Info Penting Hari Ini !!!

Selamat Datang di KARYA KAMAL. Apa yang Sedang Sahabat Cari ??? Moga Blog Ini Bisa Membantu Sahabat Semua...!!! Kabar Gembira, Novel Sampan di Seberang akan segera dipublikasikan di blog ini agar para sahabat setia bisa menikmati karya yg pernah menang dalam kompetisi novel ini. Novel "Sampan di Seberang" diangkat dari kisah nyata pengalaman mengabdi di daerah terpencil. Novel "Sampan di Seberang" Tentang Pengabdian, Persahabatan & Kenangan, Tunggu Kehadirannya...!!! Karya Kamal; Novel Jalan Impian, Novel Pardangolan, Novel Sampan di Seberang, Buku Bait Bait Hati & Buku Facebook Mengguncang Dunia Akhirat. __Mustopa Kamal Batubara__ __Facebook: Mustopa Kamal Batubara.__ __Instagram: @kamal_btr.____Twitter: @mustopakamalBTR____Email: mustopakamalbatubara@gmail.com__ __Salam Karya Kamal__

Selasa, 29 September 2015



Konsep Imamah Menurut Syiah (Makalah MM. Fil Siyasah UIN Suska Riau)
Disusun Ulang dari Berbagai Sumber 


BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG

Orang pertama yang mewacanakan imamah ala Syiah adalah Abdullah bin Saba. Ia memulai propagandanya dengan mengatakan bahwa imamah merupakan wasiat Nabi Saw. Yang khusus diperuntukan bagi penerima wasiatnya. Apabila imamah itu dijabat orang lain selain si penerima wasiat, maka kaum muslimin harus berlepas diri dari orang itu dan mengkafirkannya.
Pada awalnya Abdullah bin Saba’ membatasi penerima wasiat pada Ali bin Abi Thalib ra. saja. Kemudian tokoh-tokoh syiah sesudahnya menyatakan bahwa seluruh keturunan Ali bin Abi Thalib ra. adalah penerima wasiat

B.  RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, kami tergugah untuk mendalami konsep Imamah menurut mazhab Syiah, oleh karena itu makalah ini akan membahas segala hal yang berkaitan dengan konsep Imamah dalam presfektif Syiah.







BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP IMAMAH DALAM MAZHAB SYIAH


A.           Siapa Itu Syiah ?

Secara etimologi, kata Syî‘ah berarti pengikut atau pendukung.  Secara terminologis Syî‘ah berarti orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali secara khusus, dan berpendapat bahwa hanya Sayyidina Ali saja yang berhak menjadi khalifah dengan ketetapan nash dan wasiat dari Rasulullah , baik secara tersurat maupun tersirat.
Mereka berkeyakinan bahwa hak imâmah (menjadi pemimpin umat Islam) tidak keluar dari keturunan Ali . Apabila imâmah ternyata tidak dalam genggaman keturunan Ali , berarti ada kezaliman dari pihak lain, atau imam yang berhak sedang menerapkan konsep taqiyyah.Syiah meyakini bahwa imamah merupakan bagian dari rukun islam dan salah satu pokok keimanan, bahwa keimanan seseorang hanya dinilai sempurna jika meyakininya dan suatu amal ibadah hanya diterima jika dengan mewujudkannya.
Orang pertama yang mewacanakan imamah ala Syiah adalah Abdullah bin Saba. Ia memulai propagandanya dengan mengatakan bahwa imamah merupakan wasiat Nabi Saw. Yang khusus diperuntukan bagi penerima wasiatnya. Apabila imamah itu dijabat orang lain selain si penerima wasiat, maka kaum muslimin harus berlepas diri dari orang itu dan mengkafirkannya.
Syiah berkeyakinan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda ihwal kepada para imam dan menentukan mereka secara jelas, yang semuanya berjumlah 12 orang. Kedua belas imam tesebut adalah :
1.             Ali bin Abi Thalib ra. (Al-Murtadha), wafat tahun 40 H
2.             Al-Hasan bin Ali ra. (Al-Zaki), wafat tahun 50 H
3.             Al-Husain bin Ali ra. (Sayyidus Syuhada’), wafat tahun 61 H
4.             Ali bin Al-Husain (Zaid Al-Abidin), wafat tahun 94 H
5.             Muhammad bin Ali (Al-Baqiir), wafat tahun 113 H
6.             Ja’far bin Muhammad (Ash-Shadiq), wafat tahun 148 H
7.             Musa bin Ja’far (Al-Khazim), wafat 183 H
8.             Ali bin Musa (Ar-Ridha), wafat 202 H
9.             Muhammad bin Ali (Al-Jawwad), wafat tahun 220 H
10.         Ali bin Muhammad (Al-Hadi), wafat tahun 254 H
11.         Al Hasan bin Ali (Al-Askari), wafat tahun 256 H
12.         Muhammad bin Al-Hasan (Al-Mahdi), wafat tahun 260 H[1]
Pada awalnya Abdullah bin Saba’ membatasi penerima wasiat pada Ali bin Abi Thalib ra. saja. Kemudian tokoh-tokoh syiah sesudahnya menyatakan bahwa seluruh keturunan Ali bin Abi Thalib ra. adalah penerima wasiat.

