Info Penting Hari Ini !!!

Selamat Datang di KARYA KAMAL. Apa yang Sedang Sahabat Cari ??? Moga Blog Ini Bisa Membantu Sahabat Semua...!!! Kabar Gembira, Novel Sampan di Seberang akan segera dipublikasikan di blog ini agar para sahabat setia bisa menikmati karya yg pernah menang dalam kompetisi novel ini. Novel "Sampan di Seberang" diangkat dari kisah nyata pengalaman mengabdi di daerah terpencil. Novel "Sampan di Seberang" Tentang Pengabdian, Persahabatan & Kenangan, Tunggu Kehadirannya...!!! Karya Kamal; Novel Jalan Impian, Novel Pardangolan, Novel Sampan di Seberang, Buku Bait Bait Hati & Buku Facebook Mengguncang Dunia Akhirat. __Mustopa Kamal Batubara__ __Facebook: Mustopa Kamal Batubara.__ __Instagram: @kamal_btr.____Twitter: @mustopakamalBTR____Email: mustopakamalbatubara@gmail.com__ __Salam Karya Kamal__

Rabu, 03 Juni 2015

Makalah
STUDY QUR’AN
ILMU NUZULUL QURAN




Jinayah siyasah
fakultas syariah
UIN SUSKA RIAU, PEKANBARU
2014

KATA PENGANTAR
                                                                                         
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin... puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yamg telah membentangkan jalan keselamatan buat insan dan menerangi mereka dengan pelita yang terang benderang. Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk buat kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula, ucapan keselamatan atas keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat.
Alhamdulillah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan , kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karna itu kami sangat berterima kasih apabila ada kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.




Penulis








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

  1. DALIL DAN PROSES TURUNNYA ALQURAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR, 3.

  1. PEMELIHARAAN ALQURAN DI MASA NABI SAW, 4.


  1. PEMELIHARAAN ALQURAN DI MASA ABU BAKAR, 9.


  1. PEMELIHARAAN ALQUR’AN DI MASA KHALIFAH USMAN BIN AFFAN, 11.


E. USAHA LANJUTAN DAN PROSES PENYEMPURNAAN MUSHAF UTSMANI, 12.


DAFTAR PUSTAKA


  1. DALIL DAN PROSES TURUNNYA ALQURAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR

Pada umumnya para ulama cenderung berpendapat bahwa Alquran turun tiga kali: (1) mula-mula turun di Lauh Mahfudz, (2) selanjutnya ke Baitul-`Izzah di langit dunia (langit lapis pertama), (3) dan terakhir diturunkan secara terpisah dan berangsur-angsur sejalan dengan peristiwa tertentu. Alquran turun dari Lauh Mahfudz ke Baitul ‘Izzah adalah sekaligus pada malam Lailah al-Qadr.
Beberapa dalil untuk mendukung pendapat ini ialah:
(إنا أنزلناه في ليلة القدروما أدراك ما ليلة القدر (القدر97: 1
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى نقاوالفر
(8لبقرة(2): 1 ا)
Dua nash tersebut menjelaskan bahwa Alquran diturunkan pada malam malam lailatul Qadr. Turunnya ini dimaksudkan adalah turun yang pertama kepada Baitul ‘Izzah karena kalau yang di maksud turun kali yang kedua, maka tidaklah absah bahwa dikatakan turunnya Alquran pada malam yang satu (Ramadhan), karena Alquran itu diturunkan pada masa yang panjang selama masa pengutusan (23 tahun), dan diturunkan pada bulan Ramadhan yang merata pada seluruh Ramadhan.
Sedangkan model kedua yaitu Alquran turun berangsur-angsur, maksudnya ialah turun dari Baitul `Izzah ke dalam hati Nabi saw secara berangsur-angsur selama 23 tahun sampai akhir hidup Rasulullah. Menurut berbagai sumber riwayat setelah bi’tsah Rasulullah hidup di Makkah selama 13 tahun, kemudian hijrah ke Madinah dan bermukim di kota itu hingga akhir hayatnya, yakni 10 tahun. Begitulah Alquran turun berangsur-angsur. Nabi saw membacanya perlahan-lahan, sedang para sahabat membacanya sedikit demi sedikit. Ayat-ayat Alquran diturunkan sehubungan dangan peristiwa, baik bersifat individual maupun  sosial. Adapun dalil naqli bahwa Alquran turun berangsur-angsur yaitu:
وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان:32)


