Makalah
muamalah
Istishna’
Editor:
Mustopa Kamal
Hukum Tata Negara
fakultas syariah dan hukum
UIN SUSKA RIAU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akad istishna’ merupakan produk lembaga
keuangan syariah, sehingga jual beli ini dapat dilakukan di lembaga keuangan
syariah. Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa
untuk nasabah, selain memberikan keuntungan kepada produsen juga memberikan
keuntungan kepada konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga
keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad
istishna lebih mungkin banyak digunakan di lembaga keuangan syariah dari pada
salam. Hal ini disebabkan karena barang yang dipesan oleh nasabahatau konsumen
lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu
dibandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang
sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan
terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang
mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi salah satu solusi untuk
mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian istishna’
2. Apa saja dasar hukum istisna
3. Hak dan kewajiban para pihak istishna’
4. Ilustrasi dialog
5. Isi kontrak istishna’
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian istishna’
2. Mengetahui dasar hukum istishna’
3. Mengetahui hak dan kewajiban para pihak
istishna’
4. Mengerti bagaimana dialog beristishna’
5. Mengetahui isi kontrak istishna’
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi
Rabbil ‘Alamin... puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yamg telah membentangkan
jalan keselamatan buat insan dan menerangi mereka dengan pelita yang terang
benderang. Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk buat
kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula, ucapan keselamatan
atas keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat.
Alhamdulillah
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan , saya
menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karna
itu saya sangat berterima kasih
apabila ada kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu
‘alaikum Wr. Wb.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTISHNA’
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar dari kata dasaristashna'a-yastashni'u (اتصنع
- يستصنع).
Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan,
meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1][1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan
ulama dari mazhab Hanafi, istishna' adalah (عقد
على مبيع في الذمة شرط فيه العمل). Artinya,sebuah akad
untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga
bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat
sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan
orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab
ini.[2][2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan
ulama mazhab Hambali menyebutkan (بيع
سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum)
dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna'
mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع
بالصنعة).[3][3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan
Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga
definisinya juga terkait, yaitu (الشيء
المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang
yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. [4][4]
Jadi secara sederhana, istishna'
boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan
seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak
ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga
yang disepakati antara keduanya.
B. PERBEDAAN PENDAPAT TERHADAP ISTISHNA'
Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam
permasalahan ini ke dalam beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 4/18, Al Inshaf oleh Al Murdawi 4/300, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185). Ulama' mazhab Hambali melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada
padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At
Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519
dan Ibnu Hazem)
Pada akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah
menjual barang yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan
persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam
hadits di atas. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al
Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna'
ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang
disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)
Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al Muqaddmat Al Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi 1/297, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 4/26.) Ulama' yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam.
Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al Muqaddmat Al Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi 1/297, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 4/26.) Ulama' yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam.
Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengkerjaan, dan jumlah upah.
Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadiroleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad'iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448)
C. RUKUN DAN SYARAT AKAD
ISTISHNA’
Berikut
ini adalah rukun dan syarat-syarat akad istishna’ :
1. Transaktor
Transaktor adalah pihak pemesan yang
diistilahkan denganmustashni' (المستصنع) sebagai pihak
pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan
atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
Kedua transaktor disyaratkan memiliki
kompetensi berupa akil baligh dan memiliki kemampuan untuk memilih yang optimal
seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa dan lain-lain yang sejenis. Adapun
dengan transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan
dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan penjual agar penjual
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah
disepakati. Penjual dibolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang
telah disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan
kesepakatan dan ia tidak boleh menunutut tambahan harga.
Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan
kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk menerima barang istishna’ dan
melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan istishna’. Akan tetapi,
sekiranya ada barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai
dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan
atau membatalkan akad.
