BAB
I
A.
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya hukum berfungsi
untuk melindungi kepentingan manusia baik bersifat individu maupun kolektif.
Banyaknya jumlah manusia dan beragamnya kepentingan mereka tidak mustahil
menimbulkan pergeseran antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya
perlulah dilakukan perlindungan terhadap kepentingan tersebut untuk kehidupan
yang lebih baik. Perlindungan itu bisa dilakukan dengan membentuk suatu
peraturan atau kaidah dengan disertai sanksi yang bersifat mengikat dan
memaksa.
Sehubungan dengan itu, perlulah
kiranya membangun atau melakukan pembaharuan terhadap hukum khususnya
pembaharuan hukum pidana agar hukum tersebut tetap mempunyai wibawa. Pada
kajian mengenai membangun atau memperbaharui hukum bukan hanya memperbaharui
pasal-pasal yang kurang tepat diterapkan dengan keadaan sekarang, melainkan
juga harus dikaji secara komperhensif ide dasar dari pembentukan hukum yang
baru sehingga ketika diterapkan hukum tersebut tidak seperti tambal sulam.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah penulis diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan
diteliti adalah bagaimana sistem pemidanaan dalam Ketentuan Umum Konsep RUU
KUHP baru?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PEMIDANAAN
Secara singkat sistem pemidanaan
dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Hulsman
mengemukakan bahwa sistem pemidanaan adalah “aturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan”.[1] Sistem pemberian atau penjatuhan
pidana atau sistem pemidanaan itu dapat dilihat dari dua sudut, yaitu dari
sudut fungsional dan sudut substantif. Sudut fungsional terdiri dari hukum
pidana materil, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Sedangkan
dari sudut subtantif terdiri dari aturan umum dan aturan khusus.
1. Dari
sudut fungsional
Dilihat dari sudut
bekerjanya/berfungsinya/prosesnya, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionalisasi/operasional-isasi/kongkretisasi pidana. Dan atau keseluruhan
sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana
ditegakan atau dioperasionalkan secara kongkret sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum) pidana.
Dengan pengertian demikian, maka
sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri
dari subsistem hukum pidana materil/substantif, subsistem hukum pidana formal
dan subsistem hukum pelaksanaan pidana. Ketiga subsistem ini merupakan satu
kesatuan sitem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana
dioperasionalkan/ditegakan secara kongkret hanya dengan salah satu sub sistem
itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan sistem
pemidanaan fungsional atau sistem pemidanaan dalam arti luas.
2. Dari
sudut norma subtantif
Jika dilihat dari norma-norma
hukum pidana substantif, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan
sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan; atau keseluran
sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan
pelaksanaan pidana.[2]
Dengan pengertian demikian, maka
keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada dalam KUHP maupun
undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan
sistem pemidanaan yang terdiri dari aturan umum dan aturan khusus. Aturan umum terdapat
dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP
maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP. Dalam KUHP WvS terdiri dari
Tiga Buku yaitu Buku I tentang aturan umum, Buku II tentang Kejahatan dan Buku
III tentang pelanggaran sedangkan dalam Konsep RUU KUHP 2004 hanya terdiri dari
dua Buku saja yaitu Buku I tentang aturan umum dan Buku II tentang kejahatan.
Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini hanya membatasi pengertian sistem
pemidanaan dalam arti yang kedua yaitu sistem pemidanaan subtantif yang
terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang terdapat di dalam ketentuan umum Buku I
Konsep RUU KUHP 2004.
B. PEMBARUAN
PEMIDANAAN
Dalam sejarah panjang pembentukan
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KHUP) sudah
semenjak lama dibahas. Hingga kini, RUU KUHP belum juga diundangkan menjadi
undang-undang. Lamanya pembahasan dimungkinkan mengarahkan RUU KUHP menjadi
lebih sempurna atau masih terus-menerus disempurnakan seiring dengan banyaknya
kejahatan baru yang timbul. Sehingga ketika diberlakukan KUHP baru, ini dapat
menjadi acuan dalam pembuatan undang-undang khusus diluar KUHP atau sebagai
aturan umum jika tidak ada undang-undang khusus yang mengaturnya dan juga
dimungkin-kan sesuai dengan perkembangan hukum dan ilmu hukum yang
terjadi.
Ide dasar mengenai pokok pikiran
tentang konsep RUU KUHP dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional
untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/penggantian KUHP lama (Wetbook
van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
KUHP WvS sekarang ini dirasakan sudah kurang cocok untuk menjawab permasalahan
hukum yang ada. Serta perlunya pembenahan mengenai sistem pemidanaan di
Indonesia. Sehingga hukum itu dapat ditegakan berdasarkan keadilan. Untuk
menjamin tetap tegaknya keadilan, maka materi hukum nasional nantinya harus
disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa
dan bernegara bangsa Indonesia.
Upaya pembaharuan hukum pidana
termasuk dibidang penal policy merupakan bagian dan terkait
erat dengan law enforcement policy, criminal policy dan social
policy. Ini berarti pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum, untuk memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka
perlindungan masyarakat, untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan
dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional, serta upaya peninjauan kembali
pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosio-filosofik,
sosio-politik, dan sosio-kultur yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan
(penegakan) hukum pidana selama ini.
Bukanlah pembaharuan hukum pidana
apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan
orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajahan (KUHP WvS). Dengan
demikian, pembaharuan hukum pidana harus jauh lebih baik pengaturannya
dibandingkan KUHP WvS dan juga harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang berorientasi nilai.
Selama ini diketahui bahwa tindak
pidana dalam KUHP WvS hanya berada dalam tataran teori saja bukan dalam suatu
aturan umum, sehingga dalam penerapannya orang-orang akan merujuk pada
teori-teori yang ada. Maka dari pada itu, perlulah pengkajian terhadap sistem
pemidanaan dalam Ketentuan Umum Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana 2004 sebagai pembaharuan dalam hukum pidana
Indonesia.
Bambang Purnomo mengatakan
“perkembangan pembaharuan pidana dan pemidanaan saat itu telah memasuki era
baru dari konsep reaksi pemidanaan (punitive reactions) tumbuh ke arah
suatu modifikasi konsep reaksi pembinaan (treatment reactions)”.[4]
Akibat munculnya paradigma baru dalam pemidanaan tersebut, berkembang ide
individualisasi pemidanaan.
Barda Nawawi Arif berpendapat,
individual pemidanaan dibangun berdasarkan ide keseimbangan dalam pemidanaan, yaitu
mencakup empat hal berikut:
a.
Keseimbangan monodualistik antara kepentingan
umum atau masyarakat dengan kepentingan individu atau perorangan. Dalam ide
keseimbangan tersebut, kepentingan umum dan kepentingan individu tersebut
tercakup ide perlindungan/kepentingan korban, dan ide individualisasi
pemidanaan.
b.
Keseimbangan antara unsur objektif (yaitu
perbuatan atau lahiriah) dengan unsur subjektif (batiniah atau sikap batin),
dan ide daatdaader strafrecht.
c.
Keseimbangan antara kriteria formel dan
dengan materiel.
d.
Keseimbangan antara kepastian hukum dengan
kelenturan atau elastisitas atau fleksibelitas, dan keadilan.[3]
Sistem
Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum
Konsep
RUU KUHP 2004
Sebagaimana telah dikemukakan di
awal tadi, sistem pemidanaan ditujukan untuk mengambil langkah bagaimana
menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang melanggar aturan. Dalam hal
pembaharuan hukum pidana, Konsep RUU KUHP 2004 telah merancang mengenai sistem
pemidanaan sefokus mungkin yang sedikit berbeda dari KUHP WvS. Lebih jelasnya,
perhatikan tabel dibawah ini:
No
|
Buku I KUHP WvS
|
Buku I Konsep KUHP 2004
|
1.
