CERPEN INI SAYA TULIS KETIKA MENGIKUTI LOMBA CERPEN BERTEMA "BUDAYA MELAYU" DI UIN SULTAN SYARIF KASIM PEKANBARU. SEMOGA BERMANFAAT...!!!!!
BUDAYA MELAYU DI GENERASIKU
Pada senin yang cerah ketika panas mulai
membakar kulit, sekitar pukul sebelas siang aku berjalan di bawah terik mentari
yang sedang marah, aku susuri jalan buluh cina yang begitu menyesakkan dada.
Aku berjalan dengan hati-hatinya di pinggiran mobil dan motor yang sedang
lalu-lalang, perlahan-lahan aku ikuti hentakan kaki menuju kampus, tempat
kuliahku.
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
kasim Riau inilah kampusku, salah satu universitas termegah yang ada di bumi
pertiwi dan menjadi salah satu universitas dengan jumlah mahasiswa terbanyak di
negeri Indonesia ini. Tidak kurang dari dari 26.000 mahasiswa dari berbagai
penjuru negeri berdatangan ke sini untuk menimba ilmu, namanya diambil dari
nama sultan ke-12 kerajaan Siak Sri Indrapura.
Tidak
terasa aku sudah sampai di depan gedung belajar fakultas syariah, aku melaju
diiringi hentakan kaki, perlahan-lahan aku naiki anak tangga menuju lantai dua.
Di lantai dua mataku tertuju ke ruang 10, ya hari ini kami belajar di ruang
belajar syariah 10. Aku berhenti sejenak melihat pintu yg ditutup, lalu ku
ketuk pintu sembari mengucap salam “Assalamu ‘Alaikum” lalu temanku Rahman
membukanya sekaligus menjawab salamku “Wa’alaikum salam silahkan masuk mal”.
Mal
atau kamal inilah nama panggilanku, nama lengkapku adalah Mustopa Kamal, nama
yang diberikan kedua orangtuaku delapan belas tahun silam, aku berasal dari
desa nan jauh di pedalaman Bengkalis dan aku adalah anak pertama dari empat
bersaudara. Aku melangkah menuju bangku, terlihat di depanku tiga teman lain
sedang asyik-asyiknya bernyanyi diiringi musik dari HP Nokia yang ada di tangan
salah seorang dari mereka, “Lagi ngapain teman-teman?” inilah ungkapan yang aku
ucapkan ketika sedang menyapa mereka, lalu mereka menjawab dengan acuhnya “lagi
nyanyi” kemudian aku menuju tempat duduk.
Suara
bising menyelinap di telingaku, hatiku sontak miris setelah memperhatikan
lagu-lagu yang mereka nyanyikan, ternyata mereka menyanyikan lagu yang tidak
sesuai dengan budaya dan agama kami, mereka menyanyikan lagu bergenre cinta
yang liriknya sangat vulgar dan tidak sesuai dengan budaya kami, budaya melayu.
“Peluk erat tubuh ku sentuhlah jemariku......” inilah penggalan lagu yang
mereka nyanyikan dengan girangnya, setelah lagu itu habis silih berganti lagu
sejenisnya, sambung menyambug mereka putar dan mereka nyanyikan, ekspresi
mereka juga tidak mencerminkan dirinya sebagai anak melayu yang memegang teguh
adat dan budayanya. Hatiku miris bak disayat sembilu, seolah langit menimpa
diriku. Kemudian aku keluar dari ruangan itu
lalu temanku Rahman menyapaku “Mau kemana mal ?’’ tanya rahman , mau
keluar dulu man di sini gerah, jawabku.
Mataku
tertuju ke tiang di sudut teras kelas, lalu aku berdiri sambil termenung,
pikiranku di bayang-bayangi prilaku teman-temanku di dalam kelas tadi. Hati
kecilku bertanya-tanya apa benar mereka telah terhanyut oleh arus zaman, yang
mungkin derasnya melebihi arus sungai siak di sudut kota bertuah ini, sehingga
mereka telah melupakan adat dan budaya melayu adat yang santun yang identik
dengan nilai-nilai keislaman.
