Makalah Qowaid fiqh
Disalin Ulang dari Internet
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Ghosob menurut bahasa: adalah
mengambil sesuatu secara dholim (bukan haknya).Ghosob menurut istilah: menguasai hak orang lain secara dahlim
permusuhan dan dengan cara yang tidak benar.
Contoh ghosob ini
sangat banyak misalkan: merubah batas tanah, mencopet di kantong orang, setiap
barang yang diambil dari seseorang dengan cara tidak halal atau dholim maka ini
yang dimaksud dengan ghosob, misalkan: menipu, curang, khiyanat, minjam uang
kemudian tidak mengembalikan, dan lain sebagainya.
Pengertian
turut serta berbuat jarimah sesungguhnya berbeda dengan berserikat dalam
melakukan tindak pidana. Turut serta melakukan jarimah disini dapat terjadi
tanpa menghendaki ataupun bersama-sama menghendaki hasil perbuatan tersebut. Sedangkan
berserikat dalam jarimah ialah sama-sama melakukan dan menghendaki demikian
juga hasil dari perbuatan tersebut.
dalam fiqh Islam tidak memberi batasan yang pasti terhadap batasan usia
anak-anak di samping banyaknya perbedaan pendapat di antara para ulama.
Para ulama fiqh berijma bahwa seorang anak bila telah berihtilam maka
dipandang balig. Begitu juga seorang gadis, dengan kedatangan haidatau
kuat untuk hamil. Sesuai dengan ayat al-Qur’an:
واذا بلغ الا طفال منكم الحلم
B. RUMUSAN
MASALAH
a.
Bagaimana hukumnya
jikalau harta yang dikembalikan tidak sebanding?
b.
Apakah hukuman anak
dibawah umur bisa di gantikan oleh orang tuanya?
c.
Bagaimana kalau
sipelaku dalam keadaan di ancam atau terdesak?
C. TUJUAN
MASALAH
Makalah
ini bertujuan agar kita mengetahui apa dan siapa saja yang wajib menerima
hukuman. Serta bagaimana cara penerapan hukumannya dalam kehidupan
bermasyarakat serta bernegara yang mempunyai peraturan-peraturan yang telah di
tetapkan.
BAB II
PEMBAHASAN
“SETIAP ORANG YANG
MERAMPAS SESUATU DIA WAJIB MENGEMBALIKAN ATAU MENGEMBALIKAN HARGANYA”
A. Pengertian
ghosob
Ghosob menurut bahasa: adalah mengambil sesuatu secara dholim (bukan
haknya).Ghosob menurut istilah: menguasai
hak orang lain secara dahlim permusuhan dan dengan cara yang tidak benar.
Contoh ghosob ini sangat banyak misalkan: merubah
batas tanah, mencopet di kantong orang, setiap barang yang diambil dari
seseorang dengan cara tidak halal atau dholim maka ini yang dimaksud dengan
ghosob, misalkan: menipu, curang, khiyanat, minjam uang kemudian tidak
mengembalikan, dan lain sebagainya.
B. Hukum
Ghosob:
Hukum ghosob: haram
menurut ijma’ kaum muslimin, allah berfirman:
{ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ
أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ } [البقرة: 188]
“Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”. (al-Baqarah : 188)
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta
seseorang muslim kecualai dengan pemberian sukarela darinya”
c.
Hukum-hukum
yang terkait dengan ghosob
1. Wajib mengembalikan apa yang di ambil dengan dhlim tersebut persis seperti
yang di ambil, kalau barang yang di ambil itu sudah hancur atau rusak maka ia
harus menganti sesuai dengan barang yang di ambil, atau sesuai harga barang
yang ia ambil
2. Mengembalikan barang yang di ambil tersebut berserta uang ganti ruginya. Misalkan
seseorang mengambil motor saudaranya secara dhalim dalam maka secara otomatis
lambat laun motor itu akan rusak, maka ketia ia bertaubat dan menembalikan maka
ia kembalikan motor itu dan membayar ganti kerusakan barang tersebut selama ia
gunakan.
