Surat Kecil untuk Bunda
Oleh: Putra Bange (Nama Pena
Mustopa Kamal Btr)
Gadis
berambut panjang itu sedang merenung di sudut malam. Di dalam kamar kos, ia teringat
kampung halamannya. Ia terngiang kasih sayang keluarganya. Ia terbayang masakan
bundanya. Ia merasa baru saja kemarin sore bercanda dengan keluarga kecilnya di
kampung, namun sekarang ia sudah berada di kota Pekanbaru untuk merajut sebuah
cita-cita.
Wardah,
demikian nama panggilannya. Beberapa hari ini ia terlihat murung. Rasa rindu
yang sedang menghantui batinnya semakin membuncah karena gadis yang baru resmi
jadi mahasiswa ini sebelumnya tidaklah pernah jauh dari keluarga.
“Wardah
kenapa ?” ujar Nur, kakak kosnya.
“Wardah
teringat sama bunda di kampung kak”
“O.
Kangen itu hal yang wajar, apalagi Wardah baru saja jadi mahasiswa. Yang
penting Wardah jangan lupa berdoa untuk orangtua agar diberikan kesehatan dan
umur panjang. Wardah harus percaya, suatu saat nanti kita akan berkumpul lagi
dengan keluarga di kampung”
“Iya
kak”
“Kakak
tidur duluan ya”
Wardah
belum bisa tidur. Siluet keluarga masih tergambar jelas dalam benaknya, terlebih-lebih
seorang bunda yang selalu siap berkorban disaat ia sedang membutuhkan. Gadis
nan jelita itu mengambil secarik kertas. Ia tuangkan semua hasrat hati yang
sedang menghantui pikirannya.
Pekanbaru,
15 September 2015
Kepada
yang tercinta,
Bunda
di kampung halaman.
Assalaamu
‘Alaikum Wr. Wb.....
Apa kabar bunda di sana ?. Wardah mendoakan semoga bunda
senantiasa diberi kesehatan oleh Allah, agar suatu saat nanti bunda bisa
melihat putri bunda ini memakai toga ketika wisuda. Wardah goreskan pena di
lembaran putih nan mungil ini dengan diselimuti rasa rindu. Tahukah bunda, surat
kecil ini Wardah tulis dengan tinta linangan air mata, karena mengingat
kesalahan yang pernah Wardah perbuat dulu selama di kampung.
Bunda
Engkaulah satu-satunya wanita yang mencintaiku tanpa syarat,
yang selalu setia menjaga dan menuntunku setiap saat. Semua pengorbanan yang
telah bunda berikan takkan hilang ditelan zaman. Kasih sayang yang telah bunda
persembahkan akan terlukis indah di langit biru. Bunda, walaupun saat ini kita
sedang dipisahkan oleh jarak dan waktu namun kasih sayang dan doa yang bunda
panjatkan, selalu Wardah rasakan di setiap getaran nafas ini.
.
Bundaku
sayang
Sembilan bulan engkau mengandungku, di dalam lautan rahim
kasih sayang. Rasa sakit bunda tanggungkan, rasa perih bunda tahankan, asalkan anakmu
ini bisa menatap indahnya dunia. Bunda pertaruhkan nyawa disaat melahirkanku, bunda
pasrahkan diri terhadap takdir yang kuasa. Bunda sambut aku dengan senyum manis
ketika baru pertama kali hadir ke dunia, tapi senyum manis itu Wardah balas
dengan tangisan yang sangat memekakkan telinga, betapa egoisnya putrimu yang
tidak tahu diri ini bunda.
Si kecil nan imut perlahan-lahan tumbuh menjadi anak nan
lugu, bermain-main di halaman rumah penuh keceriaan tanpa sedikitpun merasakan
beban hidup yang sedang bunda pikul. Senyum indah selalu terpancar dari sudut
pipi ketika Wardah tumbuh menjadi seorang remaja. Si remaja ini terkadang sudah
tidak tahu terima kasih lagi karena sering menyusahkan sang bunda bahkan sering
melawan jika keinginannya tidak dituruti. Kini Wardah sudah dewasa bunda, Wardah
telah menyadari akan arti dari sebuah kehidupan ini, sekarang juga Wardah sudah
tahu tentang beban hidup yang selama ini bunda tanggungkan.