B.            Kedudukan Imamah
Persoalan imamah menurut  Ahlussunah tidaklah termasuk pokok-pokok agama (Ushuluddin) yang harus diketahui setiap mukhallaf. Hal ini dikemukakan banyak ulama.Akan tetapi, menurut Syiah Rafidhah berbeda. Dalam Al-Kafi terdapat beberapa riwayat yang menempatkan imamah sebagai rukun islam yang utama. Al Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun atas lima pondasi : Shalat, zakat, puasa, haji, dan al-waliyah (kewalian). Tidak ada yang lebih diserukan dari pada kewalian, akan tetapi orang-orang melaksanakan yang empat dan meninggalkan itu-  maksudnya kewalian.”[2]
Mereka telah menggugurkan dua kalimat syahadat dari rukun islam dan menggantinya dengan kewalian, serta menganggapnya sebagai rukun islam yang utama, dengan menyatakan: “Tidak ada yang lebih diserukan daripada kewalian.” Hal ini diperkuat beberapa riwayat lainnya.
Dalam sebuah riwayat, ada redaksi tambahan :“Aku bertanya, “Manakah yang paling utama diantara rukun-rukun tersebut?” Ia menjawab, “Kewalian yang paling utama.”
Al-Majlisi mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kewalian dan keyakinan tentang imamah para imam, serta ketundukan pada mereka termasuk pokok-pokok agama (ushuluddin) dan lebih utama daripada semua amal ragawi karena itu merupan kunci bagi semuanya”
Al-Muzhaffar  salah satu ulama syiah kontemporer megatakan, “Kami menyakini bahwa imamah adalah salah satu pokok agama (ushuluddin). Imam hanya sempurna dengan meyakininya. Dalam hal ini tidak boleh bertaklid pada nenek moyang, keluarga, dan pembina seagung apapun mereka, akan tetapi imamah tetap harus diperhatikan sebagaimana kita memperhatikan tauhid dan kenabian.”
Riwayat-riwayat Syiah Rafidhah itu dan semacamnya dalam buku-buku Syiah Rafidhah dijadikan dalil bahwa imamah merupakan standar penilaian  keimanan dan kekafiran seseorang serta menempatkan seorang muslim sebagai sasaran tuduhan kafir hanya karena berbeda keyakinan dengan Syiah Imamiyyah ihwal imamah. Karena itulah, kita melihat beberapa ulama senior Syiah Imamiyah, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang, menegaskan kenyataan yang pahit itu.
Ibnu Babawiah Al-Qummi, dalam makalahnya Al-I’tiqadat, mengatakan, “Kami meyani bahwa orang yang mengingkari imamah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. sama seperti orang yang mengingkari semua nabi. Dan kami meyakini bahwa orang yang mengaku imamah amirul mukminin Ali bin Abi thalib ra. tetapi mengingkari salah satu imam sepeninggalnya sama seperti orang yang mengaku semua nabi tetapi mengingkari kenabian Muhammad Saw.
