Info Penting Hari Ini !!!

Selamat Datang di KARYA KAMAL. Apa yang Sedang Sahabat Cari ??? Moga Blog Ini Bisa Membantu Sahabat Semua...!!! Kabar Gembira, Novel Sampan di Seberang akan segera dipublikasikan di blog ini agar para sahabat setia bisa menikmati karya yg pernah menang dalam kompetisi novel ini. Novel "Sampan di Seberang" diangkat dari kisah nyata pengalaman mengabdi di daerah terpencil. Novel "Sampan di Seberang" Tentang Pengabdian, Persahabatan & Kenangan, Tunggu Kehadirannya...!!! Karya Kamal; Novel Jalan Impian, Novel Pardangolan, Novel Sampan di Seberang, Buku Bait Bait Hati & Buku Facebook Mengguncang Dunia Akhirat. __Mustopa Kamal Batubara__ __Facebook: Mustopa Kamal Batubara.__ __Instagram: @kamal_btr.____Twitter: @mustopakamalBTR____Email: mustopakamalbatubara@gmail.com__ __Salam Karya Kamal__

Kamis, 12 Mei 2016

Makalah Qowaid fiqh
Disalin Ulang dari Internet



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Ghosob menurut bahasa: adalah mengambil sesuatu secara dholim (bukan haknya).Ghosob menurut istilah: menguasai hak orang lain secara dahlim permusuhan dan dengan cara yang tidak benar.
Contoh ghosob ini sangat banyak misalkan: merubah batas tanah, mencopet di kantong orang, setiap barang yang diambil dari seseorang dengan cara tidak halal atau dholim maka ini yang dimaksud dengan ghosob, misalkan: menipu, curang, khiyanat, minjam uang kemudian tidak mengembalikan, dan lain sebagainya.
Pengertian turut serta berbuat jarimah sesungguhnya berbeda dengan berserikat dalam melakukan tindak pidana. Turut serta melakukan jarimah disini dapat terjadi tanpa menghendaki ataupun bersama-sama menghendaki hasil perbuatan tersebut. Sedangkan berserikat dalam jarimah ialah sama-sama melakukan dan menghendaki demikian juga hasil dari perbuatan tersebut.
dalam fiqh Islam tidak memberi batasan yang pasti terhadap batasan usia anak-anak di samping banyaknya perbedaan pendapat di antara para ulama.
Para ulama fiqh berijma bahwa seorang anak bila telah berihtilam maka dipandang balig. Begitu juga seorang gadis, dengan kedatangan haidatau kuat untuk hamil. Sesuai dengan ayat al-Qur’an:
واذا بلغ الا طفال منكم الحلم

B.     RUMUSAN MASALAH
a.      Bagaimana hukumnya jikalau harta yang dikembalikan tidak sebanding?
b.      Apakah hukuman anak dibawah umur bisa di gantikan oleh orang tuanya?
c.       Bagaimana kalau sipelaku dalam keadaan di ancam atau terdesak?

C.     TUJUAN MASALAH
Makalah ini bertujuan agar kita mengetahui apa dan siapa saja yang wajib menerima hukuman. Serta bagaimana cara penerapan hukumannya dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara yang mempunyai peraturan-peraturan yang telah di tetapkan.








BAB II
PEMBAHASAN



SETIAP ORANG YANG MERAMPAS SESUATU DIA WAJIB MENGEMBALIKAN ATAU MENGEMBALIKAN HARGANYA

A.    Pengertian ghosob
Ghosob menurut bahasa: adalah mengambil sesuatu secara dholim (bukan haknya).Ghosob menurut istilah: menguasai hak orang lain secara dahlim permusuhan dan dengan cara yang tidak benar.
Contoh ghosob ini sangat banyak misalkan: merubah batas tanah, mencopet di kantong orang, setiap barang yang diambil dari seseorang dengan cara tidak halal atau dholim maka ini yang dimaksud dengan ghosob, misalkan: menipu, curang, khiyanat, minjam uang kemudian tidak mengembalikan, dan lain sebagainya.

