SENYUM MENTARI DI MUSTHAFAWIYAH
(Kisah Santri Musthafawiyah)
Karya: Mustopa Kamal Btr
Pagi
ini cuaca terlihat sangat cerah, mentari terlihat tersenyum di peraduannya. Aku
masih malas beranjak dari tempat tidur, walaupun aku telah memandang cakrawala
dari jendela pondok kecil berukuran empat kali lima meter ini. Hari selasa
memang hari santai bagi setiap santri, karena merupakan hari libur kami setiap
minggunya. Pesantren kami ini tidak mengikuti kebanyakan sekolah umum lainnya
yang biasa libur dihari minggu.
Hari
selasa biasanya aku pergunakan untuk silaturrahmi ke pondok teman-teman yang
lain. Tidak jarang juga sebagian santri mempergunakannya untuk main sepak bola
di lapangan dan bagi santri-santri yang mempunyai uang lebih biasanya pergi
jalan-jalan ke kota Panyabungan sekitar lima belas menit dari pesantren kami,
Musthafawiyah.
Pesantren
Musthafawiyah merupakan salah satu pesantren tertua di Indonesia, dan merupakan
tertua di provinsi Sumatera Utara. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Musthafa
Husein pada tahun 1928, salah seorang ulama terkemuka di daerahku. Saat ini
pesantren Musthafawiyah memiliki lebih dari delapan ribu santri yang berasal
dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan pernah juga mempunyai santri dari
luar negeri.
Di
pondok inilah pahit manisnya kehidupan kami rasakan. Terkadang belanja
terlambat datang, terkadang perselisihan menghampiri, terkadang rasa rindu
pulang kampung membuncah, maka kami saling membantu, saling menguatkan dan
saling melengkapi. Itulah potret kehidupan pesantren, yang takkan bisa
dilupakan.
“Bil,
kok belum bangun juga sih” sahut temanku bernama Mukhlis yang tiba-tiba datang ke pondokku.
“Udah
Lis, cuman badan ini berat aja beranjak dari tempat tidur, mungkin karena libur
kali ya”
“O,
Bil kira-kira apa agenda kita hari ini?”
“Kira-kira
apa ya Lis, teman-teman yang lain mana?”
“Syukron
dan Asmar udah di pondokku tu”
“O,
cepat kali mereka ke pondokmu”
“Nggak
tau, katanya nggak ada kerjaan di pondok orang tu”
“O,
kamu duluan ajalah, aku nanti menyusul ke pondokmu”
“Oke,
gak pake lama ya”
“Ok”
Setelah
selesai sarapan dan mandi pagi, aku langsung pergi ke pondok Mukhlis. Kami
biasanya saling bergantian mengunjungi pondok. Hari ini kami nongkrong di
pondok teman yang paling suka becanda ini, Mukhlis. Mukhlis itu orangnya sangat
gokil dan paling suka markombur (bercerita-cerita
yang terkadang tidak ada hasilnya). Terkadang cara bercandanya menurutku
terlalu lebay, karena terkadang ia tidak peduli orang sakit hati akibat
perkataannya yang keterlaluan.
“Assalamu
‘alaikum”
“Wa
alaikum salam, masuk Bil”
“Waduh
tuan Sabil, kok bisa telat bangun sih?” tanya temanku bernama Syukron.
“O,,,
tadi setelah selesai shalat subuh ketiduran lagi tu, maklum hari libur”
“O,
gimana sih tuan ini, kan ada hadis yang mengatakan kalau habis subuh kita tidur
lagi, akan menghilangkan rejeki” kata temanku Asmar.
“Mungkin
itu bagi orang-orang yang sudah bekerja saja, kita kan nggak bekerja” jawabku
mencoba mencari alasan.
“Aduh,
Sabil ini cari-cari lasan mulu” kata Mukhlis.
“He
he...” jawabku.
Setelah
panjang lebar markombur, aku merasa
disudutkan mereka semua. Pembicaraan kami seolah merugikanku. Aku selalu
disalahkan, aku dipojokkan dan aku merasa menyesal datang kesini. Emosiku
membuncah dalam dada tapi aku berusa sekuat tenaga untuk memendamnya agar tidak
memporak-porandakan bumi.
Emosiku
benar-benar tidak bisa ku pendam lagi, bagaimanpun juga kesabaran manusia itu
ada batasnya. Aku marah kepada mereka, aku memperlihatkan ketidak senanganku
terhadap mereka semua. Aku mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, aku ingin
mereka merasakan betapa sakitnya hati ini.
“Aku
nggak suka dengan sikap kalian ini, kalian itu terlalu lebay, masa aku mulu
yang disalahkan”
“Waduh,
kok diambil hati sih Bil, kita kan Cuma becanda” kata Mukhlis.
“Becanda-becanda?
Becanda juga ada batasnya tau”
“Kok
diambil hati sih Bil” kata Asmar.
“Iya.
kok Sabil gitu sih?” kata Syukron.
“Kalian
semua memang egois, kalian itu benar-benar teman yang gak tau diri, mulai
sekarang pertemanan kita putus” jawabku.
