Info Penting Hari Ini !!!

Selamat Datang di KARYA KAMAL. Apa yang Sedang Sahabat Cari ??? Moga Blog Ini Bisa Membantu Sahabat Semua...!!! Kabar Gembira, Novel Sampan di Seberang akan segera dipublikasikan di blog ini agar para sahabat setia bisa menikmati karya yg pernah menang dalam kompetisi novel ini. Novel "Sampan di Seberang" diangkat dari kisah nyata pengalaman mengabdi di daerah terpencil. Novel "Sampan di Seberang" Tentang Pengabdian, Persahabatan & Kenangan, Tunggu Kehadirannya...!!! Karya Kamal; Novel Jalan Impian, Novel Pardangolan, Novel Sampan di Seberang, Buku Bait Bait Hati & Buku Facebook Mengguncang Dunia Akhirat. __Mustopa Kamal Batubara__ __Facebook: Mustopa Kamal Batubara.__ __Instagram: @kamal_btr.____Twitter: @mustopakamalBTR____Email: mustopakamalbatubara@gmail.com__ __Salam Karya Kamal__

Minggu, 25 Mei 2014


SENYUM MENTARI DI MUSTHAFAWIYAH
(Kisah Santri Musthafawiyah)


Karya: Mustopa Kamal Btr


Pagi ini cuaca terlihat sangat cerah, mentari terlihat tersenyum di peraduannya. Aku masih malas beranjak dari tempat tidur, walaupun aku telah memandang cakrawala dari jendela pondok kecil berukuran empat kali lima meter ini. Hari selasa memang hari santai bagi setiap santri, karena merupakan hari libur kami setiap minggunya. Pesantren kami ini tidak mengikuti kebanyakan sekolah umum lainnya yang biasa libur dihari minggu.

Hari selasa biasanya aku pergunakan untuk silaturrahmi ke pondok teman-teman yang lain. Tidak jarang juga sebagian santri mempergunakannya untuk main sepak bola di lapangan dan bagi santri-santri yang mempunyai uang lebih biasanya pergi jalan-jalan ke kota Panyabungan sekitar lima belas menit dari pesantren kami, Musthafawiyah.

Pesantren Musthafawiyah merupakan salah satu pesantren tertua di Indonesia, dan merupakan tertua di provinsi Sumatera Utara. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Musthafa Husein pada tahun 1928, salah seorang ulama terkemuka di daerahku. Saat ini pesantren Musthafawiyah memiliki lebih dari delapan ribu santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan pernah juga mempunyai santri dari luar negeri.

Di pondok inilah pahit manisnya kehidupan kami rasakan. Terkadang belanja terlambat datang, terkadang perselisihan menghampiri, terkadang rasa rindu pulang kampung membuncah, maka kami saling membantu, saling menguatkan dan saling melengkapi. Itulah potret kehidupan pesantren, yang takkan bisa dilupakan. 

“Bil, kok belum bangun juga sih” sahut temanku bernama Mukhlis yang tiba-tiba  datang ke pondokku.
“Udah Lis, cuman badan ini berat aja beranjak dari tempat tidur, mungkin karena libur kali ya”
“O, Bil kira-kira apa agenda kita hari ini?”
“Kira-kira apa ya Lis, teman-teman yang lain mana?”
“Syukron dan Asmar udah di pondokku tu”
“O, cepat kali mereka ke pondokmu”
“Nggak tau, katanya nggak ada kerjaan di pondok orang tu”
“O, kamu duluan ajalah, aku nanti menyusul ke pondokmu”
“Oke, gak pake lama ya”
“Ok”    

Setelah selesai sarapan dan mandi pagi, aku langsung pergi ke pondok Mukhlis. Kami biasanya saling bergantian mengunjungi pondok. Hari ini kami nongkrong di pondok teman yang paling suka becanda ini, Mukhlis. Mukhlis itu orangnya sangat gokil dan paling suka markombur (bercerita-cerita yang terkadang tidak ada hasilnya). Terkadang cara bercandanya menurutku terlalu lebay, karena terkadang ia tidak peduli orang sakit hati akibat perkataannya yang keterlaluan.

“Assalamu ‘alaikum”
“Wa alaikum salam, masuk Bil”
“Waduh tuan Sabil, kok bisa telat bangun sih?” tanya temanku bernama Syukron.
“O,,, tadi setelah selesai shalat subuh ketiduran lagi tu, maklum hari libur”
“O, gimana sih tuan ini, kan ada hadis yang mengatakan kalau habis subuh kita tidur lagi, akan menghilangkan rejeki” kata temanku Asmar.
“Mungkin itu bagi orang-orang yang sudah bekerja saja, kita kan nggak bekerja” jawabku mencoba mencari alasan.
“Aduh, Sabil ini cari-cari lasan mulu” kata Mukhlis.
“He he...” jawabku.

Setelah panjang lebar markombur, aku merasa disudutkan mereka semua. Pembicaraan kami seolah merugikanku. Aku selalu disalahkan, aku dipojokkan dan aku merasa menyesal datang kesini. Emosiku membuncah dalam dada tapi aku berusa sekuat tenaga untuk memendamnya agar tidak memporak-porandakan bumi.

Emosiku benar-benar tidak bisa ku pendam lagi, bagaimanpun juga kesabaran manusia itu ada batasnya. Aku marah kepada mereka, aku memperlihatkan ketidak senanganku terhadap mereka semua. Aku mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, aku ingin mereka merasakan betapa sakitnya hati ini.