2. Objek Istishna’
Barang yang diakadkan atau disebut
dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang
kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata
adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya
pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[5][10]
Namun menurut sebagian kalangan mazhab
Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang
mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang
kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.[6][11]
Syarat-syarat objek akad menurut Fatwa DSN MUI, yaitu :
a.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
b. Penyerahannya dilakukan kemudian.
c. Waktu dan tempat penyerahan barang
harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan
d. Pembeli (mustashni’) tidak
boleh menjual barang sebelum menerimanya.
e. Tidak boleh menukar barang, kecuali
dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
f. Memerlukan proses pembuatan setelah
akad disepakati
g. Barang yang diserahkan harus sesuai
dengan spesifikasi pemesan, bukan barang missal.
3. Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri.
Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk
membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban
dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan
haknya itu.
Pelafalan perjanjian dapat dilakukan
dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara), tindakan maupun tulisan,
bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan menunjukan keridhaan satu
pihak untuk menjual barang istishna’ dan pihak lain untuk membeli barang
istishna’. Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi[7][12] :
a. Kedua belah pihak setuju untuk
membatalkannya
b. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi
hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
Ø Berakhirnya
akad istishna
Kontrak
istishna bias berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
1. Dipenuhinya kewajiban secara normal
oleh kedua belah piahk,
2. Persetujuan bersama kedua belah pihak
untuk menghentikan kotrak
3. Pembatalan hokum kontrak ini jika
muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau
penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.
D. DASAR HUKUM ISTISHNA’
Akad istishna' adalah akad yang halal
dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma'
di kalangan muslimin.
Al-Quran
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبا
Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para
ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang
nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
As-Sunnah
عَنْأَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ
اللَّهِ ص كَانَأَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ
الْعَجَمَ لاَيَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا
مِنْفِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari
Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu
dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat
yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari
bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan
kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata
bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. [8][5]
Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada
dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma')
bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak
dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. [9][6]
Kaidah
Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di
setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah
dalam segala hal selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل
الدليل على التحريم
Hukum
asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan
keharamannya.
Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial
dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan
ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu
untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak
dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang
tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak
mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[10][7]
E. HAKEKAT AKAD ISTISHNA’
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat
tentang hakekat akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad
jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli,
atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah).[11][8] Sebagian lainnya menganggap sebagai 2
akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya
adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua selesai dari
pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual
beli.[12][9]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras
dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu
produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan
kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia
mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.
F. HAK dan KEWAJIBAN PIHAK ISTISHNA’
1. Pihak pertama dalam hal ini PENJUAL
wajib dan dengan ini menyetujui untuk memberikan ganti rugi kepada pihak kedua
dalam hal ini PEMBELI atas segala kerugian apabila terdapat cacat pada barang
pesanan sebagai kelalaian pihak pertama.
2. Pihak kedua dalam hal ini PEMBELI
wajib dan menyetujui untuk melakukan pembayaran cicilan kepada pihak pertama
dalam hal ini PENJUAL untuk membayar cicilan tepat waktu dan besaran cicilan, misalnya
sebesar Rp. 2.500.000/minggu selama dua bulan.
3. Pihak Pembeli mempunyai hak untuk
memperoleh jaminan dari penjual atas:
1. Jumlah yang telah
di bayarkan dan
2. Penyerahan
barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepatwaktu.
G. DIALOG BERISTISHNA’
Dialog beristishna’ sama halnya seperti
akad istishna’, akad istishna adalah akad jual beli dimana seorang pembeli
memesan suatu barang kepada prosuden
yang juga bertindak sebagai penjual, dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang di sepakati, dan harga barang tidak
dapat berubah selama jangka waktu akad dengan cara pembayarannya dapet berupa
pembayaran dimuka, cicilan, atau dapat ditangguhkan dalam jangka waktu
tertentu.
Begitu
akad disepakati, maka akan mengikat para pihak yang bersepakat dan pada dasarnya tidak dapat dibatalkan,
kecualimemenuhi kondisi:
1. Kedua belah pihak setuju untuk
menghentikannya, atau
2. Akad batal demi hukum karena timbul
kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
H. ISI KONTRAK
ISTISHNA’
CONTOH SURAT PERJANJIAN
SEWA – MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO)
Yang
bertanda tangan di bawah ini:
1.