Menurut mereka, imamah sejajar dengan kenabian bahkan lebih agung daripadanya, imamah adalah pokok agama sekaligus prinsip mendasarnya. Karena itulah, untuk melengkapi ekstrimisme mereka, Syiah Itsna Asyariyyah melalui orang yang mengingkari imamah salah seorang dari kedua belas imamnya sebagai seorang kafir yang akan kekal di neraka. Mereka juga mengutuk dan menyatakan murtad semua kelompok kaum muslimin selain Syiah Itsna Asyariyyah, sehingga yang mereka nyatakan kafir antara lain :
1.    Para Sahabat
                        Buku-buku yang ditulis tokoh-tokoh Syiah Rafidhah penuh dengan kutukan, caci maki,dan pengkafiran terhadap kaum Muhajirin maupun kaum Anshar, para veteran Perang Badar, para peserta Baiat Ar-Ridwan dan seluruh sahabat Rasulullah Saw. yang diridhai Allah dan meridhai-Nya kecuali beberapa saja yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
                        Ibnu Taimiyah mengatakan, “Menurut Syiah Rafidhah, kaum Muhajirin dan kaum Anshar telah menyembunyikan teks dalil Rasulullah Saw., sehingga semuanya telah kafir, kecuali beberapa orang saja, yang jumlahnya belasan orang atau lebih. Kemudian mereka mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bin Al-Khatab serta orang-orang yang sependapat dengan keduanya adalah munafik. Mereka juga mengatakan bahkan mereka itu tadinya beriman kemudian kafir”.
2.    Ahlulbait
                        Beberapa riwayat mereka menyatakan kemurtadan masyarakat sahabat ra.yang ideal lagi istimewa, kecuali maksimal tujuh orang saja. Dan, diantara ketujuh orang itu, tidak seorangpun tergolong Ahlulbait, kecuali Ali ra.seorang.
                        Salah satunya adalah riwayat Al-Fudhail bin Yassar dari Abu Ja’far, ia mengatakan, “semua kembali ke Jahiliyyah, kecuali empat orang saja: Ali, Al-Miqdad, Salman, dan Abu Dzar. Kemudian aku bertanya, “Lalu Ammar?”Ia menjawab, “Jika yang kau maksudkan adalah orang-orang yang tidak dimasuki sesuatu, maka ketiga orang itu (Al-Miqdad, Salman, dan Abu Dzar).”
                        Penilaian murtad dalam riwayat itu mencakup seluruh sahabat Rasulullah dan Ahlulbait, termasuk isteri Rasulullah dan sanak kerabatnya.Padahal, para pembuat riwayat palsu mengaku-ngaku sebagai pendukung Ahlulbait. Putri-putri Rasulullah saw. juga tidak luput dari pengkafiran oleh syiah Itsna Asyariyyah, sehingga hampir bisa dipastikan tidak ada yang terkecuali ataupun lolos dari caci-maki dan pengkafiran mereka. Bahkan, dalam beberapa riwayat mereka menuduh Aisyah ra.yang dari atas tujuh langit telah Allah bebaskan dari segala tuduhan sebagai pezina. Dalam buku-buku tafsir yang menjadi referensi utama mereka, seperti Tafsir Al-Qummi, mereka melancarkan tuduhan keji tersebut yang notabene berarti mendustakan Al-Qur’an.
3.    Para Khalifah Kaum Muslimin dan Pemerintahan Mereka
