Pertemuan Terakhir dengan Emak
Oleh: Mustopa Kamal Btr
Sore nan indah di bawah lintasan pelangi. Burung-burung bernyanyi di ranting pohon
nan rindang. Dedaunan menari mengikuti tiupan angin. Dari sebuah rumah kecil beralaskan tanah, aku memandang lukisan alam, maha karya sang
pencipta kehidupan.
“Rahmat, semua barang yang mau dibawa
nanti sudah dikemas Nak?” tiba-tiba sahut emak dari dapur.
“Sudah Mak, semuanya
sudah dikemas tadi” jawabku dengan polos.
Malam ini aku akan meninggalkan kampung halaman menuju kota metropolitan, Jakarta. Tempat yang aku harapkan
bisa mengubah nasibku menjadi lebih baik. Aku terpaksa pergi merantau karena tidak mampu
lagi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Gemerlap bintang dan rembulan turut menemani keberangkatanku di malam ini. Bus berwarna biru tua sudah memperlihatkan wujudnya dari
kejauhan. Tiba-tiba
tetesan hujan mengalir dari
sudut mata emak. Emak
terlihat sangat sedih
sekali ketika melepas kepergianku. Air mataku juga tidak kalah tumpah-ruah ketika memeluk emak
untuk berpamitan.
“Rahmat pamit Mak, emak jangan lupa doakan Rahmat ”
“Iya Nak, emak takkan lupa mendoakanmu”
Bus yang aku tumpangi perlahan-lahan melaju meninggalkan Mandailing, kampung halaman yang telah setia jadi
saksi bisu menemani semua kisahku.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan,
akhirnya bus yang aku tumpangi sampai di Kota Jakarta, kota sejuta magnet, kota yang sering
dibicarakan orang-orang di kampungku. Tugu
monas terlihat menyempurnakan keindahan kota
metropolitan ini. Kota yang benar-benar mengagumkan bagi anak
kampung sepertiku.
Setelah berada di stasiun bus, paman menjemputku. Beliau bukanlah
paman kandungku, tetapi paman ini adalah sahabat karib dari almarhum ayah. Untuk
sementara aku tinggal di
rumah beliau, sebelum aku mendapat pekerjaan.
“Rahmat, selamat datang di Kota
Jakarta” ungkap paman.
“Iya Paman, terima
kasih atas sambutannya” jawabku.
“Barang-barangmu yang mana? biar
kita berangkat ke rumah”
“Yang ini Paman”
“Kita berangkat ke rumah sekarang ya”
“Baik Paman”
Pagi yang sangat cerah, namun tak secerah hatiku saat ini, yang
masih diselimuti kabut karena pekerjaan belum kunjung terlihat.
“Rahmat, pekerjaan sekarang
sangat susah di Jakarta ini, sudah genap satu bulan paman mencari pekerjaan
yang pas untuk Rahmat, tapi hasilnya belum ada. Bagaimana kalau kamu jadi
kernet angkot saja dulu?”
“Boleh juga Paman, kernet
angkot paman ya?”
“Bukan, kernet angkot teman paman. Kalau
kernet angkot paman kan masih ada Mat”
“Baik paman, Rahmat mau”
“Baiklah, Paman nanti akan
kabari teman itu dulu ya”
“Iya Paman”
Amarah mentari tidak membuat semangatku surut menjadi kernet angkot
di siang yang menyesakkan dada ini. Aku harus bersungguh-sungguh bekerja walaupun seribu rintangan
menghadang dari segala penjuru. Aku ingin
secepatnya melihat emak dan adik-adikku di kampung bahagia.
Belum genap dua minggu bekerja sebagai kernet angkot,
tiba-tiba teman paman itu dengan terpaksa memecatku. Ia mengatakan bahwa kernet
yang lama masih ingin tetap bekerja. Ia tersipu malu kepadaku, ia benar-benar
minta maaf, aku pun memakluminya.
Dengan hati yang sabar, kupasrahkan
semua takdir kepada Sang Maha Kuasa. Aku
yakin dibalik semua peristiwa ini pasti ada hikmahnya.
