Mandailing Dua Makna (Menyingkap Arti dalam Kata Mandailing)
Sumber: banuamandailing.blogspot.co.id
Kata Mandailing
mempunyai dua makna (arti). Pertama sebagai kesatuan budaya, maka Mandailing
adalah nama suatu etnis (suku bangsa). Kedua, sebagai kesatuan wilayah
di Propinsi Sumatra Utara. Wilayah Mandailing terletak di Kabupaten Mandailing-Natal.
Sebelum tahun 1992, wilayah ini terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Batas-batas wilayahnya di sebelah utara dengan Kecamatan Angkola (Simarongit, Desa Sihepeng) dan dengan Padang Bolak (Rudang Sinabur). Ke arah barat berbatasan dengan wilayah Natal (Lingga Bayu), sementara ke arah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman (Ranjo Batu),
Propinsi Sumatra Barat. Perbatasannya ke arah timur berada di wilayah
Barumun.
Sejak lama wilayah Mandailing dibagi atas dua sub-wilayah yaitu
Mandailing Godang (Groot Mandailing) mulai dari Aek Badak dekat Sihepeng sampai ke Maga terus ke Tapus (Batang Natal) dan Mandailing Julu (Klein Mandailing) mulai
dari Laru sampai ke Botung. Jika dilihat peta Mandailing tahun 1856
masih ada dua wilayah lagi yaitu Ulu di Muara Sipongi dan Pakantan. Pada
masa sebelum kemerdekaan, raja-raja di Mandailing Godang umumnya
bermarga Nasution dan di Mandailing Julu bermarga Lubis. Fakta ini menegaskan bahwa Mandailing dapat dilihat dari dua pengertian yaitu sebagai suku-bangsa dan wilayah geografis.
Gunung berapi yang masih aktif Gunung Sorik Marapi berada di perbatasan antara Mandailing Godang dan Mandailing Julu.
Gunung Sorik Marapi |
Posisi Kab. Mandailing Natal (warna merah) di Prop. Sumatra Utara |
Asal usul kata Mandailing banyak diperdebatkan, namun didominasi oleh dua pendapat. Berasal dari Mande Hilang (artinya ibu yang hilang, Minangkabau) dan Mandala Holing, sebuah
nama kerajaan yang telah ada sejak abad ke-12, terbentang dari Portibi
di Padang Lawas sampai ke Pidoli di Panyabungan. Dokumentasi sejarah
Mandailing memang sulit diperoleh karena sekalipun ada warisan aksara
tradisional, surat tulak-tulak dan kitab pustaha, namun pustaha lebih banyak berisi tentang pengobatan tradisional, ilmu gaib bahkan ramalan mimpi (the interpretation of dream). Sejarah Mandailing justru lebih banyak diketahui dari Buku Kakawin Negarakertagama (Nagara Kretagama) atau Desawarnana
yang ditulis oleh Pujangga Majapahit Mpu Prapanca (Rakawi Prapanca).
Ia mencatat bahwa pada tahun 1287 Saka (1365 Masehi) prajurit Majapahit
menyebutkan ada wilayah yang bernama Mandahiling. Kata Mandahiling ditemukan pada syair ke-13 yang berbunyi:
Naskah Nagara Kretagama |
“Lwir ning nusa pranusa pramukha sakahawat/
ksoni ri Malayu nan jambi mwan palembang
karitang i teba len/ Dharmacraya tumut, kandis
kahwas manankabwa ro siyak i rkan/ Kampar
mwan i pane, kampe harw athawe
mandahiling i tumihan parilak/ mwan i barat"
Selain kedua pendapat tadi nama Mandailing juga tertulis pada Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar, sebuah buku kesusasteraan Toba klasik. Namun fakta pada Naskah Negarakertagama yang dibuat pada era Kerajaan Majapahit (1350-1389) jauh lebih memberikan jawaban terhadap asal usul bangsa Mandailing. Lebih jauh lihat tulisan Zulkifli B. Lubis tentang Revitalisasi Kebudayaan Mandailing.
Perlu dicatat bahwa UNESCO, sebuah badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan telah menetapkan Naskah Negarakertagama sebagai Daftar Ingatan Dunia (Memory of World) bersama dengan Babad Diponegoro, sejak 20 Juni 2013 pada sidang yang diadakan di Korea Selatan. Sebelumnya naskah ini sejak 2005 diterima UNESCO sebagai MOW untuk Asia Pasifik. Naskah Negarakertagama sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta dan di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde), Belanda. Naskah Negarakertagama ditemukan oleh seorang sarjana Belanda Dr. J. Brandes di istana Cakranegara Lombok sebelum istana itu dibakar oleh tentara Belanda (1893). Pada tahun 1974 naskah itu dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia.