                        Semua khalifah umat islam, selain Ali bin Abi Thalib dan Al-Hasan bin Ali ra., adalah pemerintahan thaghut. Menurut mereka, meskipun para khalifah itu menyerukan kebenaran, berbakti kepada Ahlulbait, dan menegakkan agama Allah. Dalam hal ini, mereka mengatakan,”Semua bendera yang dikibarkan sebelum bendera Imam yang sah,orang yang mengibarkannya adalah thaghut.”
4.    Menyatakan wilayah Islam sebagai Wilayah Kafir
Mereka secara tegas mengkafirkan penduduk Makkah dan Madinah dalam generasi-generasi yang utama.Pada era Ja’far Ash-Shadiq, mereka mengatakan tentang penduduk Makkah dan Madinah, “Penduduk Syam lebih buruk dibandingkan penduduk Romawi (Kristen); penduduk Madinah lebih buruk dibandingkan penduduk Makkah; Penduduk Makkah adalah oerang-orang yang kafir terhadap Allah Swt. Secara terang-terangan.
Mengenai Mesir dan penduduknya, mereka mengatakan, “Para penduduk Mesir telah dikutuk melalui ucapan Dawud as.Sehingga mereka dijadikan kera dan babi. Allah Swt. Memurkai Bani Israel dengan cara memasukkan mereka ke negeri Mesir, dan Dia hanya meridhai mereka setelah mengeluarkan mereka dari sana ketempat lain.”
5.    Para Hakim, Imam dan Ulama Kaum Muslimin
Para hakim pengadilan umat islam mereka anggap sebagai thaghut karena bernaung dibawah pimpinan yang sesat, menurut mereka. Dalam Al-Kafi, disebutkan dari Umar bin Hanzhalah, ia menuturkan :
“Aku bertanya kepada Abu Abdillaj tentang dua orang dari sahabat kami yang sedang berseteru dalam perebutan warisan ataupun agama.Kemuadian keduanya mengadukan persoalan mereka kepada hakim pengadilan. “Apakah itu diperbolehkan? “ ia menjawab, “Orang yang mengadu kepada mereka baik dalam kebaikan maupun kebathilan, sama artinya mereka mengadu kepada thaghut jarena hukum yang dikeluarkan senantiasa rusak meskipun benar. Sebab ia memutuskan hukum berdasarkan hukum  thaghut, sementara Allah SWT memerintahkan agar itu dihindari”.
                        Mereka juga mengkafirkan seluruh umat Muhammad Saw mulai dari yang awal sampai yang akhir. Mereka mengkafirkan tokoh-tokoh umat islam seperti Said ibn Al-Musayyib, Abu Muslim Al-Khaulani, Uwais Al-Qarni, Atha’ ibn Abi Rabah, dan Ibrahim An-Nakh’i.
                        Faktor yang menimbulkan pengkafiran tersebut hanya satu dan tidak pernah berubah yaitu sudah menjadi hukum alam bahwa orang yang mendengki terhadap sahabat Rasulullah, mencaci dan mengkafirkan mereka secara otomatis mendorong mereka untuk mengkafirkan umat secara global. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan beberapa ulama salaf : “Setiap hati yang membenci salah seorang sahabat Rasulullah Saw, pastilah mengandung kebencian lebih mendalam terhadap umat islam.”[3]