B.     Hukum Ghosob:
Hukum ghosob: haram menurut ijma’ kaum muslimin, allah berfirman:
{ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ } [البقرة: 188]
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”. (al-Baqarah : 188)
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang muslim kecualai dengan pemberian sukarela darinya”

c.       Hukum-hukum yang terkait dengan ghosob
1.      Wajib mengembalikan apa yang di ambil dengan dhlim tersebut persis seperti yang di ambil, kalau barang yang di ambil itu sudah hancur atau rusak maka ia harus menganti sesuai dengan barang yang di ambil, atau sesuai harga barang yang ia ambil
2.      Mengembalikan barang yang di ambil tersebut berserta uang ganti ruginya. Misalkan seseorang mengambil motor saudaranya secara dhalim dalam maka secara otomatis lambat laun motor itu akan rusak, maka ketia ia bertaubat dan menembalikan maka ia kembalikan motor itu dan membayar ganti kerusakan barang tersebut selama ia gunakan.
3.      Jika uang misalkan yang di ambil dan uang itu sudah ia putar untuk buat rumah atau gedung atau yang alainya, maka ketika yang memiliki hak meminta untuk di hancurkan maka ia wajib menghancurkanya, misalkan pemimpin koruptor taubat dan kemudian uang yang ia ambil secara dholim sudah ia buat bangngun rumah di sana-sini kemudian yang memiliki hak minta untuk di robohkan maka harus di robohkan.
4.      Yang di curi apabila berubah, berkurang, turun nilainya maka si penngambil harus mengganti.
5.      Barang yang di ambil bisa jadi barang yang perselisihan atau memang pencurian atau yang lainya.
6.       Semua pengambilan barang haram kecuali mendapan izin dari pemilik.



PERBUATAN ITU DIPERUNTUKKAN KEPADA PELAKU BUKAN KEPADA YANG MENYURUH.”

A.    Pengertian Dan Bentuk Penyertaan
Pengertian turut serta berbuat jarimah sesungguhnya berbeda dengan berserikat dalam melakukan tindak pidana. Turut serta melakukan jarimah disini dapat terjadi tanpa menghendaki ataupun bersama-sama menghendaki hasil perbuatan tersebut. Sedangkan berserikat dalam jarimah ialah sama-sama melakukan dan menghendaki demikian juga hasil dari perbuatan tersebut.

“Jika ada seorang yang menahan orang dan ada orng lain yang membunuhnya, maka bunuh orang yang membunuh dan kurang lah orang yang menahan.”

B.            Pembagian Turut Serta Melakukan Jarimah
a.       Turut serta berbuat jarimah secara langsung
b.       Turut serta berbuat jarimah tidak langsung

1.      Turut Serta Berbuat Jarimah Secara Langsung
Turut serta secara langsung terjadi apabila orang – orang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Yang dimaksud dengan nyata adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing – masing mengambil bagian secara langsung, walaupun tidak sampai selesai. Jadi cukup dianggap sebagai turut serta secara langsung apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah itu.
Sebagai contoh : dua orang ( A&B) akan membunuh sesorang (C). A sudah memukul tengkuk dengan sepotong kayu kemudian pergi, sedangkan B yang meneruskan samai akhirnya si C tersebut meninggak dunia.
Dalam contoh ini A tidak turut menyelesaikan jarimah tersebut, tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan pelaksanaan tindak pidana pembunuhan, disini A dianggap sebagai orang yang turut serta secara langsung (Asy Syarik Al Mubasyir)

Para Fuqaha mengenal dua macam turut serta berbuat Jarimah secara langsung, yaitu:
a.       Al Tawafuq, adalah beberapa orang yang melakukan suat kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang dating secara tiba-tiba.
Contoh seperti kejahatan yang terjadi ketika sedang berlangsung demonstrasi, dimana yang tanpa perencanaan sebelumnya untuk melakukan suatu kejahatan. Dalam kasus seperti ini pelaku kejahatanturut serta secara langsung dan hanya bertanggung jawab atas perbuatan masing-masing.

