ke bumi ini,
untuk memenuhinya dengan keadilan, setelah bumi ini penuh dengan kezhaliman.
Imam yang dinanti-nantikan itu ialah
imam yang kedua belas dan telah menghilang pada tahun 260 H, dan akan kembali
lagi.[4]
D.
Kemaksuman Menurut Syiah
Kemaksuman menurut Syiah
merupakan salah satu syarat imamah
sekaligus salah satu prinsip utama dalam eksistensi ideologisnya. Kemaksuman
memiliki arti yang sangat penting bagi mereka. Mereka berpendapat bahwa para imam terjaga dari kesalahan sepenjang
hidup, tidak pernah melakukan dosa, baik besar maupun kecil, tidak berbuat
kemaksiatan, tidak pernah salah ataupun lupa. Syiah imamiyyah menyatakan bahwa
konsep kemaksuman para imam didukung oleh dalil Al-Qur’an. Para syaikh
bersepakat bahwa dalilnya adalah : “Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim diuji
Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh manusia.” Ibrahim berkata,”(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.”
Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zhalim.”(TQS.
Al-Baqarah;124).
Pengambilan
dalil meraka itu bisa dikritik dari beberapa aspek berikut ini :
1.
Para ulama salaf berbeda pendapat
mengenai Al-Ahd dalam ayat ini.
Menurut Ibnu Abbas dan As-sadi, yang
dimaksud dengan Al-Ahd adalah kenabian, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah QS Al-Baqarah, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang
zhalim”.Maksudnya adalah kenabian-ku.Penafsiran ayat ini masih
diperdebatkan para ulama salaf. Menurut sebagian besar mereka, ayat ini tidak
sama sekali berkaitan dengan imamah. Sedangkan ulama yang menafsirkannya imamah
pun mengartikan imamah itu sebagai kepemimpinan atau kepeloporan dalam ilmu,
kesalehan, dan keteladanan, bukan imamah menurut paham syiah imamiyyah.
2.
Andaipun makna ayat ini adalah imamah,
tetap saja tidak mengandung dalil kemaksuman.
Dengan alasan, tidak mungkin orang
yang tidak zhalim disebut orang maksum yang tidak bersalah, tidak lupa, dan
lain-lain, sebagaimana pengertian kemaksuman menurut syiah.Sebab berdasarkan
analogi, madzhab mereka menyatakan bahwa orang yang lupa adalah orang yang
zhalim, dan orang yang salah adalah orang zhalim. Kosep yang mereka usung ini
tidak mungkin diterima siapa pun dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran
islam.[5]
E.
Akidah Menurut Syiah
Syiah
menempatkan akidah tentang imam sebagai salah satu dasar madzhab mereka dan
salahsatu rukun agama.Maka, imam bagi mereka mereka suatu bagian dari akidah.
Syiah pun mengalamatkan kepada salah seorang imam mereka sebuah perkataan, “
Barangsiapa di antara umat ini memasuki pagi hari tanpa punya imam, berarti ia
tersesat serta kebingungan, dan apabila ia meninggal dunia dalam kondisi ini
maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahiliyyah.[6]
Keyakinan
ekstrem syiah tentang para imam ini berdampak pada akidah mereka dalam
mengesakan Allah Swt. Berikut ini beberapa poin diantaranya :
1.
Teks-teks dalil tentang tauhid mereka
anggap berkenaan dengan kewalian dan imamah
2.
Kewalian menurut mereka adalah pangkal
diterimanya amal
3.
Mereka meyekini para imam adalah
mediator antara Allah dan manusia
4.
Mereka berpendapat imam berhak
mengharamkan dan menghalalkan sesuatu sekehendaknya
5.
Mereka berpendapat imam berhak mengelola
dunia dan akhirat sekehendaknya
6.
Menyandarkan seluruh peristiwa alam
kepada para imam
7.
Unsur ketuhanan yang menitis kepada para
imam
8.
Mereka berpendapat para imam mengetahui
peristiwa masa lalu dan masa depan
9.
Ekstrim dalam berpaham tajsim[7]
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Syiah Dalam Timbangan Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Yogyakarta, Penerbit Bumi Aksara,
1990.
Syalabi, Sejarah & Kebudayaan Islam 2, Jakarta, Pustaka Al
Husna Baru, 2003.
www.academia.edu
[1]Dr. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Yogyakarta,
Penerbit Bumi Aksara, 1990, Hal 92
[2]https://www.academia.edu/6077790/KONSEP_IMAMAH_SYIAH_UST_AGUS
[3]Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Syiah Dalam
Timbangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2007,
Hal.167-178
[4]Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah & Kebudayaan
Islam 2, Jakarta, Pustaka Al Husna Baru, 2003, Hal 180-183
[5]Ibid Hal 182-192
[6]Ibid Hal 197
[7]Ibid 278-314
0 komentar:
Posting Komentar