B. PEMELIHARAAN ALQURAN DI MASA NABI SAW.

Alquran menurut para ulama ialah sebagai kalam Allah swt yang diwahyukan kepada RasulNya (Muhammad saw) dan bagi yang membacanya adalah ibadah (Manna al-Qattan, 1973:21).
Di samping itu kedatangan Alquran adalah dengan jalan mutawatir sehingga memberi nilai qath’iyul wurud. Sejarah mencatat bahwa Alquran itu diwahyukan bukan kepada seorang yang pintar baca tulis, tetapi kepada Rasul yang ummi dan kepada bangsa yang sebagian penduduknya buta huruf di Jazirah Arab. Demikian juga kaum muslimin telah sepakat bahwa Alquran sejak masa Nabi saw sudah tertib ayat ayatnya, susunannya maupun kalimat-kalimatnya serta huruf-hurufnya.

Perlu juga ditambahkan bahwa pada waktu Alquran diturunkan, bangsa Arab telah mengenal berbagai kesenian, keterampilan berkuda, kisah-kisah dan peribahasa dan dialek yang berlaku di kalangan bangsa Arab itu. “Kami tidak mengutus Rasul kecuali dengan menggunakan bahasa yang digunakan di kalangan bangsanya, agar dia menjelaskannya kepada kita. (QS Ibrahim [14]:4).
 Dalam sejarah, kita melihat di masa Nabi saw telah banyak sahabat Nabi yang hafal Alquran seluruhnya. Oleh Subh Shalih yang diambil dari riwayat Bukhari di dalam shahihnya, tidak dapat mengatakan lebih kecuali jumlah para sahabat yang hafal Alquran pada hidup Rasulullah tidak lebih dari tujuh orang. Tujuh orang itupun naman-namanya tidak disebut secara beturut di dalam satu riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari, tetapi tersebut dalam tiga buah riwayat yang meninggalkan nama-nama yang telah di sebut berulang-ulang.
Riwayat pertama berasal dari Abdullah bin ‘Amar bin al-‘Ash yang mengatakan sebagai berikut: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Belajarlah al­Qur’an dari empat orang, ‘Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz dan Ubai bin Ka’ab”.
Riwayat kedua, berasal dari Qatadah yang mengatakan : Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik: “Siapakah sebenarnya para penghafal Alquran pada masa hidup Rasulullah?”. Anas menjawab:”Empat orang semuanya dari kaum Anshar, yaitu Ubai bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid”. Aku bertanya lagi: Siapakah Abu Zaid? Anas menjawab: “Seorang dari kaum muslimin awam”.
Riwayat ketiga, dikemukakan oleh Tsabit berasal dari Anas bin Malik yang mengatakan sebagai berikut: Ketika Rasulullah wafat belum ada yang hafal Alquran kecuali empat orang, yaitu Abu Darda’, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.
Nabi saw tidak pandai baca tulis karena itu dia menyuruh para sahabat untuk menuliskan wahyu Allah setiap Nabi saw menerimanya. (al-Ibyari, 1964:47). Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah mempunyai beberapa pencatat wahyu, di antaranya, empat oramg sahabat yaang akhirnya menjadi Khulafaur Rasyidin, ditambah  Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai bin Ka’ab, Tsabit bin Qais.
Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga Alquran yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan yang tertulis. (Subh al-Shalih, 1977:69). Namun sekalipun telah dihafalkan dan dituliskan seluruh Alquran pada masa Nabi, tetapi masih belum terkumpul dalam satu mushaf atau satu tempat dan tidak pula tersusun surat-suratnya secara tertib. (as-Suyuti, 1979:59). Para sahabat menuliskan ayat itu pada lempengan kulit, daun, batu-­batuan yang tipis, yang lebar, pelepah kurma, tulang-tulang unta atau kibas yang sudah kering, pelana unta serta pada kulit. (Subh al-Shalih, 1977:70; as-Suyuti, 1979:60).