|
BAB I. Tentang batas-batas
berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan
|
BAB I. ruang lingkup berlakunya
ketentuan peraturan perundang-undangan pidana
Bagian Kesatu: menurut waktu
Bagian Kedua: menurut tempat
Bagian Ketiga: waktu tindak
pidana
Bagian Keempat: tempat tindak
pidana
|
2.
|
BAB II. Tentang pidana
|
BAB II. Tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana
Bagian Kesatu: tindak pidana
Bagian Kedua: pertanggungjawaban
pidana
|
3.
|
BAB III. Tentang hal-hal yang
menghapuskan, mengu-rangkan, atau memperberat-kan pengenaan pidana
|
BAB III. Pemidanaan, pidana, dan
tindakan
Bagian Kesatu: pemidanaan
Bagian Kedua: pidana
Bagian Ketiga: tindakan
Bagian Keempat: pidana dan
tindakan bagi anak
Bagian kelima: faktor-faktor
yang memperingan dan memperberat pidana
Bagian keenam: perbarengan
|
4.
|
BAB IV. Tentang percobaan
|
BAB IV. Gugurnya kewenangan
penuntutan dan pelaksanaan pidana
Bagian kesatu: gugurnya
kewenangan penuntutan
Bagian kedua: gugurnya
kewenangan pelaksanaan pidana
|
5.
|
BAB V. tentang penyertaan dalam
melakukan perbuatan pidana
|
BAB V. pengertian istilah
|
6.
|
BAB VI. Tentang perbarengan (concursus)
|
BAB VI. Ketentuan penutup
|
7.
|
BAB VII. Tentang mengajukan dan
menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan–kejahatan yang hanya dituntut
atas pengaduan
|
|
8.
|
BAB VIII. Tentang hapusnya
kewenangan kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana
|
|
9.
|
BAB IX. Tentang arti beberapa
istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang
|
|
10.
|
Aturan Penutup
|
Dari tabel diatas, Buku I
KUHP WvS terdiri dari 9 (Sembilan) bab dan 1 (satu)
aturan penutup, sedangkan Konsep KUHP baru hanya terdiri dari 6 (enam) bab
saja. Perbedaan ini seakan menunjukan adanya fokus masalah pokok dalam hukum
pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah pertanggungjawaban pidana, serta
masalah pidana dan pemidanaan. Ini hanya terdapat dalam Konsep KUHP, sedangkan
KUHP WvS pengaturan masalah pokok hukum pidana tidak tersusun secara urut.
Adanya pemisahan sistem konsep
yang demikian bertolak dari pandangan dualistis yang memisahkan antara tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka dalam konsep juga membuat subbab
khusus tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan dalam
KUHP WvS tidak ada bab atau subbab yang mengatur tentang pertanggungjawaban
pidana (kesalahan). Adanya pemisahan tersebut, maka dalam Konsep KUHP juga
memisahkan ketentuan tentang alasan pembenar yang ditempatkan di subbab tindak
pidana dan alasan pemaaf ditempatkan dalam subbab pertanggungjawaban pidana.
Dalam Konsep KUHP baru, hukum pidana tidak hanya menitikberatkan pada perbuatan
dan akibat yang ditimbulkan saja yang dipengaruhi aliran klasik, namun juga
berorientasi pada orang atau kesalahan yang akan melakukan tindak pidana, yang
dipengaruhi oleh aliran modern.
Sebagaimana telah dipaparkan
diatas, terdapat tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Kesemua itu menunjukan
sistem pemidanaan yang harus dibangun sebagai pembaharuan dalam Konsep KUHP
baru. Sehingga apa yang dicita-citakan hukum untuk menegakan keadilan
setinggi-tingginya benar-benar bisa tercapai. Untuk lebih memahaminya, maka
akan dijelaskan satu persatu bagian tersebut.