b.      Al Tamalu’ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama dan terencana sebelumnya.
Misalnya pembunuhan atas seseorang oleh sekelompok orang secara terencana, ketika A dan B bersepakat untuk membunuh C, kemudian A mengikat korban C dan B memukulnya sampai akhirnya si C meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini A dan B dianggap sebagai pelaku turut serta secara langsung atas dasar kematian si korban C, dan mereka harus bertanggung jawab atas kematian si korban.
Menurut jumhur ulama ada perbedaan pertanggaungjawaban turut serta secara langsung dalma Al Tawafuq dan Al Tamalu’. Pada Al Tawafuq masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Sedangkan Al Tamalu’ para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan mereka secara keseluruhan, kalau si korban sampai meninggal maka masing-masing peserta dianggap sebagai pembunuh.
Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dan sebagai Fuqaha Syafi’iyah, tidak ada perbedaan antara pertanggungjawaban para peserta dalam Al Tawafuq maupun Al Tamalu’. Yaitum bahwa masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri-sendiri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan secara keseluruhan.

C.    Hukuman untuk Para Peserta Langsung
Pada dasarnya menurut Syari’at Islam banyaknya pembuat jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masingnya seperti kalau masing-masing dari mereka melakukan jarimah sendiri, meskipun masing-masingnya ketika bersamasama dengan yang lainnya tidak melakukan semua bagian-bagian perbuatan yang telah menimbulkan akibat yang terjadi.
Masing-masing peserta dalan jarimah bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri, seperti cara terjadinya perbuatan, keadaan pembuat dan niatnya.
Boleh jadi dalam penganiayaan bagi seseorang, sebagai pembelaan diri bagipeserta, dan boleh jadi salah seorang peserta itu gila yang lain sehat fikirannya, lainnya sengaja berbuat, dan yang lain lagi berbuat karena salah sangka (kekhilafan). Semua keadaan tersebut dipengauhi oleh berat-ringannya suatu hukuman, sebab orang yang membela diri tidak dapat dihukum asal tidak emelebihi batas-batas yang diperlukanm dan orang yang khilaf lebih ringan daripada orang yang sengaja berbuat.
Apabila jarimah yang mereka lakukan itu adalah jarimah pembunuhan maka hukuman terhadap mereka diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut fuqaha yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ats Tsauri, Imam Ahmad, dan Imam Abu Tsaur, apabila ada beberapa orang membunuh satu orang maka mereka harus dibunuh semuanya. Pendapat ini merupakan pendapat Umar RA.
Diriwayatkan dari Sayyidina Umar RA. bahwa beliau pernah mengatakan:
لو تما لأ عليه أهل صنعاء لقتلتهم جميعا 
Andaikata penduduk Shan’a bersepakat membunuhnya maka saya akan membunuh mereka semuanya,21
Sedangkan menurut Imam Daud Az Zahiri, apabila beberapa orang membunuh satu orang maka yang dihukum bunuh (qishas) hanyalah salah seorang saja. Pendapat ini merupakan pendapat Ibn Zubair, Imam Zuhri, dan Jabir.

2.      Turut Berbuat tidak langsung
Turut berbuat jarimah tidak langsung adalah setiap orang yang melakukan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum, menyuruh orang lain untuk memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan. Contoh kasusnya seperti orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam kasus ini menu7rut para Ulama dikalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad orang yang menyuruh itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan karena orang yang disuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh.[2]
Adapun menurut abu hanifah si penyuruh itu tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali bila suruhanya itu pada tingkat paksaan. Dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada tingkat paksaan yang disuruh itu harus bertanggungjawab atas kematian korban.
Dari keterangan diatas unsur-unsur turut berbuat jarimah tidak  langsung ada tiga macam, yaitu :
1.      Adanya perbuatan yang dapat dihukum (jarimah)
2.      Adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat terjadi.
3.      Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan , menyuruh atau memberi bantuan.
a.       Adanya Perbuatan yang Dapat Dihukum
Salah satu syarat terwujudnya turutserta secara tidak langsung sisyaratkan dengan adanya perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini perbuatan tidak perlu harus selesai, meskipun baru percobaan saja. Dan tidak disyaratkan pula pelaku langsung dihuum.
b.      Adanya Niat dari Orang yang Turut Berbuat
Untuk terwujudnya turutserta tidak langsung, disyaratkan juga penyertaan niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau bantuanya yang menjadikan perbuatan itu terjadi. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap turut berbuat dalam semua jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya.
c.       Cara Mewujudkan Perbuatan Turut berbuat tidak langsung
Turutserta berbuat tidak langsung terjadi dengan cara sebagai berikut:

1.      Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan suatu jarimah.
2.      Suruhan atau Hasutan (tahridl)
Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang lain untuk melakukan suatu jarimah dan dengan bujukan tersebut mendorong dilakukanya jarimah tersebut.
3.      Memberi Bantuan (I’anah)
Orang yang memberi bantuanseorang melakuakn jarimah dianggap kawan yang secara tidak langsung telah turut serta dalam melakukan jarimah tersebut. Seperti membantu mengamati jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain.

D.    Hukuman Pelaku Tidak Langsung
Hukum hukum dalam syariat islam pada dasarnya telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash, yang hanya di jatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah hanya dijatuhi hukuman takzir. Aturan pembeda hukuman antara pelaku langsung dan tidak langsung tersebut, hanya berlaku pada jarimah hudud dan Qishash dan tidak berlaku untuk jarimah ta’zir. Sebab perbuatan masing-masing pembuat tersebut termasuk jarimah ta’zir dan hukumannya juga hukuman ta’zir. Selama hakim mempunyai kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir, maka tidak ada perlunya membuat pemisah antara hukuman perbuatan langsung dengan hukuman tidak langsung dalam jarimah ta’zir. Olehkarena itu hukuman pelaku tidak langsung biasanya lebih berat, sama beratatau lebih ringan daripada hukuman pelaku langsung.
Alasan mengenai penjatuhan hukuman ini didasarkan atas hukuman hukuman tersebut (hudud dan qishash) merupakan pelaku jarimah langsung sedangkan berbuatnya pelaku tidak langsung merupakan subhat yang dapat menggugurkan hukuman had.
Atuaran perbedaan hukuman antara pelaku langsung dengantidak langsung tersebut hanya terletak pada jarimah hudud dengan qishash. Sedangkan takzir tidak ada pembeda antara keduanya.





 “SETIAP PELAKU KEJAHATAN, KEJAHATAN ITU TANGGUNG JAWABNYA”