3. Jika uang misalkan yang di ambil dan uang itu sudah ia putar untuk buat
rumah atau gedung atau yang alainya, maka ketika yang memiliki hak meminta
untuk di hancurkan maka ia wajib menghancurkanya, misalkan pemimpin koruptor
taubat dan kemudian uang yang ia ambil secara dholim sudah ia buat bangngun
rumah di sana-sini kemudian yang memiliki hak minta untuk di robohkan maka
harus di robohkan.
4. Yang di curi apabila berubah, berkurang, turun nilainya maka si penngambil
harus mengganti.
5. Barang yang di ambil bisa jadi barang yang perselisihan atau memang
pencurian atau yang lainya.
6. Semua pengambilan barang haram kecuali mendapan izin dari pemilik.
“PERBUATAN ITU
DIPERUNTUKKAN KEPADA PELAKU BUKAN KEPADA YANG MENYURUH.”
A. Pengertian
Dan Bentuk Penyertaan
Pengertian turut serta berbuat jarimah sesungguhnya
berbeda dengan berserikat dalam melakukan tindak pidana. Turut serta melakukan
jarimah disini dapat terjadi tanpa menghendaki ataupun bersama-sama menghendaki
hasil perbuatan tersebut. Sedangkan berserikat dalam jarimah ialah sama-sama
melakukan dan menghendaki demikian juga hasil dari perbuatan tersebut.
“Jika
ada seorang yang menahan orang dan ada orng lain yang membunuhnya, maka bunuh
orang yang membunuh dan kurang lah orang yang menahan.”
B.
Pembagian Turut Serta Melakukan
Jarimah
a. Turut serta berbuat jarimah
secara langsung
b. Turut serta berbuat jarimah tidak langsung
1. Turut Serta Berbuat Jarimah Secara Langsung
Turut serta secara langsung terjadi apabila orang –
orang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Yang dimaksud
dengan nyata adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing – masing
mengambil bagian secara langsung, walaupun tidak sampai selesai. Jadi cukup
dianggap sebagai turut serta secara langsung apabila seseorang telah melakukan
suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah itu.
Sebagai contoh : dua orang ( A&B) akan membunuh
sesorang (C). A sudah memukul tengkuk dengan sepotong kayu kemudian pergi,
sedangkan B yang meneruskan samai akhirnya si C tersebut meninggak dunia.
Dalam
contoh ini A tidak turut menyelesaikan jarimah tersebut, tetapi ia telah
melakukan perbuatan yang merupakan pelaksanaan tindak pidana pembunuhan, disini
A dianggap sebagai orang yang turut serta secara langsung (Asy Syarik Al
Mubasyir)
Para
Fuqaha mengenal dua macam turut serta berbuat Jarimah secara langsung, yaitu:
a. Al Tawafuq, adalah beberapa orang yang melakukan suat kejahatan
secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi kejahatan itu terjadi karena
adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang dating secara tiba-tiba.
Contoh
seperti kejahatan yang terjadi ketika sedang berlangsung demonstrasi, dimana
yang tanpa perencanaan sebelumnya untuk melakukan suatu kejahatan. Dalam kasus
seperti ini pelaku kejahatanturut serta secara langsung dan hanya bertanggung
jawab atas perbuatan masing-masing.
b. Al Tamalu’ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang
secara bersama dan terencana sebelumnya.
Misalnya
pembunuhan atas seseorang oleh sekelompok orang secara terencana, ketika A dan
B bersepakat untuk membunuh C, kemudian A mengikat korban C dan B memukulnya
sampai akhirnya si C meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini A dan B dianggap
sebagai pelaku turut serta secara langsung atas dasar kematian si korban C, dan
mereka harus bertanggung jawab atas kematian si korban.
Menurut jumhur ulama ada perbedaan pertanggaungjawaban
turut serta secara langsung dalma Al Tawafuq dan Al Tamalu’. Pada Al Tawafuq
masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri,
dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Sedangkan Al Tamalu’
para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan mereka secara
keseluruhan, kalau si korban sampai meninggal maka masing-masing peserta
dianggap sebagai pembunuh.
Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dan sebagai
Fuqaha Syafi’iyah, tidak ada perbedaan antara pertanggungjawaban para peserta
dalam Al Tawafuq maupun Al Tamalu’. Yaitum bahwa masing-masing peserta hanya
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri-sendiri dan tidak bertanggung jawab
atas perbuatan secara keseluruhan.
C. Hukuman
untuk Para Peserta Langsung
Pada dasarnya menurut Syari’at Islam banyaknya pembuat
jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas
masing-masingnya seperti kalau masing-masing dari mereka melakukan jarimah
sendiri, meskipun masing-masingnya ketika bersamasama dengan yang lainnya tidak
melakukan semua bagian-bagian perbuatan yang telah menimbulkan akibat yang
terjadi.
Masing-masing peserta dalan jarimah bisa terpengaruh
oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri, seperti cara terjadinya perbuatan,
keadaan pembuat dan niatnya.
Boleh jadi dalam penganiayaan bagi seseorang, sebagai
pembelaan diri bagipeserta, dan boleh jadi salah seorang peserta itu gila yang
lain sehat fikirannya, lainnya sengaja berbuat, dan yang lain lagi berbuat
karena salah sangka (kekhilafan). Semua keadaan tersebut dipengauhi oleh
berat-ringannya suatu hukuman, sebab orang yang membela diri tidak dapat
dihukum asal tidak emelebihi batas-batas yang diperlukanm dan orang yang khilaf
lebih ringan daripada orang yang sengaja berbuat.
Apabila jarimah yang mereka lakukan itu adalah jarimah
pembunuhan maka hukuman terhadap mereka diperselisihkan oleh para fuqaha.
Menurut fuqaha yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I,
Imam Ats Tsauri, Imam Ahmad, dan Imam Abu Tsaur, apabila ada beberapa orang
membunuh satu orang maka mereka harus dibunuh semuanya. Pendapat ini merupakan
pendapat Umar RA.
Diriwayatkan
dari Sayyidina Umar RA. bahwa beliau pernah mengatakan:
لو تما لأ عليه أهل
صنعاء لقتلتهم جميعا
Andaikata
penduduk Shan’a bersepakat membunuhnya maka saya akan membunuh mereka
semuanya,21
Sedangkan menurut Imam Daud Az Zahiri, apabila
beberapa orang membunuh satu orang maka yang dihukum bunuh (qishas) hanyalah
salah seorang saja. Pendapat ini merupakan pendapat Ibn Zubair, Imam Zuhri, dan
Jabir.
2. Turut Berbuat tidak langsung
Turut berbuat jarimah tidak langsung adalah setiap
orang yang melakukan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan yang melanggar hukum, menyuruh orang lain untuk memberikan bantuan
dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan. Contoh kasusnya seperti
orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam kasus ini
menu7rut para Ulama dikalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad orang yang
menyuruh itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan karena orang yang
disuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh.[2]
Adapun menurut abu hanifah si penyuruh itu tidak
dianggap sebagai pelaku langsung kecuali bila suruhanya itu pada tingkat
paksaan. Dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada tingkat paksaan yang
disuruh itu harus bertanggungjawab atas kematian korban.
Dari keterangan diatas unsur-unsur turut berbuat
jarimah tidak langsung ada tiga macam, yaitu :
1. Adanya perbuatan yang dapat dihukum (jarimah)
2. Adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan sikapnya
itu perbuatan tersebut dapat terjadi.
3. Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan
persepakatan , menyuruh atau memberi bantuan.
a. Adanya Perbuatan yang Dapat Dihukum
Salah satu syarat terwujudnya turutserta secara tidak
langsung sisyaratkan dengan adanya perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini
perbuatan tidak perlu harus selesai, meskipun baru percobaan saja. Dan tidak
disyaratkan pula pelaku langsung dihuum.
b. Adanya Niat dari Orang yang Turut Berbuat
Untuk terwujudnya turutserta tidak langsung,
disyaratkan juga penyertaan niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan
persepakatan, suruhan atau bantuanya yang menjadikan perbuatan itu terjadi.
Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap
turut berbuat dalam semua jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh
niatnya.
c. Cara Mewujudkan Perbuatan Turut berbuat tidak langsung
Turutserta berbuat tidak langsung terjadi dengan cara
sebagai berikut:
1. Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling
pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan suatu jarimah.
2. Suruhan atau Hasutan (tahridl)
Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang lain
untuk melakukan suatu jarimah dan dengan bujukan tersebut mendorong dilakukanya
jarimah tersebut.
3. Memberi Bantuan (I’anah)
Orang yang memberi bantuanseorang melakuakn jarimah
dianggap kawan yang secara tidak langsung telah turut serta dalam melakukan
jarimah tersebut. Seperti membantu mengamati jalan untuk memudahkan pencurian
bagi orang lain.
D. Hukuman
Pelaku Tidak Langsung
Hukum hukum dalam syariat islam pada dasarnya telah
ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash, yang hanya di jatuhkan
atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang
yang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah hanya dijatuhi hukuman takzir. Aturan pembeda hukuman antara pelaku langsung dan tidak langsung
tersebut, hanya berlaku pada jarimah hudud dan Qishash dan tidak berlaku untuk jarimah
ta’zir. Sebab perbuatan masing-masing pembuat tersebut termasuk jarimah ta’zir
dan hukumannya juga hukuman ta’zir. Selama hakim mempunyai kebebasan dalam
menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir, maka tidak ada perlunya membuat
pemisah antara hukuman perbuatan langsung dengan hukuman tidak langsung dalam
jarimah ta’zir. Olehkarena itu hukuman pelaku tidak langsung biasanya lebih berat, sama beratatau lebih ringan daripada hukuman pelaku
langsung.
Alasan mengenai penjatuhan hukuman ini didasarkan atas
hukuman hukuman tersebut (hudud dan qishash) merupakan pelaku jarimah langsung
sedangkan berbuatnya pelaku tidak langsung merupakan subhat yang dapat
menggugurkan hukuman had.
Atuaran perbedaan hukuman antara pelaku langsung
dengantidak langsung tersebut hanya terletak pada jarimah hudud dengan qishash.
Sedangkan takzir tidak ada pembeda antara keduanya.
“SETIAP
PELAKU KEJAHATAN, KEJAHATAN ITU TANGGUNG JAWABNYA”
A. Seorang Anak Melakuan Tindak Pidana
dalam fiqh Islam tidak memberi batasan yang
pasti terhadap batasan usia anak-anak di samping banyaknya perbedaan pendapat
di antara para ulama. Para ulama fiqh berijma bahwa seorang anak bila
telah berihtilam maka dipandang balig. Begitu juga
seorang gadis, dengan kedatangan haidatau kuat untuk hamil. Sesuai
dengan ayat al-Qur’an:
واذا بلغ الا طفال منكم الحلم.
Namun Terjadi Ikhtilaf Di Antara Para Ulama Dalam Penentuan Umur. Ada Tiga
Pendapat Tentang Hal Tersebut, Yaitu:
1.
Mazhab Hanafi
Mereka berpendapat
bahwasanya seorang laki-laki tidak dipandang balligh sebelum ia mencapai usia
18 tahun. Adapun hujjahnya ialah:
ولاتقربوا مال اليتيم الا بل لتي هي احسن حتي يبلغ اشده.
Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah
dari usia 18 tahun. Adapun anak perempuan perkembangan dan kesadarannya adalah
lebih cepat, oleh sebab itu usia awal kedewasaannya dikurangi satu tahun
sehingga anak perempuan menjadi dewasa pada usia 17 tahun.