Seluruh Alquran itu tidak mungkin ada kalimat atau kata yang disisipkan Nabi saw atau dituliskannya karena tidaklah pantas sifat seorang Nabi seperti itu. Di samping itu ia adalah ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Seperti para ahli sejarah menyebutkan kajadian pada perang Uhud. Pada waktu itu Abbas berada di Makkah dan menulis surat kepada Nabi saw dan surat tersebut dibawa oleh seorang laki-laki dari Bani Ghifari.
Isi surat itu memberitahukan bahwa orang-orang Quraisy telah bersepakat untuk keluar dari Makkah menuju perang Uhud. Ketika Nabi saw menerima surat tersebut, beliau memanggil Ubai bin Ka’ab (sekretaris Nabi saw) untuk membacanya. Setelah Ubay selesai membaca surat tersebut, Nabi menyuruh Ubai untuk merahasiakan isi surat tersebut. (Ibyari, 1964:48). Sekiranya Nabi pandai tulis baca tentu tidak perlu beliau minta bantuan untuk membacakan surat tersebut, apalagi kandungan surat itu sangat penting dan bersifat rahasia.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa tartib ayat-ayat Alquran itu adalah menurut petunjuk Nabi saw (tauqify). Nabi saw bisa membaca satu surat berulang-ulang dengan tertib ayat-ayatnya baik dalam shalat maupun pada waktu beliau berkhutbah dan disaksikan oleh para sahabatnya. Ini menunjukkan tartib ayat-ayat Alquran adalah tauqify (Subh al-Shalih, 1977:71).
Kalau tidak tauqify, tentu Nabi saw dalam membacakan ayat-ayat Alquran tidak perlu tartib. Kita tahu bahwa dalam satu surat bukanlah membicarakan satu jenis masalah. Kadang­-kadang beberapa ayat membicarakan satu jenis permasalahannya, kemudian beralih ke masalah yang lain, lalu kembali lagi ke masalah semula. Demikian juga ayat yang lebih awal turun ditempatkan pada awal Alquran atau yang akhir turun ditempatkan pada awal dari Alquran, seperti QS Al-Baqarah [2]:281 adalah akhir turunnya ayat Alquran (Ibyari, 1964:62). Dan Nabi saw menempatkannya di antara dua ayat “riba dan dain” dari surat al-Baqarah. Seperti itu juga sekalian ayat Alquran (Subh al-Shalih, 1977:71; Ibyari, 1964:67).
Mengenai susunan surat yang sekarang ini, apakad berdasarkan tauqify atau tidak, ada beberapa pendapat:
Susunan surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat. Karena susunan surat pada mushaf sahabat sebelum penulisan pada Khalifah Usman berbeda-beda. Kalau susunan itu atas petunjuk Nabi saw, niscaya mereka mematuhi Nabi saw.
Berdasarkan tauqify sebagaimana susunan ayat. Karena seluruh ayat-ayat al­Qur’an ditempatkan sesuai dengan perintah Nabi saw dengan alasan (1) bahwa semua sahabat telah sepakat terhadap susunan surat dalam mushaf yang ditulis pada Khalifah Usman dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Kesepakatan itu terjadi tidak lain karena berdasarkan tauqify. Sekiranya susunan surat dalam mushaf Usman itu berdasarkan ijtihad, tentu para sahabat yang mempunyai mushaf sendiri tetap mempertahankannya, yang susunannya berbeda dengan mushaf Usman.