Nama : Muhammad Idris
Umur
: 23 th
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Jalan Ahmad Yani Barat
Nomer
KTP / SIM : 3504016207930009
Telepon
: 082 345 678 001
Dalam
hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
2.
Nama : Nur Aini
Umur
: 21 th
Pekerjaan
: Penyanyi
Alamat
: Jalan Panglima Sudirman
Nomer
KTP / SIM : 3754016207930049
Telepon
: 087 745 678 021
Dalam
hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut +
PIHAK PERTAMA telah
setuju untuk menyewakan kepada PIHAK KEDUA tanah
berikut bangunan berupa rumah toko (ruko) berlantai [( 2 ) ( dua )] yang
berdiri di atasnya yang terletak di ( Jalan Kh.Wakhid Hasyim ) dengan luas
tanah [( 600 ) ( enam ratus)] meter persegi dengan sertifikat hak milik Nomer (
2.341.678.0045 ), gambar situasi Nomer ( 456.987 ) tanggal ( 22 oktober 2013 ).
Selanjutnya
kedua belah pihak telah bersepakat untuk mengadakan perjanjian yang tertulis
dalam 15 (lima belas) pasal, sebagai berikut:
Pasal
Pertama
Perjanjian
antar kedua belah pihak ini berlaku sah untuk jangka waktu [( ------ ) ( ---jumlah
dalam huruf --- )] tahun,
terhitung sejak tanggal ------ tanggal,
bulan, dan tahun ------ )
sampai dengan ( ------ tanggal,
bulan, dan tahun ------ )
dimana PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat
untuk menentukan harga kontrak atas ruko berikut tanah pekarangannya tersebut
di atas dengan nilai harga [(Rp. ------------,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] untuk jangka waktu [(
------ ) ( --- jumlah dalam
huruf --- )] tahun.
Pasal
Dua
PIHAK KEDUA telah
memberikan uang muka atau DP (Down Payment) sebagai tanda jadi sewa
sebesar [(------ ) % ( --- jumlah
dalam huruf ---)] persen atau
sejumlah [(Rp. ------------,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] pada hari ( ------------
) tanggal ( --- tanggal,
bulan, dan tahun --- ) dan
sisa pembayaran sejumlah [(Rp. ------------,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] akan dibayarkan pada
waktu penandatanganan Surat Perjanjian ini.
Pasal
Tiga
1. PIHAK PERTAMA selaku
pemilik sah bangunan ruko berikut pekarangannya di ( --- alamat lengkap ruko --- ) menjamin bahwa tanah dan
bangunan ruko berikut semua fasilitas yang terdapat di dalamnya adalah hak
milik sahnya dan bebas dari semua tuntutan hukum dan persoalan-persoalan yang
dapat mengganggu PIHAK KEDUA atas
pemakaiannya dalam jangka waktu berlakunya surat perjanjian ini.
2.
Semua kerugian yang timbul akibat kelalaian PIHAK PERTAMA dalam memenuhi kewajibannya
tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab PIHAK PERTAMA.
Pasal
Empat
Sebelum
jangka waktu kontrak seperti yang tertulis pada pasal satu Surat Perjanjian ini
berakhir, PIHAK PERTAMA tidak
dibenarkan meminta PIHAK KEDUA untuk
mengakhiri jangka waktu kontrak dan menyerahkan kembali rumah tersebut kepada PIHAK PERTAMA kecuali
telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal Lima
Selama waktu waktu berlakunya
Surat Perjanjian ini, PIHAK KEDUA sama
sekali tidak dibenarkan untuk mengalihkan hak atau mengontrakkan kembali kepadaPIHAK KETIGA dengan dalih atau alasan apa
pun juga tanpa ijin dan persetujuan tertulis dari PIHAK PERTAMA.
Pasal
Enam
1. PIHAK PERTAMA bertanggung
jawab seluruhnya akibat dari kerusakan maupun kerugian yang disebabkan oleh
kesalahan struktur dari bangunan ruko tersebut.
Yang
dimaksudkan dengan struktur adalah sistim konstruksi bangunan yang menunjang
berdirinya bangunan, seperti: pondasi, balok, kolom, lantai, dan dinding.
