BAB
II
PEMBAHASAN
HUKUM
ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA
Asia
tenggara adalah suatu tempat bagi penduduk Muslim terbesar di dunia. Islam
merupakan agama mayoritas di beberapa negara di kawasan ini, anatara lain di
Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.[1]
Indonesia sendiri merupakan negara terbesar pertama di dunia yang memiliki
jumlah penduduk Muslim, sedangkan secara keseluruhan Indonesia berada di
peringkat ke-4 sebagai negara berpenduduk terbanyak di dunia (Muslim dan
non-muslim).
Kedatangan
Islam ke Indonesia menempuh proses yang sangat panjang, baik dari segi
perkembangan penduduk, budaya maupun perkembangan hukum Islam-nya sendiri.
Hukum Islam di Indonesia berkembang dari masa ke masa, baik pada masa sebelum
penjajahan, masa penjajahan belanda, masa reformasi dan kontemporer.
Faktor
awal kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk mencari rempah-rempah,
kemudian mereka ingin menguasai kekayaan alam yang dimiliki negeri yang luas
ini. Sampai pada akhirnya mereka menjajah bangsa Indonesia, walaupun terjadi
perlawan dari berbagai kalangan masyarakat pribumi, tetapi mereka tidak
menghiraukannya, bahkan mereka tidak segan-segan membunuh orang-orang yang
berani melawan dan menentang kehendak mereka.
Secara
umum kehadiran mereka disambut kurang simpatik oleh golongan pribumi, hal ini
disebabkan kebudayaan dan agama yang mereka bawa tidak sesuai dengan kebudayaan
dan agama yang sudah terlebih dulu dianut oleh penduduk pribumi. Mau tidak mau
Belanda pun harus menghormati kebudayaan dan agama yang telah berkembang di
Indonesia.
Di
era penjajahan Belanda, bangsa Indonesia seolah berada dalam “status quo”
maksudnya hukum Islam hanyalah sebagai sistem hukum yang berkedudukan
mempengaruhi, bukan menjadi sebagai hukum yang secara konkrit dan seluruhnya diterapkan.
Penerapan hukum Islam itu diatur dilihat dari kepentingan Belanda, jika
masalah-masalah dinilai merugikan kepentingan mereka, maka hal ini akan diatur
sesuai wewenang mereka sendiri. Namun sebaliknya jika hukum Islam itu tidak
merugikan kepentingan mereka, maka hukum Islam itu akan dibiarkan berlaku.[2]
Hukum Islam pada masa ini benar-benar dibatasi, jika tidak sesuai dengan
kehendak mereka.
Pembatasan
keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Belanda secara kronologis anatar lain:
1.
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum
yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[7]
2.
Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah
Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama
tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa
terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum
Belanda.[8]
3.
Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang
pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan,
ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]
4.
Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),
yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama
Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat.[3]
DAFTAR
PUSTAKA
Asril,
Hukum Islam Asia Tenggara, Pekanbaru,
Suska Press. 2013
Helmiati.
Sejarah Islam asia Tenggara. Pekanbaru.
Suska Press. 2011
0 komentar:
Posting Komentar