Bunda maafkan kesalahan Wardah selama ini. Dulu Wardah
sering tidak menghiraukan nasehat bunda. Sering membuat risau hati bunda. Sering
tidak minta izin ketika Wardah bermain ke rumah teman. Sering melawan jika
keinginan Wardah yang terlalu berlebihan tidak dituruti, bahkan sering
meninggalkan bunda ketika sakit, demi acara yang tidak jelas yang sebenarnya
bisa wardah tinggalakan. Mungkin Wardah adalah anak yang tidak tahu diri pada
saat itu karena tidak bisa menemani bunda seutuhnya. Sekali lagi maafkan putrimu
yang nakal ini bunda.
Bunda, semua kenangan indah dulu masih terngiang jelas di
benak Wardah. Saat adzan berkumandang, bunda selalu menuntun wardah tuk tunaikan
kewajiban kepada tuhan. Saat gelap menyapa senja, bunda ajari Wardah membaca
kalam Ilahi. Saat malam semakin kelam, bunda selalu bersedia mendengarkan semua
keluh-kesah Wardah. Bunda, semua kenangan manis itu terasa baru saja berlalu
dan masih tampak nyata dalam bingkai rinduku. Wardah percaya bunda juga tidak
akan melupakan kenangan itu.
Bundaku
sayang
Sekarang Wardah perlahan bisa berdiri tegar seperti yang
telah bunda ajarkan dulu, namun hati ini tetap rapuh jika Wardah mengingat
semua pengorbanan bunda selama ini. Bunda, maafkan anakmu ini jika kadang Wardah
lupa menanyakan kabar bunda dan maafkan Wardah jika saat ini belum bisa kembali
ke pelukan bunda karena kaki ini masih terus melangkah tuk meraih asa dan
mengejar cita-cita.
Melalui surat kecil ini, ananda ingin mengucapkan ribuan terimakasih
kepada bunda. Terima kasih atas cinta bunda yang begitu tulus. Terima kasih
atas kasih sayang bunda yang melebihi dari lembutnya sutera. Terima kasih atas
segala pengorbanan dan perjuangan bunda dalam membesarkan Wardah. Andai seluruh
dunia berada dalam genggamanku, akan Wardah persembahkan seluruh isinya untuk
bunda, ingin Wardah tumpahkan semua airmata ini dan bersimpuh di bawah kaki
bunda.
Bundaku
sayang
Entah harus bagaimana Wardah
membalas semua jasa-jasa yang telah bunda berikan. Wardah tidaklah mempunyai
nyawa yang kuat seperti saat bunda melahirkanku ke dunia ini. Hanyalah untai
doa yang bisa Wardah panjatkan kepada Allah semoga bunda diberikan kebahagiaan
dunia dan akhirat. Semoga dengan untaian kata yang Wardah tulis dalam surat
kecil ini, dapat mengobati rasa rindu kita semua.
Terakhir terucap salam rindu dari Wardah
yang sedang melayari samudera ilmu di kota bertuah. Semoga bunda selalu dalam
lindungan Allah dan diberikan kekuatan oleh-Nya, agar suatu hari nanti kita
bisa bertemu dalam kisah kebahagiaan hidup di dunia.
Anakmu
tercinta.
Siti
Wardah
Gadis itu terlihat memberi amplop kepada seorang lelaki yang
sedang berdiri di samping bus berwarna biru tua. Amplop yang berisikan surat
itu Wardah titipkan dengan perasaan terharu. Ia berharap, surat kecil yang ia
tulis itu bisa sampai secepatnya ke tangan sang bunda.
“Alamatnya di dusun satu desa Bange Pak. Pas di samping
rumah saudagar besar itu Pak” ujar Wardah kepada sang sopir bus.
“Baik Dek. Akan saya usahakan sampai secepat mungkin” jawab
sang sopir memegang amanah.
“Terimakasih banyak Pak”
Perempuan paruhbaya itu menitikkan airmata ketika membaca
surat yang dikirimkan putrinya. Ia terharu membacanya. Ia merasa iba melihat
jantung hatinya itu hidup sebatang kara di rantau orang. Ia hanya bisa diam
seribu bahasa.
“Bunda kenapa ?” tiba-tiba Evi, putri bungsunya menghampiri.
“Ini ada surat dari kakakmu, Wardah”
“Emang kak Wardah kenapa bunda ?”
“Kak Wardah katanya kangen”
“O. Evi juga kangen sama kakak”
Gadis itu merasa lega setelah membaca balasan surat bundanya
dari kampung. Semangat hidupnya kembali pulih. Ia seolah baru saja sembuh
setelah sekian lama jatuh sakit. Ia semakin gigih tuk belajar. Ia semakin kuat
tuk meraih impian besarnya agar kelak ia bisa membawa sebongkah kebahagiaan tuk
keluarganya di kampung.
0 komentar:
Posting Komentar