Aku
pergi dari pondok Muklis itu, aku pergi ke pondokku yang berjarak sekitar tiga
puluh meter dari pondoknya. Aku malas melihat cara becanda mereka yang
keterlaluan itu. Aku ingin mereka taum, gimana rasanya tanpa aku disisi mereka.
Hari
senin ini cuaca sangat cerah sekali, tapi mentari terlihat dari tadi cemberut
mengikuti langkahku menuju kelas. Kecemberutannya menambah kegalauanku mengisi
hari-hari ini. Aku tidak tahu kenapa mentari selalu cemberut melihatku, mungkin
ia tidak suka perselisihan yang terjadi diantaraku dengan teman-teman, tapi
biarlah aku tidak peduli, yang penting tanpa mereka juga aku tetap happy.
“Mal,
maafin kesalahan kami yang kemarin ya” pinta Mukhlis di dalam kelas.
“Emang
kamu pikir memaafkan itu semudah membalikkan telapak tangan Lis”
“Iya
Mal kami minta maaf ya, kami janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi” kata
Syukron.
“Iya
Mal, kami janji” Asmar menguatkan perkataan mereka.
“Kalian
minta maaf aja dulu sama tuhan, baru minta maaf sama aku” aku pun pergi dengan
angkuhnya.
Setelah
pulang dari sekolah, aku mandi di sungai aek singolot. Sungai ini terletak di
belakang pondok-pondok santri putra. Sungai aek singolot, rasa air-nya sangat
pekat. Rasa airnya ini tidak seperti air tawar, maupun air laut. Mungkin air
aek singolotlah satu-satunya air terunik di dunia. Tidak ada ikan-ikan yang
hidup didalamnya. Kita juga tidak bisa mencuci pakaian di air ini, karena
pakaian yang kita cuci akan rusak dan robek.
Sesudah
mandi di sungai aek singolot, badan terasa segar sekali. Aku pun mengerjakan
shalat dzuhur. Setelah selesai shalat, aku tidak lupa membaca kalam Ilahi.
Perasaan terasa tenang setelah semua kewajiban kepada tuhan ditunaikan.
Sekarang waktunya mengulang-ulang pelajaran yang sudah diajarkan ustadz di
sekolah tadi.
Hari
selasa ini kecemberutan mentari semakin menjadi-jadi, aku tidak tahu
kesalahanku kepada lampu raksasa ini. Sekarang aku merasa hidup terasa sepi, di
kelas aku dijauhi teman-teman yang lain. Mungkin mereka marah kepadaku karena
aku tidak mau memaafkan ketiga sahabatku yang terkadang terlalu lebay itu. Aku
benar-benar tersisih di sudut kehidupan ini. aku pun akhirnya mencoba minta
maaf kepada mereka.
“Mukhlis,
Syukron, Asmar, maafin aku ya. Aku ingin kembali merajut benang parsahabatan
kita”
“Enak
aja kau Sabil. pas kami minta maaf sama kamu. Kamu malah tidak mau maafin kami”
jawab Mukhlis.
“Iya,
kamu itu terlalu egois Bil” sahut Syukron.
“Kita
jangan mau maafin dia, kita jangan dekat-dekat sama dia. Yuk kita pergi dari
sini” kata Asmar.
Aku
pun merasa sangat bersalah sekali, ketika mereka minta maaf kepadaku aku malah
tidak mau memaafkan mereka. Aku benar-benar menyesal, aku tidak tahu lagi harus
berbuat apa agar bisa melunakkan hati mereka yang saat ini seperti batu.
Aku
berusaha bersikap sabar atas segala skenario yang telah ditetapkan tuhan. Di
dalam pondok mungil ini, aku berusaha melupakan kegalauan hati yang sedang
menghampiri. Aku mengisi siang hari dengan membaca majallah-majallah Islam,
mungkin agar hatiku agak sedikit tenang. Aku percaya dibalik semua peristiwa,
pasti ada hikmahnya.
Tanpa
ku sangka sebelumnya, tiba-tiba Mukhlis, syukron dan Asmar datang ke pondokku.
Entah apa gerangan yang telah melunakkan hati mereka. Mereka bertiga langsung
memegang tanganku. Lalu mereka minta maaf atas segala kekhilafan yang terjadi
diantara kami berempat. Suasana mengharu-biru pun tak bisa dielakkan.
“Sabil,
kami semua minta maaf ya. Kami berjanji tidak akan mengulangi kesalahan lagi.
Sabil maafin kami ya” Sahut Mukhlis.
“Iya
Bil, maafin kami ya” Sahut syukron dan Asmar.
“Iya
teman-teman, Sabil juga minta maaf ya. Mari kita jalin kembali persahabatan
ini, agar kita sama-sama mendapat ridha Ilahi” jawabku.
Sekarang
mentari terlihat tidak cemberut lagi, ia kembali tersenyum di peraduannya.
Senyumannya begitu lebar, selebar senyum yang kami sunggingkan di siang hari
ini. Kami kembali merajut benang persahabatan yang pernah putus dihempas angin.
Beginilah hidup yang penuh dengan problematika. Perselisihan itu bisa datang
kapan saja dan menghampiri siapa saja baik itu anak-anak, orangtua, laki-laki,
perempuan, tua dan muda. Alangkah indahnya jika setiap perselisihan dapat
diatasi dengan saling memaafkan.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar