Info Penting Hari Ini !!!

Selamat Datang di KARYA KAMAL. Apa yang Sedang Sahabat Cari ??? Moga Blog Ini Bisa Membantu Sahabat Semua...!!! Kabar Gembira, Novel Sampan di Seberang akan segera dipublikasikan di blog ini agar para sahabat setia bisa menikmati karya yg pernah menang dalam kompetisi novel ini. Novel "Sampan di Seberang" diangkat dari kisah nyata pengalaman mengabdi di daerah terpencil. Novel "Sampan di Seberang" Tentang Pengabdian, Persahabatan & Kenangan, Tunggu Kehadirannya...!!! Karya Kamal; Novel Jalan Impian, Novel Pardangolan, Novel Sampan di Seberang, Buku Bait Bait Hati & Buku Facebook Mengguncang Dunia Akhirat. __Mustopa Kamal Batubara__ __Facebook: Mustopa Kamal Batubara.__ __Instagram: @kamal_btr.____Twitter: @mustopakamalBTR____Email: mustopakamalbatubara@gmail.com__ __Salam Karya Kamal__

Selasa, 28 Maret 2017

Makalah

MEWUJUDKAN PERADILAN BERSIH DAN BERWIBAWA






Hukum tata negara
Fakultas syariah & hukum
UIN SUSKA RIAU
2015



BAB I
PENDAHULUAN

MEWUJUDKAN PERADILAN BERSIH DAN BERWIBAWA

Sistem hukum menurut Lawrence M Friedman, terdiri dari tiga unsur, yaitu stuktur (structure), substansi (substance) dan kultur hukum (legal culture). Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk atau batasan terhadap keseluruhan. Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, peraturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang (law books). Sedangkan kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya seperti ikan mati yang terkapar di keranjang dan bukan seperti ikan yang hidup di laut.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa struktur diibaratkan sebagai mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan oleh mesin dan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang menentukan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Fakta yang menyedihkan menurut Achmad Ali, ketiga unsur sistem hukum itu mengalami keterpurukan dan berakibat dunia hukum di Indonesia mendapat sorotan tajam dari seluruh lapisan masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri.  Mereka menuntut sistem hukum ditegakkan sebagaimana mestinya.
Di era sekarang ini penegakan hukum merupakan bagian dari tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya suatu reformasi hukum, akan tetapi sering kali tuntutan masyarakat terhadap reformasi hukum tersebut hanya disudutkan pada “hakim”,  dalam hal ini pengadilan.  Padahal penegakan hukum bukan hanya dibebankan pada tugas hakim/pengadilan saja tetapi termasuk sebagai bagian tugas dari polisi selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum, advocat dan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara yang sering disebut dengan istilah “criminal justice system”.
Fenomena hujatan dan kritikan publik terhadap peradilan dengan melemparkan istilah “mafia peradilan/Judicial Corruption” telah lama terdengar, semua itu terjadi disebabkan adanya dalih mendapatkan hak dan memperjuangkan kebenaran semu, para pihak tersebut “memaksakan kebenaran” meski nyata-nyata berada di tempat yang salah untuk menghubungi para hamba hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advocat. Lebih parah lagi para hamba hukum tersebut bersedia menggadaikan kebenaran dengan kenikmatan sesaat. Singkat kata, benar menjadi salah, dan salah menjadi benar.
Praktik “mafia peradilan/Judicial Corruption” dilakukan antara lain, (1) memilih oknum hakim tertentu yang memiliki hubungan khusus dengan advocat tertentu, (2) pemalsuan putusan, (3) mempercepat atau memperlambat perkara, (4) pengaturan berat dan ringan hukuman, dan (5) penafsiran pasal-pasal perundang-undangan yang intinya agar putusan sesuai dengan keinginan. Tentunya tidak terlupakan praktik “mafia peradilan/Judicial Corruption” yang dilakukan oleh Hakim “MA” sebagai Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tangerang, Propinsi Banten, memvonis bebas terdakwa penggelapan Gayus HP Tambunan.
Dia disebut menerima USD40.000 (empat puluh ribu dolar US) dari terdakwa kasus mafia pajak tersebut dan Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) DKI Jakarta dengan inisial “I” yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menerima suap sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dari advocat Abner Sirait, ditambah lagi tindakan jaksa “UTG”  dan “DSW” demikian juga yang dilakukan petugas pemasyarakatan baik terhadap pemberian fasilitas kepada “Ayin” maupun pengendalian narkoba dari lembaga pemasyarakatan serta banyak kasus lain yang mencoreng dunia peradilan kita.
Melihat fenomena tersebut di atas, secara empiris seharusnya menjadi bahan renungan sehingga perlu adanya sikap reintrospeksi kelembagaan dan kebijakan aparatur peradilan untuk merefleksikan kinerja pelayanannya terhadap publik. Hal ini bersesuaian pula dengan teori hukum kausalitas yang mengajarkan bahwa “apa yang terjadi hari ini adalah akibat pekerjaaan kita di masa lalu”, dalam konteks ini, kondisi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan saat ini, juga tidak bisa dilepaskan dari kinerja peradilan di masa lalu. Oleh karena itu, saat ini, mulai detik ini, seluruh insan peradilan (terutama hakim) perlu memperbaiki diri untuk lebih baik lagi, bukankah dalam Al-Qur’an Surat Al-Zalzalah ayat 7-8 difirmankan “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, pasti akan melihat akibatnya” secara dogmatis manusia diajarkan bahwa manusia dipastikan akan menuai hasil dari apapun yang ditanamnya di dunia ini.
Dalam rangka perbaikan kinerja peradilan agar penegakan hukum benar-benar dilaksanakan sebagaimana seharusnya dan agar para penegak hukum,  khususnya para hakim,  memiliki integritas dan nurani  maka penulis mencoba menuangkan pokok pikiran tentang mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.
























BAB II
PEMBAHASAN


Tidak dapat dipungkiri bahwa “misi suci” (mission sacree) lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, “The Supreme court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa, dan Negara, bahkan keadilan yang dimaksud adalah keadilan Demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib dan damai. Hal ini tercermin dari setiap putusan hakim di Indonesia, yang diawali dengan ungkapan yang sangat religius, yakni : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Disamping itu adanya motto dari B.M.Taverne “Berikan aku Hakim yang baik, Jaksa yang baik dan Polisi yang baik maka aku akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarikpun”,[1][4] dan kalau kita memasuki lembaga-lembaga pengadilan di Inggris, maka ditemukan motto yang hampir sama yaitu “berikan aku hakim yang baik, meski di tanganku ada hukum yang buruk”.  Motto ini untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau menangani perkara supaya dirinya tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya terdapat kekurangan, pada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang berkategori lemah dan mengundang banyak penafsiran (interpretasi).
Dari motto tersebut, hakim merupakan kunci pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dominan berada di dalam kekuasaannya, bukan diletakkan pada produk hukumnya.  Produk yuridisnya boleh saja kurang, kabur, dan bahkan cacat, tetapi mentalitas hakim dilarang cacat, tidak boleh lebih buruk dibandingkan kondisi produk hukumnya.
Atas hal tersebut hakim merupakan bagian terpenting dalam penegakan hukum dan mencerminkan wajah peradilan secara keseluruhan, walaupun ada rekayasa di Kepolisian, Kejaksaan ataupun tempat lain hakim dapat memahami dan mengetahui itu semuanya sehingga kemudian dapat mengeluarkan produk berupa putusan yang bermartabat dan kemudian dapat merebut kembali kepercayaan publik terhadap dunia peradilan.
Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu :[2][6]
1.        Hukum atau peraturan itu sendiri.
2.        Petugas yang menegakkan hukum.
3.        Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum.
4.        Kebudayaan atau legal cultur dan
5.        Sarana atau fasilitas yang dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Jadi dapat dikatakan inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dalam sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, untuk membangun kepercayaan  banyak langkah yang bisa dilakukan untuk mengembalikan citra lembaga peradilan,  maka diambillah langkah-langkah pembaharuan normatif, pembaharuan sistem pengelolaan, pembaharuan orientasi, pembaharuan sumber daya manusia dan lain-lain.   Berbagai langkah ini belumlah sepenuhnya mampu memulihkan kepercayaan tapi paling tidak sebagai penentu bagi terciptanya tata peradilan yang baik dan berwibawa, secara internal lembaga peradilan harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut :
1.    Pengadilan harus bersih dari segala bentuk KKN, untuk itu diupayakan hal-hal seperti : a). membangun pribadi hakim yang berintegritas, b).sistem kontrol yang baik, c). fasilitas yang cukup, dan d). intelektualitas hakim yang handal. Secara ekternal harus didukung juga hal-hal sebagai berikut : a).budaya yang baik dari masyarakat, yakni masyarakat harus patuh dan hormat pada hukum, tidak berbuat dengan segala cara untuk memenangkan perkara, dan masyarakat harus terbebas dari budaya suap menyuap, b). keberadaan lembaga peradilan harus mendapat dukungan politik yang memadai seperti ketersediaan anggaran yang cukup, dan c). dukungan sosial yang cukup untuk turut serta memecahkan masalah bukan sekedar membicarakan masalah atau sekedar memajukan tuntutan.
2.    Lembaga peradilan, utamanya majelis hakim harus bebas dari segala bentuk campur tangan dari suatu kekuasaan atau kekuatan sosial atau kekutan politik yang menggiring suatu majelis hakim pada arah tertentu.
3.    Membangun sikap hormat dan patuh pada pengadilan dan putusan majelis hakim sebagai suatu bentuk keikutsertaan membangun pengadilan yang berwibawa.
4.    Sistem manajemen yang menjamin efisiensi, efektifitas, produktivitas, putusan-putusan yang bermutu atau memberi kepuasan kepada yang berperkara atau publik pada umumnya. Hal ini dapat dicapai dengan membangun sumber daya yang bermutu, sistem manajemen yang baik, dukungan dana yang cukup, dan berbagai prasarana dan sarana yang memadai.[3][7]  
Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki Visi dan Misi yang telah dirumuskan dalam Cetak Biru dan Rencana Strategis MARI 2010-2035 adalah sebagai berikut : 1). Visi yaitu terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung, dengan rincian yang terkandung dalam visi tersebut adalah :
a). Bahwa peradilan menunjukkan lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. b). Indonesia menunjukkan lokasi keberadaan Mahkamah Agung. c). Agung menunjukkan keadaan/sifat kehormatan, kebenaran, kemuliaan, keluhuran. Jadi yang ingin dicapai melalui visi ini adalah menjadikan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya sebagai lembaga peradilan yang dihormati, yang dikelola dan diawasi oleh hakim dan pegawai yang memiliki kemuliaan, kebesaran dan keluhuran sikap dan jiwa dalam melaksanakan tugas pokoknya memutus perkara. 2). Misi Mahkamah Agung untuk memperjelas upaya pencapaian keberhasilan visi tersebut, telah dirumuskan 4 misi sebagai fokus program kerjanya: a). Menjaga kemandirian lembaga peradilan. b). Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan. c). Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan. d). Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.[4]
[8]
Untuk dapat mengevaluasi keberhasilan dari 4 misi tersebut digunakan Area of Court Excellence sebagai instrumen penyusunan keberhasilan yang meliputi : a). Manajemen dan kepemimpinan badan peradilan. b). Kebijakan peradilan. c). Sumber daya manusia, materiil dan kekayaan. d). Proses peradilan/pengadilan. e). Pemenuhan kebutuhan dan kepuasan para pencari keadilan.
Melalui parameter ini, pengukuran keberhasilan ada pada : a).Pemenuhan kebutuhan dan kepuasan para pencari keadilan. b). Keterjangkauan pelayanan badan peradilan. c). Kepercayaan publik. Artinya Mahkamah Agung dan badan peradilan mencapai tujuannya bila : a). Pencari keadilan terpenuhi kebutuhan dan kepuasannya. b).Pencari keadilan dapat menjangkau badan peradilan.
Berdasarkan visi dan misi di atas, dikembangkanlah nilai-nilai utama badan peradilan. Nilai-nilai inilah yang akan menjadi dasar perilaku seluruh warga badan peradilan dalam upaya mencapai visinya. Pelaksanaan dari nilai-nilai pada akhirnya akan membentuk budaya badan peradilan. Nilai-nilai yang dimaksud, adalah :
1.    Kemandirian kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945).
a.    Kemandirian Institusional.
Badan Peradilan adalah lembaga mandiri dan harus bebas dari intervensi oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (Pasal 3 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
b.    Kemandirian Fungsional.
Setiap hakim wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Artinya, seorang hakim dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar hukum yang diketahui, serta bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman, baik langsung ataupun tak langsung, dari manapun dan dengan alasan apapun juga.
2.    Integritas dan kejujuran (Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, Pasal 5 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Perilaku hakim harus dapat menjadi teladan bagi masyarakatnya. Perilaku hakim yang jujur dan adil dalam menjalankan tugasnya, akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan kredibilitas putusan yang kemudian dibuatnya. Integritas dan kejujuran harus menjiwai pelaksanaan tugas aparatur peradilan.
3.    Akuntabilitas (Pasal 52 dan Pasal 53 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Hakim harus mampu melaksanakan tugasnya, menjalankan kekuasaan kehakiman dengan profesional dan penuh tanggung jawab. Hal ini antara lain diwujudkan dengan memperlakukan pihak-pihak yang berperkara secara profesional, membuat putusan yang didasari dengan dasar alasan yang memadai, serta usaha untuk selalu mengikuti perkembangan masalah-masalah hukum aktual. Begitu pula halnya dengan aparatur peradilan, tugas-tugas yang diemban juga harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan profesional.
4.    Responsibilitas (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Badan peradilan harus tanggap atas kebutuhan pencari keadilan, serta berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat mencapai peradilan yang sederhana,cepat, dan biaya ringan. Selain itu, hakim juga harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
5.    Keterbukaan (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 13 dan Pasal 52 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Salah satu upaya badan peradilan untuk menjamin adanya perlakuan sama di hadapan hukum, perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang adil, adalah dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan penanganan suatu perkara dan kejelasan mengenai hukum yang berlaku dan penerapannya di Indonesia.
6.    Ketidakberpihakan (Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Ketidakberpihakan merupakan syarat utama terselenggaranya proses peradilan yang jujur,  adil, dan berwibawa, serta dihasilkannya suatu putusan yang mempertimbangkan pendapat/kepentingan para pihak terkait. Untuk itu, aparatur peradilan harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berperkara.
7.    Perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Setiap warga Negara, khususnya pencari keadilan, berhak mendapat perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam rangka meningkatkan kualitas kerja dan kinerja  warga peradilan, agar terwujud peradilan yang bersih dan berwibawa,  maka perlu upaya untuk mengarahkan perilaku seluruh warga badan peradilan sesuai dengan nilai-nilai utama badan peradilan tersebut di atas,  dengan cara mengoptimalkan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.  Untuk tercapainya efektifitas pengawasan secara internal, Mahkamah Agung harus melakukan pengawasan secara efektif dan sungguh-sungguh terhadap pemilihan hakim, panitera dan pejabat peradilan lainnya dalam melakukan tugasnya, dan secara eksternal Komisi Yudisial melaksanakan tugas dan fungsinya untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan hakim dalam arti melaksanakan pengawasan yang berkaitan dengan perilaku hakim.
Selain itu menyiapkan sarana keperluan pengaduan masyarakat, dalam arti meja pengaduan publik yang ada pada setiap Pengadilan harus dilaksanakan secara optimal dan mendapat perhatian yang serius,  penanganan laporan kinerja hakim dan pengaduan masyarakat yang disampaikan kesatuan harus sungguh-sungguh ditindaklanjuti, Mahkamah Agung melalui badan pengawasan dibawah koordinasi Ketua Muda Pengawasan harus mampu memahami simpul-simpul yang memungkinkan terjadinya pelanggaran (mafia peradilan ) baik di tingkat pencatatan administrasi perkara, distribusi perkara, waktu yang wajar untuk menyidangkan perkara, dan putusan yang wajar dari perkara tersebut.
Penjatuhan sanksi juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas kerja dan kinerja warga peradilan karena penjatuhan sanksi secara tegas dan tidak pandang bulu yang diberikan olah Mahkamah Agung kepada yang terbukti melakukan pelanggaran dan  penjatuhan sanksi diumumkan kepada publik secara transparan sehingga publik tahu tentang hal itu.

