A.    Seorang Anak Melakuan Tindak Pidana
 dalam fiqh Islam tidak memberi batasan yang pasti terhadap batasan usia anak-anak di samping banyaknya perbedaan pendapat di antara para ulama. Para ulama fiqh berijma bahwa seorang anak bila telah berihtilam maka dipandang balig. Begitu juga seorang gadis, dengan kedatangan haidatau kuat untuk hamil. Sesuai dengan ayat al-Qur’an:
واذا بلغ الا طفال منكم الحلم.
          Namun Terjadi Ikhtilaf Di Antara Para Ulama Dalam Penentuan Umur. Ada Tiga Pendapat Tentang Hal Tersebut, Yaitu:
1. Mazhab Hanafi
Mereka berpendapat bahwasanya seorang laki-laki tidak dipandang balligh sebelum ia mencapai usia 18 tahun. Adapun hujjahnya ialah:
ولاتقربوا مال اليتيم الا بل لتي هي احسن حتي يبلغ اشده.
            Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah dari usia 18 tahun. Adapun anak perempuan perkembangan dan kesadarannya adalah lebih cepat, oleh sebab itu usia awal kedewasaannya dikurangi satu tahun sehingga anak perempuan menjadi dewasa pada usia 17 tahun.
2.      Mazhab Syafi’i dan Hambali
Mereka berpendapat bahwa bila seorang anak laki-laki dan perempuan apabila telah sempurna berusia 15 tahun, kecuali bagi laki-laki yang sudah ihtilam dan perempuan yang sudah haid sebelum usia 15 tahun maka keduanya dinyatakan telah balligh. Mereka juga berhujjah dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada Nabi saw pada hari perang Uhud sedang ia ketika itu berusia 14 tahun, kemudian Nabi tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia telah berumur 15 tahun dan ia diperkenankan oleh Nabi untuk perang Khandak.
3.      Jumhur Ulama Fiqh
Bahwasanya usia balligh bisa ditentukan berdasarkan hukum kelaziman. Kebiasaan yang terjadi adalah setelah terjadinya ihtilam dan hal itu sering terjadi pada usia 15 tahun. Dengan demikian, maka umur 15 tahun itulah ditentukan usia balligh yang dipandang usia taklif (usia pembebanan hukum).
Sedangkan dalam literatur bahasa yang lain disebutkan juga anak dengan istilah mumayyiz yaitu anak yang mengerti maksud dari kata-kata yang diucapkannya. Biasanya usia anak itu genap 7 tahun sehingga bila kurang dari 7 tahun maka belum dikatakan mumayyiz. Hukum anak mumayyiz itu tetap berlaku sampai anak itu dewasa. Dewasa ini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda-tanda laki-laki dan perempuan yang biasanya pencapaian umur bagi laki-laki berusia 12 tahun sedang perempuan 9 tahun.
Kemudian kalau anak sudah melewati usia tersebut bagi laki-laki 12 tahun dan 9 tahun bagi perempuan namun belum tampak gejala-gejala bahwa ia sudah dewasa dari segi lahiriah maka keduanya ditunggu sampai berusia 15 tahun.
Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad L. Hasan menentukan usia dewasa bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun. Mereka berdua juga berhujjah dengan firman Allah SWT di atas. Menurut mereka lafaz اشد yang diterjemahkan dengan dewasa dimaksudkan dengan umur 18 tahun karena usia tersebut dianggap telah matang dari segi kematangan fisik dan psikis.
B.     Pertanggung jawaban Pidana
Suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada ketentuan Undang-undang yang melarang suatu perbuatan dan pelanggaran dari ketentuan Undang-undang tersebut berakibat pada pelaku tindak pidana untuk diminta pertanggungjawabannya.
Adapun pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan terhadap seseorang atas suatu perbuatan yang telah dilarang yang ia kerjakan dengan kemauan sendiri dan ia sadar akibat dari perbuatannya itu.
Adapun pelaku tindak pidana dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi syarat adanya perbuatan yang dilarang, dikerjakan dengan kemauannya sendiri dan pelakunya mengetahui akibat dari perbuatan tersebut.
Pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Pelaku jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat dipersalahkan.
Setiap perbuatan pidana atau peristiwa pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum. Lebih lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya apabila pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak. Dalam arti pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan keasadaran yang penuh.
Unsur-unsur jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu: Adanya nas yang melarang dan mengancam perbuatan itu
1.      Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah
2.      Si perbuat adalah mukallaf
Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada yang di antaranya tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa.
Dalam syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1.      sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu memahami nas-nas hukum yang dibebankan al-Qur’an dan sunnah baik langsung maupun yang melalui perantara.
2.      Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya,






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari apa yang telah di paparkan di atas , dapat kita mengambil kesimpulan bahwasanya setiap hukuman baik itu yang telah di tetapkan langsung oleh ALLAH atau oleh pemerintah. Kita harus menerima dan melaksanakannya dengan berlapang hati. Karna setiap hukuman yang telah di tetapkan pazti mempunyai hikmahnya dan keadilan.


0 komentar:

Translate

Jumlah Pembaca

Instagram @kamal_btr