2. Mazhab Syafi’i dan Hambali
Mereka berpendapat
bahwa bila seorang anak laki-laki dan perempuan apabila telah sempurna berusia
15 tahun, kecuali bagi laki-laki yang sudah ihtilam dan perempuan yang sudah
haid sebelum usia 15 tahun maka keduanya dinyatakan telah balligh. Mereka juga
berhujjah dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan
kepada Nabi saw pada hari perang Uhud sedang ia ketika itu berusia 14 tahun,
kemudian Nabi tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun
dirinya mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia telah
berumur 15 tahun dan ia diperkenankan oleh Nabi untuk perang Khandak.
3. Jumhur Ulama Fiqh
Bahwasanya usia balligh bisa
ditentukan berdasarkan hukum kelaziman. Kebiasaan yang terjadi adalah setelah
terjadinya ihtilam dan hal itu sering terjadi pada usia 15
tahun. Dengan demikian, maka umur 15 tahun itulah ditentukan usia balligh yang
dipandang usia taklif (usia pembebanan hukum).
Sedangkan dalam
literatur bahasa yang lain disebutkan juga anak dengan istilah mumayyiz yaitu
anak yang mengerti maksud dari kata-kata yang diucapkannya. Biasanya usia anak
itu genap 7 tahun sehingga bila kurang dari 7 tahun maka belum dikatakan mumayyiz.
Hukum anak mumayyiz itu tetap berlaku sampai anak itu dewasa.
Dewasa ini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda-tanda
laki-laki dan perempuan yang biasanya pencapaian umur bagi laki-laki berusia 12
tahun sedang perempuan 9 tahun.
Kemudian kalau anak
sudah melewati usia tersebut bagi laki-laki 12 tahun dan 9 tahun bagi perempuan
namun belum tampak gejala-gejala bahwa ia sudah dewasa dari segi lahiriah maka
keduanya ditunggu sampai berusia 15 tahun.
Menurut pendapat Abu
Yusuf dan Muhammad L. Hasan menentukan usia dewasa bagi laki-laki 18 tahun dan
bagi perempuan 17 tahun. Mereka berdua juga berhujjah dengan firman Allah SWT
di atas. Menurut mereka lafaz اشد yang
diterjemahkan dengan dewasa dimaksudkan dengan umur 18 tahun karena usia
tersebut dianggap telah matang dari segi kematangan fisik dan psikis.
B. Pertanggung jawaban Pidana
Suatu perbuatan tidak
dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada ketentuan Undang-undang
yang melarang suatu perbuatan dan pelanggaran dari ketentuan Undang-undang
tersebut berakibat pada pelaku tindak pidana untuk diminta pertanggungjawabannya.
Adapun pengertian
pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan terhadap
seseorang atas suatu perbuatan yang telah dilarang yang ia kerjakan dengan
kemauan sendiri dan ia sadar akibat dari perbuatannya itu.
Adapun pelaku tindak
pidana dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi syarat adanya
perbuatan yang dilarang, dikerjakan dengan kemauannya sendiri dan pelakunya
mengetahui akibat dari perbuatan tersebut.
Pelanggaran atau
kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak berbuat.
Pelaku jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat dipersalahkan.
Setiap perbuatan pidana
atau peristiwa pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum,
perbuatan tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan
perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum. Lebih
lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya apabila
pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak. Dalam arti
pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan keasadaran yang
penuh.
Unsur-unsur jarimah
dalam hukum pidana Islam, yaitu: Adanya nas yang melarang dan mengancam
perbuatan itu
1. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah
2. Si perbuat adalah mukallaf
Pada dasarnya orang
yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada yang di antaranya tidak dihukum
karena mabuk, gila dan belum dewasa.
Dalam syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf
ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu
memahami nas-nas hukum yang dibebankan al-Qur’an dan sunnah baik langsung
maupun yang melalui perantara.
2.
Sang mukallaf harus
orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya,
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
apa yang telah di paparkan di atas , dapat kita mengambil kesimpulan bahwasanya
setiap hukuman baik itu yang telah di tetapkan langsung oleh ALLAH atau oleh
pemerintah. Kita harus menerima dan melaksanakannya dengan berlapang hati.
Karna setiap hukuman yang telah di tetapkan pazti mempunyai hikmahnya dan
keadilan.
0 komentar:
Posting Komentar