Asal usul suatu kelompok dapat juga dilihat dari tarombo (silsilah) marga mereka. Marga Nasution (dari nenek-moyang bernama Si Baroar) dan Lubis (dari nenek-moyang bernama Namora Pande Bosi) adalah marga dengan jumlah "pengikut" terbesar. Masyarakat Mandailing menurunkan marga berdasarkan marga ayahnya (patrilineal). Selain marga Lubis, Namora Pande Bosi juga mempunyai keturunan yang kemudian memakai marga Pulungan dan Harahap. Marga-marga lain yang dikenal di Mandailing adalah: Rangkuti dan Parinduri (memiliki nenek-moyang yang sama, Mangaraja Sutan Pane), Matondang dan Daulae (memiliki nenek-moyang yang sama, Parmato Sopiak) dan Batubara dari nenek-moyangnya, Bitcu Raya. Selain itu dikenal juga: Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Tanjung dan Lintang.
ksoni ri Malayu nan jambi mwan palembang
karitang i teba len/ Dharmacraya tumut, kandis
kahwas manankabwa ro siyak i rkan/ Kampar
mwan i pane, kampe harw athawe
mandahiling i tumihan parilak/ mwan i barat"
Selain kedua pendapat tadi nama Mandailing juga tertulis pada Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar, sebuah buku kesusasteraan Toba klasik. Namun fakta pada Naskah Negarakertagama yang dibuat pada era Kerajaan Majapahit (1350-1389) jauh lebih memberikan jawaban terhadap asal usul bangsa Mandailing. Lebih jauh lihat tulisan Zulkifli B. Lubis tentang Revitalisasi Kebudayaan Mandailing.
Perlu dicatat bahwa UNESCO, sebuah badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan telah menetapkan Naskah Negarakertagama sebagai Daftar Ingatan Dunia (Memory of World) bersama dengan Babad Diponegoro, sejak 20 Juni 2013 pada sidang yang diadakan di Korea Selatan. Sebelumnya naskah ini sejak 2005 diterima UNESCO sebagai MOW untuk Asia Pasifik. Naskah Negarakertagama sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta dan di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde), Belanda. Naskah Negarakertagama ditemukan oleh seorang sarjana Belanda Dr. J. Brandes di istana Cakranegara Lombok sebelum istana itu dibakar oleh tentara Belanda (1893). Pada tahun 1974 naskah itu dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia.
Asal usul suatu kelompok dapat juga dilihat dari tarombo (silsilah) marga mereka. Marga Nasution (dari nenek-moyang bernama Si Baroar) dan Lubis (dari nenek-moyang bernama Namora Pande Bosi) adalah marga dengan jumlah "pengikut" terbesar. Masyarakat Mandailing menurunkan marga berdasarkan marga ayahnya (patrilineal). Selain marga Lubis, Namora Pande Bosi juga mempunyai keturunan yang kemudian memakai marga Pulungan dan Harahap. Marga-marga lain yang dikenal di Mandailing adalah: Rangkuti dan Parinduri (memiliki nenek-moyang yang sama, Mangaraja Sutan Pane), Matondang dan Daulae (memiliki nenek-moyang yang sama, Parmato Sopiak) dan Batubara dari nenek-moyangnya, Bitcu Raya. Selain itu dikenal juga: Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Tanjung dan Lintang.
Cukup menarik bahwa di Mandailing terdapat Suku Lubu atau dikenal dengan orang (Alak) Siladang. Mereka tinggal di bagian selatan Panyabungan . Sementara di Muarasipongi tinggal Suku Ulu (Alak Muarasipongi) Dahulu
mereka dipandang sebagai suku terasing dengan bahasa yang berbeda
dengan bahasa Mandailing dan memiliki raja sendiri pada masa lalu.
Mandailing Julu berhawa sejuk dikelilingi oleh gunung. Aek Batang Gadis dan Aek Pungkut adalah dua sungai yang mengalir dari hulu yang sama (Gunung Kulabu) dan bertemu kembali di Muara Pungkut, selanjutnya memakai nama Aek Batang Gadis yang bermuara ke Singkuang, Lautan Hindia di pantai barat Sumatra. Kotanopan adalah kota kecil yang dianggap sebagai pusat Mandailing Julu. Persawahan banyak ditemui di sepanjang lereng gunung dan di tepi sungai, namun luasnya kurang memadai dibanding dengan areal persawahan di Mandailing Godang. Hawanya yang sejuk sangat sesuai untuk tanaman kopi.
Mandailing Julu berhawa sejuk dikelilingi oleh gunung. Aek Batang Gadis dan Aek Pungkut adalah dua sungai yang mengalir dari hulu yang sama (Gunung Kulabu) dan bertemu kembali di Muara Pungkut, selanjutnya memakai nama Aek Batang Gadis yang bermuara ke Singkuang, Lautan Hindia di pantai barat Sumatra. Kotanopan adalah kota kecil yang dianggap sebagai pusat Mandailing Julu. Persawahan banyak ditemui di sepanjang lereng gunung dan di tepi sungai, namun luasnya kurang memadai dibanding dengan areal persawahan di Mandailing Godang. Hawanya yang sejuk sangat sesuai untuk tanaman kopi.
0 komentar:
Posting Komentar