2. PIHAK KEDUA tidak
diperbolehkan mengubah struktur dan instalasi dari unit ruko tersebut tanpa
ijin dan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
3. PIHAK KEDUA bertanggung
jawab atas kerusakan struktur sebagai akibat pemakaian.
4. PIHAK KEDUA tidak
bertanggung jawab atau dibebaskan dari segala ganti rugi atau tuntutan dari PIHAK PERTAMA yang
terjadi akibat kerusakan pada bangunan ruko yang diakibatkan oleh force majeure.
Yang
dimaksud dengan Force majeure adalah hal-hal yang disebabkan
oleh faktor extern yang tidak dapat diatasi maupun dihindari, seperti: banjir,
gempa bumi, tanah longsor, petir, angin topan, kebakaran, huru-hara, kerusuhan,
pemberontakan, dan perang.
Pasal
Tujuh
Dalam
perjanjian sewa-menyewa ini sudah termasuk hak bagi PIHAK KEDUAuntuk menggunakan semua fasilitas yang telah terpasang
sebelumnya pada bangunan ruko yang disewa.
Fasilitas-fasilitas
tersebut adalah:
1. Listrik,
2. Saluran nomor telepon,
3. Saluran air dari PDAM.
Pasal
Delapan
PIHAK KEDUA bertanggung
jawab atas berlakunya peraturan-peraturan Pemerintah yang menyangkut perihal
pelaksanaan perjanjian ini, misalnya: Pajak-pajak, Iuran Retribusi Daerah
(IREDA), dan lain-lainnya.
Pasal
Sembilan
PIHAK KEDUA berkewajiban
untuk menjaga keamanan, ketertiban dan ketenteraman lingkungan.
Pasal
Sepuluh
Setelah
berakhir jangka waktu kontrak sesuai dengan pasal satu Surat Perjanjian ini,PIHAK KEDUA diharuskan
segera mengosongkan rumah dan menyerahkannya kembali kepada PIHAK PERTAMA serta
telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan pasal tujuh dan delapan dari Surat
Perjanjian ini.
Pasal
Sebelas
Apabila PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bermaksud
melanjutkan perjanjian kontrak, maka masing-masing pihak harus memberitahukan
terlebih dahulu minimal [( ------ ) ( --- jumlah
dalam huruf --- )] bulan
sebelum jangka waktu kontrak berakhir.
Pasal
Dua Belas
PIHAK KEDUA mendapat
prioritas pertama dari PIHAK PERTAMA untuk memperpanjang masa
penyewaan berikutnya sebelum PIHAK PERTAMAmenawarkan kepada
calon-calon penyewa lainnya.
Pasal tiga
Belas
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bersepakat untuk
menempuh jalan musyawarah dan mufakat untuk menyelesaikan hal-hal atau
perselisihan yang mungkin timbul sehubungan dengan Surat Perjanjian ini.
Apabila jalan musyawarah dianggap tidak berhasil untuk mendapatkan penyelesaian
yang melegakan kedua belah
pihak,
kedua belah pihak bersepakat untuk menempuh upaya hukum dengan memilih domisili
pada ( ------ Kantor
Kepaniteraan Pengadilan Negeri ------
).
Pasal Empat
Belas
Surat
Perjanjian ini dibuat oleh kedua belah pihak dengan dasar akal sehat dan
pikiran sehat tanpa adanya paksaan maupun tekanan dari pihak-pihak manapun.
Pasal
Lima Belas
Surat
Perjanjian ini ditandatangani di ( --- tempat --- ) pada hari ( ---------------
) ( ---tanggal, bulan, dan tahun ----
) dan berlaku mulai tanggal tersebut sampai dengan tanggal ( --- tanggal, bulan, dan tahun ---- ).
(
--- tempat, tanggal, bulan,
dan tahun ---)
PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA
[
------------------------- ] [ ------------------------ ]
SAKSI-SAKSI:
[ --------------------------- ] [
--------------------------- ]
I. KONSEKUENSI AKAD ISTISHNA'
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya
menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan
demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri
akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang
lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna' sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya kepada orang lain. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/116-117 & Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6//186).