Kenyatannya mereka tidak mempertahankannya, tetapi menerima mushaf Usman, bahkan membakar mushaf mereka sendiri (2) bahwa keadaan surat-surat yang sejenis dalam Alquran itu tidak senantiasa disusun secara urut (3) bahwa Ibnu Asyta dalam al-Mashahifnya meriwayatkan dari jalan Ibnu Wahab dari Sulaiman bin Bilal, dia berkata: Saya mendengar Rabiah ditanya: “mengapa engkau mendahulukan surat al-Baqarah dan Ali Imran dalam susunannya, sedangkan sebelum kedua surat itu turun, telah ada delapan puluh surat lebih yang turun di Makkah dan al-Baqarah serta Ali Imran keduanya turun di Madinah”. Kemudian dia menjawab:” al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan dalam susunannya dan Alquran disusun atas ilmu dari yang telah menyusunnya”.
Bahwa susunan surat-surat dalam Alquran itu berdasarkan tauqify, dan sebagian yang lain berdasarkan ijtihad sahabat (al-Zarkasyi, tt.:353-8; as-Suyuti, 1979:64).
Pendapat kedua yaitu Alquran baik ayat-ayatnya maupun susunan surat­suratnya adalah berdasarkan tauqify. Di samping alasan-alasan yang telah dikemukakan, juga dapat dikutip pendapat Subh al-Shalih, (4) bahwa susunan surat Alquran itu tauqify karena Alquran telah lengkap sepeniggal Nabi saw sehingga usaha-usaha sahabat yang selain Usman, maka hal itu merupakan ikhtiar sahabat itu sendiri. Mereka tidak bermaksud atau berusaha agar seseorang mengikuti tertib surat yang berada dalam mushaf mereka. Tidak juga mereka mengatakan bahwa menyalahi mushaf mereka dilarang.
Mereka menulis mushaf untuk mereka sendiri sehingga setelah umat Islam sepakat terhadap tertib surat yang ditulis oleh panitia adhoc yang dibentuk Khalifah Usman, mereka mengambilnya dan meninggalkan mushaf-mushaf mereka. Sekiranya mereka berpendapat bahwa tertib surat itu ijtihadi, tentu mereka tetap berpegang kepada mushaf mereka dan tidak perlu mengambil mushaf Khalifah Usman (Subh al-Shalih, 1977:71). Perlu ditambahkan bahwa Zaid bin Tsabit (ketua panitia) sebagai pengkodifikasinya adalah seorang yang hafal Alquran seluruhnya dan dia hadir pada waktu kali yang terakhir Jibril as datang untuk mengecek Alquran yang dihafalkan oleh Rasulullah saw sehingga adanya perbedaan tertib surat yang ada di tangan para sahabat semata-mata karena perbedaan kedekatan mengikuti Nabi saw, seperti Ali bin Abi Thalib, dan sahabat yang lain kadang-kadang dapat mengikuti Nabi dan kadang-kadang tidak. Demikian juga kalau kita lihat begitu rapinya susunan surat, maka tidak mungkin para sahabat berfikir untuk menyusunnya dalam waktu yang relatif singkat sedang keadaan pada waktu itu dilanda oleh situasi yang tidak stabil (perang).
Sebagian besar ulama berpendapat, bahwa penghimpunan ayat-ayat semasa hidup Rasulullah telah dipertimbangkan penulisannya supaya mencakup “tujuh huruf’ yang menjadi landasan turunnya Alquran.
Sesungguhnya, setiap ayat yang dicatat disimpan di rumah Rasulullah, sedang para pencatat membawa salinannya untuk mereka sendiri. Sehingga terjadilah saling kontrol antara naskah yang berada di tangan para pencatat wahyu itu dan suhuf (lembaran-lembaran Alquran) yang berada di rumah Rasulullah saw. Di samping itu ada kontrol lain dari para penghafal Alquran di kalangan sahabat Nabi saw, baik yang buta huruf maupun tidak. Keadaan itulah yang menjamin Alquran tetap terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah swt:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون(الحجر:9)
“Kamilah yang menurunkan Alquran dan Kami (jugalah) yang menjaganya”