“Aku nggak suka dengan sikap kalian ini, kalian itu terlalu lebay, masa aku mulu yang disalahkan”
“Waduh, kok diambil hati sih Bil, kita kan Cuma becanda” kata Mukhlis.
“Becanda-becanda? Becanda juga ada batasnya tau”
“Kok diambil hati sih Bil” kata Asmar.
“Iya. kok Sabil gitu sih?” kata Syukron.
“Kalian semua memang egois, kalian itu benar-benar teman yang gak tau diri, mulai sekarang pertemanan kita putus” jawabku.

Aku pergi dari pondok Muklis itu, aku pergi ke pondokku yang berjarak sekitar tiga puluh meter dari pondoknya. Aku malas melihat cara becanda mereka yang keterlaluan itu. Aku ingin mereka taum, gimana rasanya tanpa aku disisi mereka.

Hari senin ini cuaca sangat cerah sekali, tapi mentari terlihat dari tadi cemberut mengikuti langkahku menuju kelas. Kecemberutannya menambah kegalauanku mengisi hari-hari ini. Aku tidak tahu kenapa mentari selalu cemberut melihatku, mungkin ia tidak suka perselisihan yang terjadi diantaraku dengan teman-teman, tapi biarlah aku tidak peduli, yang penting tanpa mereka juga aku tetap happy.

“Mal, maafin kesalahan kami yang kemarin ya” pinta Mukhlis di dalam kelas.
“Emang kamu pikir memaafkan itu semudah membalikkan telapak tangan Lis”
“Iya Mal kami minta maaf ya, kami janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi” kata Syukron.
“Iya Mal, kami janji” Asmar menguatkan perkataan mereka.
“Kalian minta maaf aja dulu sama tuhan, baru minta maaf sama aku” aku pun pergi dengan angkuhnya.

Setelah pulang dari sekolah, aku mandi di sungai aek singolot. Sungai ini terletak di belakang pondok-pondok santri putra. Sungai aek singolot, rasa air-nya sangat pekat. Rasa airnya ini tidak seperti air tawar, maupun air laut. Mungkin air aek singolotlah satu-satunya air terunik di dunia. Tidak ada ikan-ikan yang hidup didalamnya. Kita juga tidak bisa mencuci pakaian di air ini, karena pakaian yang kita cuci akan rusak dan robek.

Sesudah mandi di sungai aek singolot, badan terasa segar sekali. Aku pun mengerjakan shalat dzuhur. Setelah selesai shalat, aku tidak lupa membaca kalam Ilahi. Perasaan terasa tenang setelah semua kewajiban kepada tuhan ditunaikan. Sekarang waktunya mengulang-ulang pelajaran yang sudah diajarkan ustadz di sekolah tadi.    

Hari selasa ini kecemberutan mentari semakin menjadi-jadi, aku tidak tahu kesalahanku kepada lampu raksasa ini. Sekarang aku merasa hidup terasa sepi, di kelas aku dijauhi teman-teman yang lain. Mungkin mereka marah kepadaku karena aku tidak mau memaafkan ketiga sahabatku yang terkadang terlalu lebay itu. Aku benar-benar tersisih di sudut kehidupan ini. aku pun akhirnya mencoba minta maaf kepada mereka.

“Mukhlis, Syukron, Asmar, maafin aku ya. Aku ingin kembali merajut benang parsahabatan kita”
“Enak aja kau Sabil. pas kami minta maaf sama kamu. Kamu malah tidak mau maafin kami” jawab Mukhlis.
“Iya, kamu itu terlalu egois Bil” sahut Syukron.
“Kita jangan mau maafin dia, kita jangan dekat-dekat sama dia. Yuk kita pergi dari sini” kata Asmar.

Aku pun merasa sangat bersalah sekali, ketika mereka minta maaf kepadaku aku malah tidak mau memaafkan mereka. Aku benar-benar menyesal, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa agar bisa melunakkan hati mereka yang saat ini seperti batu.

Aku berusaha bersikap sabar atas segala skenario yang telah ditetapkan tuhan. Di dalam pondok mungil ini, aku berusaha melupakan kegalauan hati yang sedang menghampiri. Aku mengisi siang hari dengan membaca majallah-majallah Islam, mungkin agar hatiku agak sedikit tenang. Aku percaya dibalik semua peristiwa, pasti ada hikmahnya.

Tanpa ku sangka sebelumnya, tiba-tiba Mukhlis, syukron dan Asmar datang ke pondokku. Entah apa gerangan yang telah melunakkan hati mereka. Mereka bertiga langsung memegang tanganku. Lalu mereka minta maaf atas segala kekhilafan yang terjadi diantara kami berempat. Suasana mengharu-biru pun tak bisa dielakkan.

“Sabil, kami semua minta maaf ya. Kami berjanji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Sabil maafin kami ya” Sahut Mukhlis.
“Iya Bil, maafin kami ya” Sahut syukron dan Asmar.
“Iya teman-teman, Sabil juga minta maaf ya. Mari kita jalin kembali persahabatan ini, agar kita sama-sama mendapat ridha Ilahi” jawabku.

Sekarang mentari terlihat tidak cemberut lagi, ia kembali tersenyum di peraduannya. Senyumannya begitu lebar, selebar senyum yang kami sunggingkan di siang hari ini. Kami kembali merajut benang persahabatan yang pernah putus dihempas angin. Beginilah hidup yang penuh dengan problematika. Perselisihan itu bisa datang kapan saja dan menghampiri siapa saja baik itu anak-anak, orangtua, laki-laki, perempuan, tua dan muda. Alangkah indahnya jika setiap perselisihan dapat diatasi dengan saling memaafkan.

SELESAI


0 komentar:

Translate

Jumlah Pembaca

Instagram @kamal_btr