Menurut hemat saya, pendapat Abu Yusuf inilah yang
lebih kuat, karena kedua belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya.
Bila demikian, maka keduanya berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka." (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany)
J. ISTISHNA’ PARAREL
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja
pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan
kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’
kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di
kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan
syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama
antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad
pertama sah. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak
pararel. Diantaranya sebagai berikut.
- Bank Islam
sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau
subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian
sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas
setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari
kontrak pararel.
- Penerima
subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap
Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara
langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua
merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk
kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan
hukum samasekali.
- Bank
sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan
yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’
pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau
ada.
K. PERBEDAAN ANTARA SALAM DAN
ISTISHNA’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama
dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung
(bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara
salam dengan istisna’, yaitu :
- Cara
pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung,
sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa
di angsur atau bisa di kemudian hari.
- salam
mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’
menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan
begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir
Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat
barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu
barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan
pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di
sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
L. APLIKASI ISTISHNA’ DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS)
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi
dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya
adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli.
Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen.
Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang
yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan
produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’
lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur.
Contoh
Kasus
CV. Selayang Pandang yang bergerak
dalam bidang pembuatan dan penjualan sepatu memperoleh order untuk memebuat
sepatu anak sekolah SMU senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan
kepada Bank Syariah Plaju. Harga perpasang sepatu yang di ajukan adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di angsur selama tiga
bulan. Harga perpasang sepatu di pasaran sekitar rp. 90.000,-. Dalam hal ini
Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok produksi. CV.Selayang Pandang
hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang atau keuntungan keseluruhan
adalah RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari hitungan Rp. 60.000.000/Rp.
85.000xRp. 5.000 = rp. 3.529.412.
Bank
Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Selayang Pandang
dengan harga yang lebuh murah, sehingga dapat di jual kepada masyarakat dengan
harga yang lebih murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar
harga Rp. 86.000,-per pasang, sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang
dengan keuntungan keseluruhan adalah:
Rp.
60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697
M. TABEL PERBEDAAN ISTISHNA DENGAN
SALAM
SUBJEK
|
SALAM
|
ISTISHNA
|
ATURAN
& KETERANGAN
|
Pokok
Kontrak
|
Muslam
Fiih
|
Mashnu’
|
Barang Di
Tangguhkan Dengan Spesifikasi
|
Harga
|
Dibayar
Saat Kontrak
|
Bisa Saat
Kontrak, Bias Di Angsur, Bias Di Kemudian Hari
|
Cara
Penyelesaian Pembayaran Merupakan Perbedaan Utama Antara Salam Dan Istishna
|
Sifat
Kontrak
|
Mengikat
Secara Asli
|
Mengikat
Secara Ikutan
|
Salam
Mengikat Semua Pihak Sejak Semula, Sedangkan Istishna Menjadi Pengikat Untuk
Melindungi Produsen Sehingga Tidak Ditinggalkan Begitu Saja Oleh Konsumen
Secara Tidak Bertanggung Jawab
|
Kontrak
Pararel
|
Salam
Pararel
|
Istishna’
Pararel
|
Baik Salam
Pararel Maupun Istishna Pararel Sah Asalkan Kedua Kontrak Secara Hokum
Terpisah
|
N. JENIS-JENIS PEMBIAYAAN ISTISHNA
1) BNI iB kelayakan usaha.
2) BNI iB usaha kecil.
3) BNI iB wirausaha.
4) BNI iB griya indent.
O. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PEMBIAYAAN ISTISHNA
1. Maksimum Pembiayaan
Maksimum pembiayaan sebesar 80% dari
harga barang dan self fnancing disesuaikan dengan jenis pembiayaan
masing-masing.
2. Jangka Waktu
1) Jangka
waktu pembiayaan harus dibedakan antara jangka waktu pada saat masa
pembuatan atau pemesanan atau pembangunan dengan jangka waktu pada saat
penyerahan barangsampai dengan jangka waktu berakhirnya akad yang disesuaikan
dengan jenis pembiayaan masing-masing.
