Bintang Temaram
Karya: Mustopa Kamal Btr
Gantungkan
mimpimu setinggi bintang di langit. Untaian kalimat yang selalu kedua
orangtuaku ucapkan. Kata-kata itu bahkan selalu menemani hari-hariku di
sekolah, di tempat bermain dan di jalan raya.
“Kelak
kamu akan bersinar seperti bintang itu” kata ayah sambil menunjuk salah satu
bintang yang berbaris mengitari bulan pada malam terang.
Aku
menganggukkan kepala.
Bintang
identik impian. Tidak hanya aku, semua teman sepermainanku selalu berkata suatu
saat mereka ingin seperti bintang. Setiap malam kami selalu memandang bintang
yang setia menemani atap rumah yang berjejeran di kampung ini.
Ketika
duduk sendirian di halaman rumah, aku melihat bintang meluncur dari langit.
Meteor persegi lima itu memperlihatkan cahaya keemasannya ketika hendak
mendarat ke bumi. Aku tidak mau melewatkan momen yang sangat jarang ini. Aku panjatkan
keinginanku bersamaan dengan jatuhnya ia ke timur malam.
“Dayat
kenapa mengedipkan mata ?” ujar ibu tiba-tiba menghampiriku.
“Di
sana ada bintang jatuh Bu” jawabku sambil menatap sorot kelam tatapan ibu.
“O.
Dayat sedang meminta keinginan ?”
“Iya
Bu”
“Yang
penting bermohonnya tetap kepada tuhan”
“Maksud
ibu ?”
“Suatu
saat kamu akan mengerti”
***
Pada
malam kelam aku kembali melihat bintang jatuh menuju bumi. Aku tidak mau lagi
bermohon ketika melihatnya. Ia hanya pemberi harapan palsu. Keinginanku yang
kemarin saja belum dipenuhi. Saat itu aku berharap bisa mendapat sepatu sekolah
baru. Tapi bintang itu hanya mampu menghidangkan kekecewaan.
“Lihat
itu ada bintang jatuh” ujar ibu yang sedang duduk bersamaku di beranda depan
rumah.
“Aku
tidak suka lagi melihatnya” jawabku penuh ego.
“Kenapa
?”
“Mereka
hanya mampu memberi harapan palsu”
“Maksudnya
?”
“Permintaanku
yang kemarin saja belum dikabulkan”
Ibu
tersenyum melihatku.
“Bintang
itu tidak akan pernah bisa memberi apa-apa kepada kita Nak, walaupun ia sedang
jatuh sekalipun” lanjut ibu.
“Maksud
ibu ?”
“Yang
mampu mengabulkan doa itu hanya tuhan, Sang Pemilik Alam”
Aku
tersadar perkataan guru mengajiku, sama persis yang dikatakan ibu saat ini.
***
Malam
yang dihiasi cahaya bintang-gemintang. Ayah memanggilku. Beliau menyuruhku
duduk di samping tubuh kurusnya.
“Coba
lihat bintang itu” suruh ayah menunjuk satu bintang yang paling memperlihatkan auranya.
Aku terdiam sejenak. Suasana hening. “Kamu mau seperti bintang itu ?” ungkap
ayah. Aku menganggukkan kepala. Ayah melanjutkan perkataannya. “Kamu harus
rajin belajar dari sekarang agar suatu saat kamu bisa seperti bintang itu,
menerangi alam sekitarnya”
“Iya
Yah” jawabku polos.
Kini
kami hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan dari bangku sekolah dasar.
Tidak terasa seragam merah putih yang selalu setia menemaniku akan kutanggalkan.
Ia telah jadi sahabat karibku selama enam tahun ini. Ia selalu tersenyum bangga
ketika melihatku mendapat predikat juara setiap penerimaan rapor. Ia juga turut
sedih disaat-saat aku tidak punya uang jajan di sekolah. Berat memang tuk
berpisah, tapi tak mungkin selamanya bersama.
“Yah
sebentar lagi kami sudah lulus SD” ujarku ketika ayah sedang menemani adikku si
bungsu di ruang tengah rumah.
“Iya,
lantas ?”
“Aku
berkeinginan masuk ke SMP Unggulan Madina itu Yah”
“Iya
sayang ayah pasti mendukungmu” jawab ayah dengan singkat.
Mata
ibu tampak berkaca-kaca ketika mendengar pembicaraanku dengan ayah. Ibu seolah
merenung sejenak. Entah apa yang ada di benak ibu ketika aku mengungkapkan
keinginanku untuk melanjutkan sekolah di tempat menimba ilmu siswa-siswi terbaik
bangsa itu.
***
Malam
ini ayah terlambat pulang dari sawah. Kata beliau, tadi burung-burung banyak
hinggap di hamparan padi kami yang sedang menguning. Beliau tampak lesu.
Wajahnya pucat melebihi wajah orang yang sedang sakit berbulan-bulan. Rambutnya
melebihi benang kusut. Sekilas tidak ada
gairah hidup.
“Bu
nasi kita mana ?” ujar ayah ketika melihat makan malam tidak ada di tempat
biasa. Ibu menampakkan diri dari dalam kamar. Sambil menggendong adik, ibu
mendekati ayah. Dengan suara pelan ibu menjelaskan sesuatu kepada ayah.
“Pak, beras kita sudah habis. Ibu tadi
sudah coba berhutang ke warung tapi tidak diberikan pemiliknya lagi, karena
katanya hutang kita yang kemarin saja belum dibayar” jawab ibu dengan berusaha
sekeras tenaga membendung airmata yang sudah dari tadi membuncah di balik
pandangannya. Ibu tak kuat lagi mengingat celaan yang ia dapat tadi dari
pemilik warung. Akhirnya ibu menangis bersamaan dengan suara jangkrik yang
sedang kelaparan.
Ayah hanya terdiam. Ia berusaha
meredakan tangisan ibu.
Dari balik pintu, airmataku bercucuran
tanpa henti. Aku tak kuat berdiri mendengar percakapan dua orang motivator
hidupku itu. Tubuhku rebah ke lantai. Aku menjadi orang bisu. Menangis tanpa suara.
Aku perlahan ke luar rumah. Kupandang bintang. “Pantaskah aku sepertimu ?” tanyaku
dalam hati. Bintang terlihat temaram, antara redup dan hidup.
Profil Penulis
Mustopa Kamal Btr saat ini tercatat sebagai
mahasiswa Hukum Tata Negara (Sebelumnya bernama Jinayah Siyasah) Fakultas
Syariah & Hukum UIN Suska Riau. Selain membaca dan menulis, ia juga
mempunyai hobi traveling. Karya-karyanya telah beberapakali terbit di harian
Riau Pos, Singgalang Padang, Gagasan, Buletin Makna dan lain-lain. Pemuda
berdarah Bange Mandailing ini juga aktif di Komunitas Rumahkayu
Pekanbaru, HMJ HTN, UPTQ UIN Suska dan sebagainya. Ia bisa dihubungi lewat
email: mustopakamalbatubara@gmail.com. Ia juga mempunyai blog pribadi
yang bisa diakses di: www.karya-kamal.blogspot.com
1 komentar:
You can bookmark our website for Fresh Content. Pinoy Lambingan first drama site to release the latest episodes of All new Dramas
Posting Komentar