1. Tindak
pidana
Bagian ini menjadi bagian baru,
yang biasanya strafbaar feit berada di dalam tataran teori, kini telah menjadi
normatif.
a) Dasar
patut dipidananya perbuatan
Untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan, ini berkaitan erat dengan sumber hukum atau landasan legalitas yang
menyatakan bahwa apakah perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana atau
bukanlah suatu tindak pidana, sebagaimana hal tersebut dalam KUHP saat ini.
Konsep KUHP juga tetap bertolak dari asas legalitas formal (bersumber pada
undang-undang), namun dalam konsep KUHP juga memberi tempat kepada hukum yang
hidup di dalam masyarakat yakni hukum adat yang bersifat tidak tertulis sebagai
sumber hukum diluar asas legalitas formal.
Dalam rumusan Pasal 11 RUU KUHP
untuk unsurnya dinyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, mempunyai sifat
melawan hukum atau bertentangang dengan kesadaran hukum masyarakat serta
dikecualikan adanya alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana tersebut.
b) Bentuk-bentuk
tindak pidana
Aturan pemidanaan dalam KUHP WvS
tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga
terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk percobaan, permufakatan
jahat, penyertaan, perbarengan (consurcus), dan pengulangan (resedive).
Hanya saja dalam KUHP WvS, permufakatan jahat dan resedive tidak
diatur dalam Aturan Umum Buku I, melainkan diatur dalam aturan khusus yaitu
Buku II dan Buku III.
Dalam konsep, semua bentuk tindak
pidana atau tahapan terjadinya/dilakukannya tindak pidana itu dimasukan dalam
ketentuan Umum Buku I, bahkan dalam Konsep RUU KUHP dimuat pula mengenai hal
“persiapan (preparation)” yang selama ini tidak diatur dalam KUHP.
Mengenai persiapan tersebut diatur dalam pasal tersendiri yakni pada Paragraf
Dua Pasal 13 dan Pasal 14.
Aturan umum pemufakatan jahat dan
persiapan dalam Buku I Konsep agak berbeda dengan percobaan, perbedaanya dapat
dilihat pada penentuan dapat dipidananya percobaan dan lamanya pidana
ditetapkan secara umum dalam Buku I, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Pidana pokoknya (maksimum/minimum) dikurangi sepertiga. Dan
penentuan dapat dipidananya pemufakatan jahat dan persiapan ditentukan secara
khusus/tegas dalam undang-undang (dalam perumusan tindak pidana yang
bersangkutan).
Aturan umum hanya menentukan
pengertian/batasan kapan dikatakan ada pemufakatan jahat atau persiapan dan
lamanya pidana pokok (yaitu dikurangi dua pertiga). Dalam Konsep, Pasal 13
mengenai persiapan dan Pasal 15 mengenai permufakatan jahat. Permufakatan jahat
yang dapat dipidana diatur dalam Pasal 230, Pasal 259 (1), Pasal 273, Pasal
296, Pasal 344 (2), pasal 391 (2), Pasal 480, Pasal 671 dan Pasal 719 (2). Dari
kesembilan pasal tersebut, ancaman pidananya menyimpang dari Ketentuan Umum
Buku I RUU KUHP. Ini berarti tidak ada satu delik permufakatan jahat pun yang
ditundukan pada aturan umum pemidanaan dalam Buku I RUU KUHP. Jika semua
menyimpang, tidak ada arti lagi Pasal Pasal 15 Buku I.
Pengulangan (recidive) juga
diatur secara umum dalam Buku I (sebagai alasan pemberatan pidana yang umum).
Jadi, berbeda dengan KUHP WvS, yang mengaturnya sebagai alasan
pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik tertentu (diatur dalam Buku II
dan III). Dikatakan ada pengulangan menurut Konsep (Pasal 2),
apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu lima tahun sejak:
(1) Menjalani
seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
(2) Pidana pokok
yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
(3) Kewajiban
menjalankan pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.
Pemberatan pidananya diatur dalam
Pasal 132, yaitu maksimumnya diperberat sepertiga. Namun, ketentuan Pasal 132
ini tidak berlaku untuk anak sebagaimana diatur dalam Pasal 112 Konsep RUU KUHP
yang melakukan pengulangan tindak pidana.