2) Jangka
waktu masa pembuatan atau pemesanan atau pembangunan disesuaikan dengan kondisi
atau jenis barang yang dipesan yaitu maksimal 2 tahun. Namun untuk BNI griya
indent maksimal 1 tahun.
3. Penetapan Angsuran
Penetapan angsuran pembiayaan
istishna ditentukan oleh jangka waktu dan margin saat pembuatan atau pemesanan
atau pembangunan serta nilai tunai dan margin saat penyerahan barang serta
jangka waktu pada saat penyerahan barang sampai dengan jangka waktu berakhirnya
akad istishna.
Contoh:
Developer membangun rumah senila Rp.
500.000.000,- sesuai dengan pesanan dan spesifikasi teknis khusus. Nasabah
tidak mempunyai kemampuan membayar sekaligus, namun nasabah sanggup membayar
uang muka sebesar 20% dan sisanya secara angsuran sampai jangka waktu 10 tahun
depan. Dengan tarif istishna 9% flat pertahun. Untuk membangun rumah diperlukan
waktu 12 bulan. Maka:
Harga rumah Rp. 500.000.000,-
Pembiayaan yang diajukan Rp.
400.000.000,-
Margin
selama masa pembuatan-
nilai tunai saat penyerahan Rp.
456.787.067,-
nilai akad
10 tahun
(9% x 10 thn x 400.000.000) Rp.
760.000.000,-
Angsuran nasabah bulan ke-1 sampai
ke-12 Rp. 6.333.333,-
Angsuran nasabah bulan ke-13 samapi
ke-120 Rp. 6.333.333,-
4. Margin Dan Pengakuan
Pendapatan
Mengacu kepada tarif margin minimum
flat yang diterbitkan KKAS sesuai jenis pembiayaan masing-masing dan tidak
dapat berubah selama jangka waktu akad dengan metode pengakuan pendapatan
berdasarkan margin efektif anuitas.
Contoh perhitungan margin
Data
1
|
Pokok
|
400.000.000
|
Rp
|
2
|
Jangka
waktu
|
120
|
Bulan
|
3
|
Margin
flat
|
9%
|
Pa
|
4
|
Margin
efektif
|
14,5079%
|
Pa
(ctm table konversi)
|
5. Agunan Pembiayaan
Mengacu kepada ketentuan jenis
pembiayaan masing-masing barang yang di pesan nasabah sebagai agunan pokok,
namun apabila diperlukan dengan pertimbangan resiko selama masa pembangunan,
nilai agunan harus mengcover fasilitas yang dicairkan. Dan apabila tidak
mencukupi bank bank dapat meminta tambahan agunan. Pengikatan agunan agar
berpedoman kepada buku pedoman pembiayaan kecil syariah.
6. Asuransi
Asuransi kerugian pada
pembiayaan produktif ditutup asuransi kerugian pada perusahaan asuransi
syariah yang ditunjuk dan masuk dalam perusahaan rekanan BNI yang dikelola oleh
DRK dengan beban nasabah mengacu kepada ketentuan yang berlaku pada
masing-masing jenis pembiayaan.
Untuk pembiyaan konsumtif nasabah
ditutup asuransi jiwa pada perusahaan asuransi yang ditunjuk dan masuk dalam
daftar perusahaan rekanan BNI yang dikelola oleh DRK dan premi menjadi
beban nasabah.
Pelunasan Sebelum Jatuh Tempo (PSJT)
Apabila nasabah akan melunaskan
pembiayaan sebelum jatuh tempo maka perhitungan total kewajiban yang harus
dibayar nasabah mengacu kepada ketentuan mengenai PPTM dan tidak diperjanjikan
di dalam akad.
Lain-Lain
Kebajikan pembiayaan yang ada
mengacu kepada ketentuan jenis pembiayaan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Yaya, Rizal dan Ahim Abrurahman.
2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer.
Jakarta: Salemba Empat.
Sarwat, Ahmad. 2009. Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat.
Kampus Syariah
Kasmir. 2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan
Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank
Syariah, Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
0 komentar:
Posting Komentar