Belum sembuh luka di dada, tiba-tiba bumi runtuh menimpa. Paman
mengusirku dari rumah dengan alasan tetangga sebelahnya meminta aku pergi dari
sini. Kata paman, orang kaya tersebut tidak mau melihat aku dekat dengan Lia, putrinya.
Padahal Lia yang selalu berusaha mendekatiku. Hidupku luntang-lantung di jantung kota metropolitan ini.
Tiba-tiba
aku teringat dengan seorang sahabatku bernama Sabil, ia kuliah di Jakarta ini. Sabil adalah
sahabat karibku ketika SMP dulu. Aku langsung
menelepon Sabil. Alhamdulillah nomornya
masih aktif.
“Assalamu Alaikum. Benar
ini Sabil?”
“Walaikum salam. Iya benar, ini siapa ya?”
“Ini Rahmat Bil, teman satu SMP mu dulu”
“O.. Rahmat, bagaimana kabarmu Mat?”
“Alhamdulillah baik Bil. Kamu baik juga kan Bil?”
“Alhamdulillah baik Mat”
“Bil
gini, aku
sekarang lagi di Jakarta. Ceritanya
sangat panjang Bil, nanti
aku ceritakan. Bil kalau tidak
keberatan, apa kamu bisa jemput aku sekarang di monas?”
“Oo… baik
Bil, tunggu di sana biar aku jemput”
Lintasan pelangi menambah indahnya sore di
tempat kos Sabil. Mentari mulai kembali tersenyum di peraduannya. Aku sangat
berterima kasih kepada Sabil, atas semua kebaikan hatinya. Aku tidak tahu lagi
mau mengucapkan apa kepada Sabil karena ia juga telah meminjamkan aku uang
sebagai modal usaha. Aku sangat senang sekali, aku berjanji kepada Sabil akan
menggunakan uang yang ia pinjamkan itu sebaik mungkin.
“Bil, terima kasih ya atas semua bantuannya”
“Biasa ajalah Mat, kita sebagai manusia kan harus saling tolong
menolong, gak usah sungkan-sungkan sama sahabat
sendiri”
Dengan modal uang yang dipinjamkan
Sabil, aku sekarang bisa membuka usaha percetakan dan pembuatan
spanduk. Bermodal kemahiran yang aku miliki sewaktu SMK di kampung, Alhamdulillah
aku kembali berhadapan dengan pekerjaan yang butuh ketelatenan ini.
Mentari
benar-benar memperlihatkan rona keindahannya di tengah gersangnya kehidupan Kota
Jakarta. Usaha percetakan dan pembuatan spanduk
yang aku bangun, setiap hari semakin memperlihatkan kemajuan. Kini usaha yang aku rintis ini telah mempekerjakan
lebih dari tiga ratus karyawan.
Karena saat ini aku sudah mapan dari segi ekonomi, aku putuskan
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Walau bagaimanapun, menurutku pendidikan
adalah hal yang sangat penting dalam hidup ini. Akupun
kuliah di salah satu universitas
bergengsi di Kota Jakarta.
Waktu begitu cepat berlalu. Hari ini adalah hari yang sangat mengesankan bagiku. Hari
ketika aku resmi menyandang gelar sarjana pendidikan. Hari ketika aku akan diwisuda.
“Assalamu ‘alaikum Bang” terdengar suara seorang gadis setelah aku
mengangkat telepon yang ada di saku kananku.
“Walaikum salam”
“Bang, ini Nurul. Bang penyakit emak tiba-tiba
kambuh. Kami
tidak tau
lagi mau berbuat apa”
“Apa ?” tiba-tiba aku kaget tidak karuan.
“Iya Bang emak sekarang cuma bisa berbaring
di tempat tidur aja”
“Nurul sudah panggil dokter ?”
“Sudah bang, dokter sudah ada di rumah. Abang
bisa gak
pulang secepatnya, soalnya emak manggil
nama abang juga”
“Oo,,, gimana ya, o abang coba tanyakan tiket pesawat dulu apa
masih ada yang akan berangkat ke sana, tunggu bentar ya, nanti abang telepon
lagi”
“Iya Bang”
Setelah aku sampai di kampung. Aku langsung masuk ke rumah dengan
perasaan tidak menentu.