C.      Unsur-unsur Pokok dalam Imamah

               Penyelewengan yang dilakukan oleh para pengaku Syi’ah itu adalah problem imamah. Gambaran yang terpenting mengenai problem ini adalah apa yang disebutkan Al Majlisi di dalam bukunya “Hajatul Qulub”. Al Majalisi ini adalah seorang dari ulama-ulama mutaakhirin yang hidup pada masa kekuasaan Daulah Syafawiyah yang menganut mazhab Syiah sebagai mazhab yang resmi dinegeri Iran.Dalam buku “Hajatul Qulub” kita dapati uraian-uraian terperinci tentang imamah, yang tidak kita dapati dalam buku-buku lainnya. Buku tersebut terdiri atas 2 bab.
Bab pertama berisi uraian tentang “Dharuratul Imam” (Pentingnya imam, yaitu bahwa imam harus ada disetiap masa. Tak ada masa tanpa imam), sedang bab yang kedua berisi tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang olehnya dipandang sebagai ayat-ayat yang erat hubungannya dengan masalah imamah itu.

Bab yang pertama itu dibagi menjadi sembilan fasal, yaitu:
1.        Dhamratul Imamah, dan keterangan bahwa setiap zaman tak pernah tidak mempunyai iman
2.        Ishmatul Aimmah, yaitu bahwa imam-imam tersebut adalah ma’shum
3.        Imamah itu telah didekritkan oleh Allah dan Rasul. Dan selanjutnya tiap-tiap imam juga mendekritkan untuk imam yang berikutnya
4.        Keharusan mengakui imam
5.        Mengingkari salah seorang dari imam-imam tersebut sama artinya dengan mengingkari mereka semua
6.        Keharusan menaati imam
7.        Yang wajib diikuti hanyalah imam
8.        As Tsaqalan ialah Al-Qur’an dan Ahlulbait
9.        Tentang dekrit untuk para imam
                        Adapun bab kedua dari buku itu terdiri dari 42 fasal, berisi tafsiran ayat-ayat yang oleh Al Majlisi dipandang sebagai ayat yang diturunkan mengenai masalah imamah. Dari buku ini dan buku-buku syiah lainnya dapat disimpulkan unsur-unsur penting mazhab syiah dalam masalah imamah, sebagai berikut :
1.    Masalah imamah bukanlah masalah umum, yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada pertimbangan rakyat. Rakyat tidak berhak menunjuk seorang imam. Nabi berkewajiban menunjuk imam yang akan memimpin rakyat sepeninggal beliau. Dan setiap imam wajib pula menunjuk imam yang akan menggantikannya. Apabila imam tersebut telah menunjuk orang sebagai penggantinya, maka ia akan dapat meninggalkan dunia ini dengan perasaan lega dan tidak merasa kuatir atas kepentingan rakyat. Imam mempunyai tugas untuk menyingkirkan perselisihan dan menggalang persatuan rakyat
2.    Karena Nabi mempunyai kewajiban untuk menunjuk imam yang akan mengurus kepentingan kaum muslimin sesudah beliau wafat, maka ia telah melaksanakan kewajiban itu. Nabi telah menunjuk Ali. Dan penunjukan ini dilakukannya dengan nash (dekrit) yang jelas, bukan secara sindiran.
3.    Imamah itu adalah khusus untuk Ali dan anak cucunya dari isterinya, Fatimah. Mereka ini adalah ahlulbait, dan pohon rindang yang beroleh berkah, yang karenanya Allah senang kepada seluruh manusia. Orang selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan imamah itu, sampai Allah mewarisi bumi ini dan semua orang yang berada diatasnya.
                 Itulah unsur-unsur pokok dalam mazhab imamiyyah.Selain itu masih ada lagi unsur-unsur yang bukan merupakan unsur-unsur pokok, melainkan sebagai pelengkap yang dinamai “Ta’alim” (doctrines), yaitu kepercayaan tentang ‘ishmah, taqiyah, rij’ah, dan mahdiyah.
                 Yang mereka maksudkan dengan Ishmah ialah imam-imam itu semuanya ma’shum yakni terhindar dari perbuatan dosa-dosa kecil ataupun besar dan mereka tidak pernah salah ataupun lupa.Dan yang mereka maksudkan dengan Taqiyah ialah seorang boleh memperlihatkan (melahirkan) perbuatan atau perkataan yang berlawanan dengan isi hatinya, untuk menjaga keselamatan diri dan harta bendanya ataupun kehormatannya.Adapun Mahdiyah erat sekali hubungannya dengan Rij’ah. Yang dimaksudkan dengan mahdiyah itu adalah kepercayaan bahwa Imam Al-Mahdi Al-Muntazharakan datang ke bumi ini, untuk memenuhinya dengan keadilan, setelah bumi ini penuh dengan kezhaliman. Imam yang dinanti-nantikan itu  ialah imam yang kedua belas dan telah menghilang pada tahun 260 H, dan akan kembali lagi.[4]