2. Pertanggungjawaban
pidana
Dalam Bab pertanggungjawaban
pidana (kesalahan), Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 35 ayat (1)
“asas tiada pidana tanpa kesalahan” yang dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini
merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan
secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas.
Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan
monodualistik.
Konsep tidak memandang kedua
asas/syarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu,
Konsep juga memberikan kemungkinan dalam hal tertentu untuk menerapkan asas “strict
liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian
maaf/pengampunan oleh hakim”. Karena Buku I menegaskan bahwa asas “strict
liability”, asas “vicarious liability” dimungkinkan untuk tindak
pidana tertentu (Lihat Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) Konsep), maka tindak
pidana atau hal tertentu itu ditentukan secara specifik dalam aturan khusus di
dalam Buku II KUHP atau undang-undang diluar KUHP. Dalam Buku II RUU KUHP,
ketentuan khusus itu belum terlihat. Oleh karenanya perlu dikaji ulang.
Asas mengenai pemberian
maaf/pengampunan tidak ditampatkan dalam Bab pertanggungjawaban pidana tetapi
di dalam Bab pemidanaan. Di dalam asas ini terkandung:
a. Menghindari
kekakuan/absolutisme pemidanaan;
b. Menyediaan
“klep/katup pengamanan”;
c. Bentuk
koreksi judisial terhadap asas legalitas;
d. Pengimplementasian/pengintegrasian
nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam pancasila;
e. Pengimplemantasian/pengintegrasian
tujuan pemidanaan ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan pemaafan/
pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); jadi syarat atau
justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” (asas
legalitas) dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan
pemidanaan”.[4]
Di samping itu, di dalam bab
pertanggungjawaban pidana ini Konsep juga mengatur tentang masalah
“kekurangmampuan bertanggung- jawab”, masalah “pertanggungjawaban terhadap
akibat yang tidak dituju/ tidak dikehendaki/tidak sengaja” (erfolgshaftung),
dan masalah “kesesatan” (error/dwaling/mistake), yang kesemuanya itu
tidak diatur di dalam KUHP saat ini. Pengaturanerfolgshaftung dan error di
dalam Konsep tidak berorientasi padapandangan tradisional/klasik, tetapi tetap
berorientasi pada asas kesalahan.
Karena masalah Pertanggungjawaban
pidana berhubungan juga dengan masalah subjek tindak pidana, maka di dalam Bab
pertanggungjawaban pidana ini ada pula dalam ketentuan tentang
subjek berupa “korporasi”, yang selama ini juga belum diatur dalam KUHP. Bentuk
pertanggungjawaban pidana ini dinamakan pertanggungjawaban fungsional yang
merupakan pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana dilakukan korporasi.
3. Pemidanaan
Masalah pemidanaan merupakan
masalah yang paling banyak disoroti masyarakat saat ini. Hal ini disebabkan
masalah pidana menjadi barometer keadilan dalam hukum pidana dan penegakan
hukum pidana. Oleh karena itu, perlulah kirannya ditinjau masalah pemidanaan
dari sudut tujuan dan pedoman pemidanaan serta ide dasar dari sistem
pemidanaan.
a. Tujuan
dan pedoman pemidanaan
Berbeda dengan KUHP WvS, di dalam
Konsep dirumuskan tentang tujuan dan pedoman pemidanaan. Dirumuskannya hal ini
bertolak dari pokok pemikiran bahwa:
1) Sistem
hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive system)
dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan.
2) Tujuan
pidana merupakan bagian integral (subsistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan
(sistem hukum pidana) disamping subsistem lainnya, yaitu tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan pidana.
3) Perumusan
tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi
pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar landasan filosofis,
rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan.
4) Secara
fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses
melalui tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan
judicial/judikatif), dan tahap eksekusi (kebijakan administratif/eksekutif).
Oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu
sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, dilakukan perumusan tujuan dan pedoman
pemidanaan.
b. Ide-ide
dasar sistem pemidanaan
Sistem pemidanaan yang dituangkan
di dalam Konsep dilaterbelakangi oleh ide dasar atau prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1) Ide
keseimbangan monodualisti antara kepentingan masyarakat (umum) dengan
kepentingan individu.
2) Ide
keseimbangan antara social welfare dan social defance.
3) Ide
keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku (individualisasi
pidana) dan korban (victim).
4) Ide
penggunaan “double track system ” (antara pidana/punishment dan
tindakan/treatment/measures).
5) Ide
mengefektifkan “noncustodial measures (alternative to imprisonment)”.
6) Ide
elastisitas/fleksibelitas pemidanaan.
7) Ide
modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (modification of sanction; the
alteration/annulment/revocation of sanction; redetermining of punishment).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Konsep
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Konsep RUU KUHP) 2004
terdiri dari dua buku yaitu Buku I mengenai Ketentuan Umum dan Buku II mengenai
Tindak Pidana. Hal ini berbeda dengan KUHP WvS yang mempunyai tiga buku yaitu
Buku I tentang Aturan Umum, Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang
Pelanggaran. Dalam Buku I Konsep RUU KUHP 2004 semula mengenai tindak pidana
hanya berada pada tataran teori saja namun sekarang sudah dimasukan menjadi
normatif. Kemudian adanya pemisahan antara tindak pidana dengan
pertanggungjawaban pidana. Dipisahkan antara
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, karena tindak pidana menyangkut
perbuatan sedangkan pertangungjawaban pidana menyangkut orangnya.
2. Dalam
Konsep RUU KUHP 2004, masih ditemukannya norma yang kabur khususnya mengenai
ancaman hukuman permufakatan jahat. Yang mana dalam Buku I Ketentuan Umum Pasal
15 ancaman pidananya sepertiga dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana
yang bersangkutan dan pidana tambahannya sama dengan tindak piana bersangkutan.
Namun di Buku II yang ada unsur permufakatan jahat, justru ancaman pidananya
menentukan lain yakni sesuai dengan ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan.
B. Saran
1. Dikenalnya
pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam Konsep RUU
KUHP bukanlah hal yang perlu dipertentangkan, kesemua itu untuk menegakan hukum
kearah yang lebih baik lagi. Namun sangat disayangkan sekali jika RUU KUHP baru
nantinya ketika disahkan tidak dibarengi dengan harmonisasi pembaharuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, maka perlulah
kiranya melakukan pembaharuan terhadap KUHAP sehingga ada keharmonisasian
antara KUHP dan KUHAP dalam menghadapi kejahatan dimasa yanga akan datang.
2. Tidaklah
menutup kemungkinan aturan yang dibuat dengan jangka waktu lama jauh lebih
sempurna dari aturan yang ada saat ini. Kepentingan politik tetap ada dalam
setiap pembuatan peraturan perundang-undangan. Seperti halnya Pasal 15 Konsep
RUU KUHP, yang dirasa kabur dalam hal mengenai ancaman pidana. Oleh karena itu,
sebelum disahkannya Konsep RUU KUHP 2004 menjadi UU maka perlu dilakukan kajian
mendalam lagi terhadap pasal-pasalnya dan mensingkronisasikan antarpasal
tersebut sehingga materi hukum pidana nasional dapat sesuai dengan politik
hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Barda Nawawi Arief. 2010. Kapita
Selekta Hukum Pidana. Cet. Kedua. Citra Aditya Bakti, Bandung.
______________. 2011 Pembaharuan
Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian dan Perbandinga.. Cet. Kedua.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Widodo. 2009. Sistem
Pemidanaan dalam Cyber Crime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana
Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime. Cet. Pertama. Laksbang Mediatama.
Yogyakarta.
Konsep Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2004.
[1] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta
Hukum Pidana, Cet. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 141.
[2]
Ibid hal. 261
[3]
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime:
Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber
Crime, Cet. Pertama, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009
[4]
Ibid hal. 274
0 komentar:
Posting Komentar