C. PEMELIHARAAN ALQURAN DI MASA ABU BAKAR

Penulisan Alquran bukan soal baru, karena Rasulullah sendiri telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai lembaran kulit dan daun, tulang-tulang unta dan kambing yang kering, atau pada pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan pengumpulannya menjadi sebuah naskah, juga naskah Alquran yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yang terdapat di dalam rumah Rasulullah saw saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang.
Pada tahun 12 H terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan kaum murtad (pengikut Musailimah al-Kazzab) yang dinamakan peperangan “Yamamah”, di mana 70 penghafal Alquran mati syahid. Melihat banyaknya penghafal Alquran itu gugur, maka Umar bin Khaththab meminta kepada Abu Bakar agar ayat-ayat Alquran dikumpulkan. Dalam shaheh Bukhari disebutkan bahwa Zaid bin Tsabit mengatakan: Bahwa Abu Bakar memberi tahu kepadaku tentang orang-orang yang mati syahid dalam peperangan Yamamah, lalu akupun datang kepada Abu Bakar. Secara bersamaan Umar ada di tempat itu. Abu Bakar berkata: Bahwa Umar datang kepadaku yang menerangkan bahwa peperangan Yamamah telah membawa korban para qurra’ dan ia khawatir para qurra’ (penghafal Alquran) itu habis oleh peperangan yang menyebabkan hilangnya al­Qur’an.
Apakah anda menyuruh saya mengumpulkan Alquran? Saya menjawab: Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilaksanakan Rasul? Umar berkata: Ini (pengumpulan Alquran), demi Allah merupakan pekerjaan yang baik. Umar terus menerus meminta pendapatku dan mengulanginya agar aku mengumpulkan Alquran, sehingga Allah melapangkan dadaku untuk mengambil inisiatif dan saya sependapat dengan Umar. Kata Zaid bin Tsabit kembali, bahwa Abu Bakar berkata kepadaku: Bahwasanya engkau wahai Zaid, seorang pemuda yang berakal. Kami tidak meragukan keahlian dan agamamu dalam penulisan Alquran. Engkau seorang penulis wahyu di masa Rasulullah maka periksalah al­Qur’an, kemudian kumpulkan dan satukanlah! Zaid menjawab: demi Allah sekiranya mereka memberi beban kepadaku memindahkan salah satu gunung di antara gunung-gunung itu, tadaklah yang demikian itu lebih berat dari pada disuruh mengumpulkan dan menyatukan Alquran. Saya meneruskan, bagaimana kamu bisa kerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi saw? Abu Bakar menjawab: “Demi Allah ini suatu perbuatan yang baik”.
Maka Abu Bakar selalu menyuruhku untuk mengerjakannya, barulah hatiku dilapangkan oleh Tuhan. Maka aku memeriksa Alquran dan mengumpulkan lempengan-lempengan dari pelepah kurma, dari batu, dari para penghafalnya. Setelah saya melaksanakan, sampai saya mendapatkan akhir surat Taubah dari seorang Anshar yang bemama Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku dapatkan kecuali bagi dia. Ayat itu QS. At-Taubah: 128-129):
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم  فإن تولوا فقل حسبي الله لا إله إلا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sanat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah:” Cukuplah Allah bagiu, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memilik] `Arsy yang agung “.
Mushaf yang ditulis itu berada di rumah Abu Bakar sampai akhir hayatnya, kemudian berpindah ke rumah Khalifah Umar selama hidupnya dan akhirnya berada di rumah Hafshah binti Umar (Subh al-Shalih, 1977:75). Alasan kenapa Hafshah yang menyimpan mushaf itu bukan di rumah Khalifah Usman ialah (1) Hafshah itu istri Rasulullah dan anak khalifah (2) Hafshah itu seorang yang pandai tulis baca (Subh al-Shalih, 1977:77).
Motif Abu Bakar mengumpulkan Alquran semata-mata pekerjaan yang dianggap mulia karena untuk menghindari adanya perubahan dalam Alquran. Kehilangan atau perubahan Alquran itu bisa saja terjadi karena semakin lama semakin banyak Qurra’ yang mati syahid. Padahal hafalan itu sebagai sumber terpenting pada masa pengumpulan Alquran, di samping bukti tertulis.
Keberatan Abu Bakar pada awalnya untuk mengumpulkan bukan berarti karena sulitnya mencari sumber-sumber tertulis, tetapi karena tidak ada nash yang menyuruhnya, di samping pada waktu itu pemerintahannya dihadapkan kepada para murtad dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Konsekwensinya, membuat Abu Bakar sangat berhati-hati menerima tilusan ayat-ayat Alquran dari para penulisnya dan selalu tulisan itu disesuaikan dengan hafalan para sahabat.


D. PEMELIHARAAN ALQUR’AN DI MASA USMAN BIN AFFAN

Beberapa tahun berlalu dari pemerintahannya timbullah beberapa penggerak supaya meninjau kembali mushaf yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab shahehnya dari Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik menceritakan bahwa Huzaifah bin al-Tamam datang kepada Usman setelah memerangi penduduk Syam dalam penaklukan Armenia dan Azerbaijan, bersama-­sama penduduk Irak. Huzaifah melihat hebatnya perselisihan antara mereka itu dalam soal qira’at. Huzaifah meminta Usman segera memperbaiki keadaan ini, segera menghilangkan perselisihan bacaan, agar umat Islam jangan berselisih mengenai kitab mereka, sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Maka Usman meminta Hafshah supaya memberikan mushaf yang ada padanya agar disalin ke beberapa mushaf. Sesudah disalin, akan dikembalikan mushaf itu kepadanya. Setelah mushaf diterima Usman, beliaupun menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalin dari mushaf itu menjadi beberapa mushaf Pedoman yang diberikan pada panitia itu ialah apabila terjadi perselisihan qira’at antara Zaid bin Tsabit (kaum Anshar, penduduk Madinah), dengan temannya yang tiga itu, (dari suku Quraisy, penduduk Makkah, kaum Muhajirin) hendaklah ditulis menurut qira’at orang Quraisy, karena Alquran itu diturunkan dengan lisan mereka. Panitia itupun mulai melakukan tugasnya pada tahun 25 H.

E. USAHA LANJUTAN DAN PROSES PENYEMPURNAAN MUSHAF UTSMANI

Dahulu Mushaf ‘Utsmani huruf-hurufnya tidak memakai tanda titik dan harakat. Hal itu karena pembawaan bahasa Arab mereka yang masih murni (selamat), yang tidak membutuhkan harakat dan titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan dikarenakan adanya pecampuran dengan bahasa orang-orang ‘Ajam (orang non Arab), maka pihak yang bertanggung jawab dalam masalah itu (pemerintahan saat itu) merasa perlu untuk memperbaiki penulisan Mushaf dengan menambahkan harakat, titik, dan lain-lain yang dapat membantu agar pembaca al-Qur’an bisa membaca dengan benar.
Para Ulama berbeda pendapat tentang awal mula usaha perbaikan ini. Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa yang pertama kali melakukan hal itu adalah Abul Aswad ad-Duali rahimahullah, yang dinisbatkan kepada beliau peletakkan kaidah-kaidah dasar bahasa Arab, berdasarkan perintah dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
Diriwayatkan dalam masalah ini, bahwasanya beliau mendengar salah seorang membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
… أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ … {3}
”…Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin. …. (QS. At-Taubah: 3)
Namun orang itu membaca dengan mengkasrahkan huruf Laam dalam kata Wa rasuuluhu (dan hal itu mengubah arti al-Qur’an, sehingga artinya dengan bacaan kasrah huruf Laam menjadi ”Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyirikin dan (berlepas diri dari) Rasul-Nya”). Maka kesalahan membaca tersebut membuat Abul Aswad ad-Duali terkejut, dan beliau berkata:”Mahamulia Wajah Allah untuk berlepas diri dari Rasul-Nya.” Lalu beliau pergi menuju Ziyad, gubernur Bashrah dan beliau berkata kepadanya”Aku telah memenuhi apa permintaanmu.” Dahulu Ziyad pernah meminta kepada Abul Aswad untuk membuatkan bagi manusia tanda-tanda (harakat dan titik), yang dengannya mereka bisa mengenal (membaca dengan benar) kitab Allah (al-Qur’an). Namun Abul Aswad terkesan lambat dalam merespon permintaan tersebut hingga akhirnya beliau dikejutkan dengan peristiwa ini. Dari sinilah beliau mulai berusaha keras, dan hasil akhir dari usaha kerasnya adalah dengan membuat tanda untuk Fathah satu titik di atas huruf, untuk Kasrah satu titik di bawah huruf, untuk Dhammah satu titik di antara ujung-ujung huruf, dan untuk Sukun dua titik.
Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan dalam al-Itqaan, bahwa Abul Aswad ad-Duali adalah orang pertama yang melakukan hal itu atas perintah ‘Abdul Malik bin Marwan, bukan perintah dari Ziyad. Yang mana kaum Muslimin terbiasa membaca dengan Mushaf ‘Utsmani selama lebih dari empat puluh tahun, hingga ketika kekhalifahan ‘Abdul Malik terjadi banyak kekeliruan dalam membaca al-Qur’an dan hal tersebut menyebar di ‘Iraq. Maka para Penguasa di sana memikirkan untuk membuat titik dan harakat (pada Mushaf).
Dan ada beberapa riwayat lain yang menyandarkan/menisbatkan pekerjaan ini (pembuatan membuat titik dan harakat) kepada orang lain (selain Abul Aswad ad-Duali). Di antaranya al-Hasan al-Bashri rahimahullah, Yahya bin Ya’mar, dan Nahsr bin ‘Ashim al-Laitsi. Dan hanya Abul Aswad-lah yang terkenal dalam maslah ini. Dan mungkin saja orang-orang lain yang disebutkan itu memiliki usaha-usaha yang lain yang mereka kerahkan untuk memperbaiki dan mempermudah Rasm (metode penulisan Mushaf)َ