D.  Kemaksuman Menurut Syiah
            Kemaksuman menurut Syiah merupakan  salah satu syarat imamah sekaligus salah satu prinsip utama dalam eksistensi ideologisnya. Kemaksuman memiliki arti yang sangat penting bagi mereka. Mereka berpendapat bahwa  para imam terjaga dari kesalahan sepenjang hidup, tidak pernah melakukan dosa, baik besar maupun kecil, tidak berbuat kemaksiatan, tidak pernah salah ataupun lupa. Syiah imamiyyah menyatakan bahwa konsep kemaksuman para imam didukung oleh dalil Al-Qur’an. Para syaikh bersepakat bahwa dalilnya adalah : “Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata,”(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zhalim.”(TQS. Al-Baqarah;124).
Pengambilan dalil meraka itu bisa dikritik dari beberapa aspek berikut ini :
1.    Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai Al-Ahd dalam ayat ini.
          Menurut Ibnu Abbas dan As-sadi, yang dimaksud dengan Al-Ahd adalah kenabian, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah QS Al-Baqarah, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zhalim”.Maksudnya adalah kenabian-ku.Penafsiran ayat ini masih diperdebatkan para ulama salaf. Menurut sebagian besar mereka, ayat ini tidak sama sekali berkaitan dengan imamah. Sedangkan ulama yang menafsirkannya imamah pun mengartikan imamah itu sebagai kepemimpinan atau kepeloporan dalam ilmu, kesalehan, dan keteladanan, bukan imamah menurut paham syiah imamiyyah.
2.    Andaipun makna ayat ini adalah imamah, tetap saja tidak mengandung dalil kemaksuman.
          Dengan alasan, tidak mungkin orang yang tidak zhalim disebut orang maksum yang tidak bersalah, tidak lupa, dan lain-lain, sebagaimana pengertian kemaksuman menurut syiah.Sebab berdasarkan analogi, madzhab mereka menyatakan bahwa orang yang lupa adalah orang yang zhalim, dan orang yang salah adalah orang zhalim. Kosep yang mereka usung ini tidak mungkin diterima siapa pun dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran islam.[5]

E.  Akidah Menurut Syiah
Syiah menempatkan akidah tentang imam sebagai salah satu dasar madzhab mereka dan salahsatu rukun agama.Maka, imam bagi mereka mereka suatu bagian dari akidah. Syiah pun mengalamatkan kepada salah seorang imam mereka sebuah perkataan, “ Barangsiapa di antara umat ini memasuki pagi hari tanpa punya imam, berarti ia tersesat serta kebingungan, dan apabila ia meninggal dunia dalam kondisi ini maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahiliyyah.[6]
Keyakinan ekstrem syiah tentang para imam ini berdampak pada akidah mereka dalam mengesakan Allah Swt. Berikut ini beberapa poin diantaranya :
1.    Teks-teks dalil tentang tauhid mereka anggap berkenaan dengan kewalian dan imamah
2.    Kewalian menurut mereka adalah pangkal diterimanya amal
3.    Mereka meyekini para imam adalah mediator antara Allah dan manusia
4.    Mereka berpendapat imam berhak mengharamkan dan menghalalkan sesuatu sekehendaknya
5.    Mereka berpendapat imam berhak mengelola dunia dan akhirat sekehendaknya
6.    Menyandarkan seluruh peristiwa alam kepada para imam
7.    Unsur ketuhanan yang menitis kepada para imam
8.    Mereka berpendapat para imam mengetahui peristiwa masa lalu dan masa depan
9.    Ekstrim dalam berpaham tajsim[7]

DAFTAR PUSTAKA


Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Syiah Dalam Timbangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Yogyakarta, Penerbit Bumi Aksara, 1990.
Syalabi, Sejarah & Kebudayaan Islam 2, Jakarta, Pustaka Al Husna Baru, 2003.
www.academia.edu




[1]Dr. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Yogyakarta, Penerbit Bumi Aksara, 1990, Hal 92
[2]https://www.academia.edu/6077790/KONSEP_IMAMAH_SYIAH_UST_AGUS
[3]Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Syiah Dalam Timbangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2007, Hal.167-178
[4]Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah & Kebudayaan Islam 2, Jakarta, Pustaka Al Husna Baru, 2003, Hal 180-183
[5]Ibid Hal 182-192
[6]Ibid Hal 197
[7]Ibid 278-314

0 komentar:

Translate

Jumlah Pembaca

Instagram @kamal_btr