Air mataku mengalir melebihi derasnya aliran sungai yang membentang di tanah Mandailing ini. Aku sangat prihatin dengan kondisi emak
yang yang hanya bisa berbaring. Kupegang tangan emak. Kukecup
kening emak. Akupun
minta maaf karena terlambat datang. Butiran-butiran air hujan terlihat mengalir
membasahi sudut mata emak, hujan
hari ini tidak seperti hujan biasanya.
Hujan hari ini memperlihatkan raut kebahagiaan dari sudut pipi emak. Mungkin
emak bahagia ketika melihat buah hatinya memakai baju
wisuda, yang belum sempat tadi aku lepas karena tergesa-gesa ingin ke kampung
untuk memeluk emak.
“Mak baju kehormatan wisuda ini
Rahmat persembahkan untuk emak. Emak cepat
sembuh ya”
“Iya nak, emak hari ini
sangat bahagia sekali melihat Rahmat telah sukses”
“Iya Mak,
rahmat sangat sayang sama emak”
“Rahmat. Kalau nanti emak
sudah tak ada lagi, jaga adik-adikmu ya Mak, sekolahkan mereka agar kelak
mereka menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama”
“Iya Mak”
Tiba-tiba suasana hening, butiran mutiara kata tidak terdengar lagi dari lisan
emak. Aku semakin tidak karuan. Lalu aku
bertanya kepada dokter kenapa emak tidak bicara lagi, dokterpun memeriksa emak.
“Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi Raajiun, Emakmu telah pergi
menghadap Sang Maha Kuasa, Rahmat” ucap dokter dengan perasaan terharu.
“Emak... jangan tinggalkan kami Mak…”
Air mataku mengalir membanjiri kampung yang begitu hening. Tangisan
alam turut mengantarkan kepergian emak
menghadap sang Maha Kuasa. Inilah
pertemuan terakhirku dengan orang yang paling aku cintai di dunia ini. Orang
yang begitu tulus mencintai dan membesarkanku. “Selamat jalan Mak, semoga
emak
tersenyum di surga”.
SELESAI
BIODATA PENULIS
Nama:
Mustopa Kamal Btr
TTL:
Bange, 28 Oktober 1992
HP: 0853 6369 9373 - 0877 6751 7060
Instagaram: @kamal_btr
Fb: Mustopa Kamal Btr
Twitter@mustopakamalBTR
Prestasi:
Juara
1 Cerdas Cermat Bhs. Indonesia (2005). Juara 3 siswa berprestasi (2004). Juara
1 cipta puisi (2012). Juara 3 baca puisi (2011). Juara 3 Syarhil Qur’an MTQ
se-kab. Madina-Sumut (2012). Juara 1 Syarhil Qur’an MTQ pesantren Musthafawiyah Purbabaru (2013). Juara 2 pidato Bahasa Indonesia Pekan Olahraga dan Seni
se-kab. Madina (2012). Juara 3 pidato Bahasa
Indonesia Ulang Tahun
1 Abad Pesantren Musthafawiyah.
Harapan 2 pidato Bahasa Arab se-kab. Madina (2012). Peserta festival Nasyid se-kab.
Madina (2013). Peserta Debat Bahasa Indonesia Se-Prop.Riau (2014). Harapan II Pidato Bahasa Indonesia Se-Prop. Riau (2014). Juara I Lomba Menulis Surat Untuk Rektor UIN Sultan Syarif Kasim
Riau (2014). Dan lain-lain.
Karya:
Jalan
Berduri (Cerbung). Takdir Cinta (Cerpen). Melayuku (Cerpen). MTQ Galau (Cerpen).
Jangan Paksa Aku Murtad (Cerpen). Sepotong Hati Untuk Tuhan (Cerpen)..
Pengorbanan Bunda (Puisi). UIN Suska Riau (Puisi). Cinta Terpendam (Puisi). Jeritan Rakyat Jelata (Puisi). Kreatif
menulis essai (Essai), Islam dan teroris (Opini). Dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar