Sepucuk Surat untuk Ayah
Karya: Mustopa Kamal Btr
Pekanbaru,
12 November 2015
Kepada
yang luar biasa,
Ayah
di kampung
Assalaamu
‘Alaikum Wr. Wb...
Sebelumnya ananda mendoakan semoga ayah di kampung senantiasa
diberi Allah kesehatan dan umur panjang, agar suatu saat nanti kita bisa merasakan
kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.
Di sudut malam ini, kugoreskan pena di lembaran putih dengan
perasaan tidak menentu, ada perasaan bahagia karena aku bisa menyampaikan curahan
hati melalui surat kecil ini, ada juga perasaan was-was karena akhir-akhir ini
ayah selalu hadir dalam alam bawah sadarku. Tapi Yah, itu mungkin hanya sekedar
halusinasiku.
Ayah. Tahukah ayah, ini adalah surat pertamaku, yang khusus aku persembahkan sebagai tanda cinta dan rindu. Apakah ayah tahu juga, ketika
menulis surat ini aku berusaha menahan linangan air mata, paling tidak sampai
aku selesaikan tulisan ini. Tapi mata ini berontak Yah, akhirnya air
kubiarkan mengalir menganak sungai meluap melewati sudut pandangan.
Ayah. Engkaulah satu-satunya lelaki yang mencintaiku tanpa
syarat, yang setia menjaga dan menuntunku sepanjang hayat. Engkau yang
mengingatkan ketika aku terlupa, engkau yang yang mensehati ketika aku tersalah
dan engkaulah yang selalu menghiburku di waktu gundah.
Masih teringat jelas dalam rekaman ingatanku momen-momen
indah dulu. Saat adzan shubuh berkumandang, engkau selalu menuntunku tuk
tunaikan kewajiban kepada tuhan. Saat senja menyapa alam aku selalu kau dudukkan
di pangkuanmu sembari kau ajariku lantunan ayat-ayat tuhan. Saat malam
menjelang engkau selalu menemaniku dan menceritakan dongeng sampai aku terlelap
lugu. Ayah, semua kenangan indah itu terasa baru saja berlalu dan masih tampak
nyata dalam bingkai rinduku. Aku yakin ayah juga masih mengingat hari-hari
indah yang tak terlupakan itu.
Ayah. Maafkan kenakalanku yang dulu, yang terlalu egois dan
bertindak sesuka hati karena keinginanku yang tidak ayah turuti. Di saat itu
aku iri kepada teman-teman yang lain, ketika melihat mereka dibelikan mainan
oleh ayahnya, sedang aku tidak. Tapi sekarang aku telah sadari ayah, bahwa
kehidupan kita tidak sama dengan teman-temanku itu. Orangtuanya pegawai
berdasi, sedangkan kita hanyalah buruh kehidupan yang selalu merajut asa di
atas lahan orang. Mungkin itulah sebabnya, ayah tidak bisa mengabulkan semua
keinginanku yang berlebihan ketika itu. Sekali lagi maafkan anakmu yang nakal
ini ayah, karena pada saat itu aku belum paham akan arti sebuah kehidupan.
Ayah. Aku sangat mengagumi pengorbanan dan perjuanganmu.
Setiap hari engkau selalu banting tulang. Di pagi buta, ketika semua orang
masih terlelap dalam buaian tidur, engkau sudah bersiap-siap menuju ladang
harapan, dengan penuh asa engkau hentakkan kaki meninggalkan rumah, demi
mencari sesuap nasi tuk penyambung nyawa dalam hidup ini.
Ayah. Kini aku telah dewasa, sedang berlari mengejar
cita-cita. Tahukah ayah, anakmu ini akan selalu bersungguh-sungguh dalam
menyelami lautan ilmu di sudut kota bertuah ini. Yah, tidak jarang pula badan
ini bermandikan keringat untuk mencari uang kuliah ketika libur tiba. Biarlah
aku rasakan tanggung jawab yang pernah ayah pikul, asal beban di pundak ayah tidak
semakin bertambah.
Ayah, aku ingin suatu saat nanti bisa melihat ayah
tersenyum bahagia ketika melihatku memakai toga wisuda. Hari ini juga telah aku
buktikan Yah, bahwa anak seorang buruh kehidupan juga bisa mengenyam bangku
perkuliahan. Walaupun dulu semua orang kampung berkata kepadaku mustahil bisa
sekolah tinggi, berkat motivasi ayah aku bisa menjadi manusia yang tegar dalam
melewati semak belukar.
Ayah. aku tahu keringatmu di kampung sedang menantikan
keberhasilanku. Terimakasih Yah, atas semua perjuangan dan pengorbanan yang
telah engkau persembahkan bagiku. Terakhir terucap salam cinta dan doa dari
anakmu yang sedang melayari samudera ilmu di rantau. Semoga ayah selalu dalam
lindungan Allah dan diberikan kekuatan oleh-Nya, agar suatu saat nanti kita
bertemu dan bisa merasakan kebahagiaan hidup bersama-sama.
Anakmu
tercinta
0 komentar:
Posting Komentar