Proses perbaikan rasm ini dilakukan dengan bertahap, pada awalnya syakal (harakat) berupa titik. Fathah berupa satu titik di atas awal huruf, Dhammah satu titik di atas akhir huruf dan Kasrah satu titik di bawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penetuan harakat yang diambil dari huruf, dan itulah yang dicetuskan oleh al-Khalil. Maka jadilah fathah garis melintang di atas huruf, kasrah demikian juga namun di bawah huruf, dhammah wawu kecil di atas huruf, dan tanwin dengan tambahan tanda yang serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti pada tempatnya dituliskan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba’ diberi tanda iqlab berwarna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah/tasydid/i] kecuali huruf tha’ sebelum ta’, maka sukun tetap dituliskan diatasnya, seperti فرطْت (al-Itqaan: 2/168)
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah rasm Mushaf menjadi lebih baik dan lebih bagus orang-orang pun berlomba-lomba untuk memilih bentuk tulisan yang baik dan mencari tanda-tanda baru yang khas. Mereka memberikan tanda seperti busur untuk huruf yang ditasydid. Sedangkan untuk alif washal diberi lekuk di atasnya, bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya, apakah ia fathah, kasrah atau dhammah.
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surat dan bilangan ayat, simbol-simbol yang menunjukkan kepala ayat dan tanda waqaf. Tanda untuk waqaf lazim (wajib berhenti) adalah (م), waqaf mamnu’ (dilarang berhenti) adalah (لا), waqaf ja’iz (boleh berhenti dan boleh lanjut) adalah (ج), waqaf ja’iz tetapi washal (lanjut) lebih utama adalah (صلى), waqaf ja’iz tetapi berhenti lebih utama adalah (قلى), waqaf mu’anaqah yang apabila telah waqaf/berhenti pada satu tempat maka tidak dibenarkan berhenti di tempat lain adalah (:. .:), selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb, dan penyempurnaan-penyempurnaan lainnya.
Para Ulama pada awalnya tidak menyukai usaha tersebut (pembuatan titik dan harakat dan simbol), karena khawatir akan terjadi penambahan dalam al-Qur’an. Mereka bersandarkan pada ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu:”Bersihkan (murnikan) al-Qur’an dan jangan dicampur adukkan dengan apapun.”
Sebagian dari mereka membedakan antara pemberian titik yang boleh dengan pembuatan persepuluhan/al-A’syar, dan pembukaan-pembukaan surat yang tidak diperbolehkan. Al-Halimi rahimahullah berkata:”Dimakruhkan penulisan persepuluhan, perlimaan, nama-nama surat dan jumlahnya dalam Mushaf, berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu “Bersihkan (murnikan) al-Qur’an”. Adapun titik-titik maka itu diperbolehkan, karena titik-titik tersebut tidak memiliki bentuk yang dapat membuat kerancuan sesuatu yang bukan al-Qur’an dianggap al-Qur’an. Akan tetapi titik-titik tersebut hanyalah petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca, sehingga keberadaannya tidak membahyakan (tidak berpengaruh buruk) bagi orang yang membutuhkannya.”
Namun akhirnya hal itu berujung pada bolehnya atau bahkan dianjurkannya membuat titik dan harakat. Ibnu Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari al-Hasan dan Ibnu Sirin bahwa keduanya mengatakan:”Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.” an-Nawawi rahimahullah mengatakan:”pemberian titik dan pensyakalan(pemberian harokat-ed) itu dianjurkan, karena hal tersebut dapat menjaga Mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.”Perhatian untuk menyempurnakan Mushaf, sekarang mencapai puncaknya dalam khat Arab.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alquran, Jakarta, 1974.

Hasbi ash-Shiddigy, Jlmu-ilmu Alquran, Media-media Pokok dalam Menafsirkan Alquran, Bulan Bintang, Jakarta, 1972.

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2009

Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998

Muhammad Ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2003

Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004

http://www. al-aziziyah.com/…/147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok








0 komentar:

Translate

Jumlah Pembaca

Instagram @kamal_btr