Tiba-tiba
Sabil datang menghampiriku ia adalah kosma kami, “Gimana kabarnya mal, apa
akhir pekannya menyenangkan?” tanya sabil, “Alhamdulillah baik bil, akhir
pekannya lumayan menyenangkan melang-lang buana ke dunia maya mencari merpati
ilmu hehe...” jawabku sambil bercanda. Ya akhir pekan biasanya aku manfaatkan
ke warnet samping kos ku untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah, aku tidak bisa
seperti teman-teman yang lain pergi jala-jalan kalau akhir pekan tiba, karena
uangku hanya pas-pasan untuk makan sedangkan untuk uang kuliah aku harus
banting tulang, mengangkat-angkat beras dari mobil truck ke warung pak Dahlan samping kosku, apabila
kami sedang tidak masuk kuliah. Aku tidak mau menyusahkan kedua orangtuaku di
kampung, karena orangtuaku hanyalah seorang buruh kehidupan.
Kemudian
aku bertanya kepada Sabil “Sabil kok bapak dosen lama datang ya?”, “Enggak tau
mal soalnya semalam bapak tu udah aku telpon, apa hari ini kita masuk kuliah
atau nggak, tapi nomor HP bapak itu nggak aktif mal”. Kadang kala sang dosen
tidak bisa masuk di karenakan tugas dari kampus, dan itulah tugas seorang kosma
menghubungi sang dosen untuk menanyakan masuk kuliah atau tidak. Lalu kosma mengeluarkan HP dari sakunya dan
kembali menelpon bapak Ismardi dosen mata kuliah Fiqih kami, “Assalamu ‘alaikum
hallo pak, ini kosma jurusan Jinayah Siyasah pak, mau menanyakan apa hari ini
kita masuk kuliah pak?” demikian ucapan kosma yang aku dengar. Sesudah Sabil
selesai menelpon bapak dosen, lalu ia mengatakan bahwa hari ini bapak Ismardi tidak bisa masuk
disebabkan sedang tugas di luar kota, lalu Sabil mengumumkan kepada teman-teman
yang lain bahwa hari ini kami tidak masuk.
Aku
turuni satu persatu anak tangga menuju lantai bawah, hentakan kaki
mengarahkanku ke bawah pohon mungil di depan gedung belajar, aku putuskan
pulang dengan naik angkot disebabkan matahari yang semakin marah dan cuaca yang
tidak mau bersahabat dengan setiap insan pada pukul dua belas siang ini. Aku
duduk pas di belakang sopir, lagi-lagi hatiku sontak kaget mendengar lagu yang
sedang diputar, “Ku hamil duluan sudah tiga bulan gara-gara pacaran di
gelap-gelapan.....”. Hati kecilku pun kembali bertanya “Apa benar budaya barat
telah merasuki budaya bangsa ini, sehingga kata-kata yang tak senonoh telah dijadikan
sebagai lirik lagu di negeri mayositas berpenduduk Muslim ini. Anak bangsa
telah menenggelamkan budayanya sendiri yaitu budaya orang timur, lagu-lagu
bergenre kebarat-baratan gembar-gembor diperdengarkan, sedangkan budaya sendiri
seolah terusir dari negeri sendiri.
Saat
ini lagu bergenre budaya melayu sangat jarang terdengar di kota bertuah,
Pekanbaru ini. Sama halnya seperti sulitnya menemukan air di tengah gurun
pasir. Generasi muda lebih mengenal Justin Bieber dari pada Raja Ali Haji
seorang sastrawan melayu yang terkenal dengan gurindam dua belasnya. Generasi
muda lebih hafal lirik lagu Michael Jackson dari pada lirik lagu melayu. Beginilah
kondisi kebudayaan melayu di generasiku ini, generasi dimana aku hidup sekarang.
Aku tidaklah menyalahkan apabila generasi muda cinta kepada budaya orang lain
akan tetapi kecintaannya tersebut jangan sampai melebihi cintanya kepada budaya
sendiri.
Tidak
terasa angkot yang aku tumpangi sudah mendekati kos tempat tinggalku, “Berhenti
di sini pak” pintaku kepada sang sopir, lalu aku mengambil uang yang ada di
saku celanaku untuk ku berikan kepada sang sopir. Inilah tempat tinggal ku, kos
yang sangat sederhana, barang elektronik seperti TV, kipas angin, tidak akan
kita lihat di dalam gubuk derita ini. Apalah daya tinggal di kos mewah dengan
fasilitas lengkap, aku hanyalah seorang budak (anak) miskin yang berasal dari
desa nan jauh di pedalaman Bengkalis sana, yang sengaja datang ke Kota bertuah
ini untuk merajut asa dan meraih cita-cita.