BAB III
PENUTUP


Sistem peradilan merupakan sinergisme atas kinerja para penegak hukum, yang terdiri atas polisi, jaksa, advocat dan hakim beserta segala daya dukungnya yang menyatu dalam proses penegakan hukum dan keadilan, dan bagi bangsa Indonesia benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan hanya diperoleh di pengadilan. Hakim menjadi ujung tombak untuk mewujudkan terpenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat.
Implementasi nilai-nilai utama badan peradilan dalam pelaksanaan tugas hakim, yang meliputi kemandirian kekuasaan kehakiman baik institusional maupun fungsional,  integritas dan kejujuran, akuntabilitas,  responsibilitas,  keterbukaan,  ketidakberpihakan,  dan perlakukan yang sama di hadapan hukum, dengan disertai pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang efektif,  maka pada akhirnya diharapkan  akan mampu mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.
















DAFTAR  PUSTAKA


Ali. Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia. PT. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Tim MARI. 2010. Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035.

Sudirman. Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung.

Wahid. Abdul dan Moh.Muhibbin. 2009. Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia. Bayumedia Publishing. Malang.

Jurnal :

Nadapdap. Binoto. 2003. Mendambakan Putusan Hakim Yang Berwibawa. Jurnal Keadilan. Volume 3 Nomor 2. Hal.12

Majalah :

Mujahidin. AM. 2008. Sistem Peradilan Satu Atap di Indonesia. Varia Peradilan. Tahun XXIII N0.269.

Ridwan. 2008. Perilaku Hukum di Pengadilan Dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Bermartabat. Varia Peradilan. Tahun XXII No.272.

Harahap. Krisna. 2010. Paradigma Baru Konsep Hakim Transformatif : Perspektif Agenda Reformasi Peradilan. Buletin Komisi Yudisial. Volume V Nomor 2.










0 komentar:

Translate

Jumlah Pembaca

Instagram @kamal_btr