Seiring dengan ku gantungkannya tas di sudut
ruangan, terdengar olehku kumandang adzan zuhur membahana menembus ruang
angkasa. Aku melangkah ke kamar mandi untuk berwudhuk, ku basuh wajahku dengan
air nan suci, aku berharap air ini akan jadi saksi amal-amalku disaat menghadap
sang Rab di akhirat kelak. Kemudian aku mengerjakan shalat zuhur empat rakaat,
setelah selesai ku tadahkan tanganku dan berdoa kepada sang Khalik “Ya Allah ya
tuhanku ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orangtuaku, sayangilah mereka
sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil. Ya Allah kabulkanlah
cita-citaku, jadikanlah aku orang yang sukses di suatu hari nanti. Ya Allah
jadikanlah generasi muda kami menjadi orang-orang yang mencintai budayanya
sendiri, dan jauhkanlah kami dari budaya yang tidak sesuai dengan agama Islam
ini. Ya Allah perkenankanlah doaku, hanyalah engkau ya Allah yang maha kuasa
atas segalanya. Rabbanaa aatinaa fid dunya hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa
qina ‘adzabannar. Aamiin.......”
Hati
begitu tenang setelah selesai mengerjakan shalat, tiba saatnya untuk makan
siang. Ku ambil piring dan nasi yang telah aku masak tadi pagi, dengan ucapan Bismillah
aku makan nasi dengan lauk apa adanya. Setelah selesai makan, mataku tertuju
kepada buku yang ada di sudut ruangan, yaitu sebuah buku pemberian dari salah
seorang dosenku dua hari yang lewat. Buku ini sangat bagus, karena berisi
tentang motivasi dan semangat hidup.
Tidak
terasa buku sudah aku baca sampai halaman lima puluh, rasa lelah mulai mendera.
Ku tutup buku, kemudian ku rebahkan sekujur tubuh ke tempat tidur, sambil
berbaring ku putar lagu melayu dari handphone. “Lancang kuning, lancang kuning
belayar malam, hai berlayar malam......” inilah penggalan lirik lagu yang
menjadi pengantar tidurku di siang hari ini. aku pun tidur dengan nyenyaknya.
Aku
terbangun dari lelapnya tidur ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.00. Ku
buka pintu rumah, ku pandangi jagat raya, terlihat mendung menyelimuti bumi.
Walaupun mendung menyapa alam, ingatanku seolah masih terbawa disaat aku tidur
tadi. Ternyata tadi aku bermimpi indah, aku bermimpi jadi seorang raja yang
tinggal di istana megah dan seorang permaisuri nan cantik jelita melengkapi
kebahagiaan di sisiku.
Di
dalam mimpi itu, aku adalah seorang raja yang menguasai seantero negeri. Dalam
mimpi itu juga aku membangun pusat kebudayaan melayu dunia, di tanah
kelahiranku daerah Bengkalis. Alangkah bahagianya hidupku di dalam mimpi itu. Secercah
senyum tergores di bibirku mengingat-ingat mimpi siang bolong tadi, aku
berharap ini tidak hanya sekedar mimpi belaka, aku berharap suatu saat nanti
akan bisa mewujudkan mimpi indah tersebut.
Matahari
mulai menghilang di ufuk barat, burung-burungpun lalu-lalang menuju peraduan
masing-masing, langit mulai menghitam, awan merah mulai memperlihatkan
keindahannya kepada setiap insan yang bertebaran di muka bumi, gema adzan
maghribpun berkumandang menghiasi jagat raya. Terlihat oleh ku insan yang
berduyu-duyun menuju Masjid Darul Amal sekitar 200 meter dari kos ku, masjid
ini adalah saksi bisu mahasiswa-mahasiswa UIN SUSKA menghadapkan diri kepada
sang Rabbul Jalil, Allah SWT. Aku mengambil peci yang ada didekat baju, lalu
bergegas menuju masjid tersebut, untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah.
Kamipun shalat dengan khusukny,a merendah diri kepada tuhan semesta alam, Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Setelah
selesai shalat, Aku mengambil Al-qur’an yang ada di lemari Masjid, hatiku
terasa sangat tentram ketika membaca firman-firman Allah ini. Alqur’an adalah
kitab suci ummat Islam, agama yang Rahmatan lil ’aalamin. Kitab suci ini adalah
pedoman hidup dalam mengarungi samudera kehidupan. Dengan melaksanakan
ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, hidup manusia akan selamat dunia dan
akhirat.
Tidak
terasa setelah mengaji, suara adzan kembali bergema menandakan waktu isya sudah
tiba. Kamipun shalat berjamaah di sudut keheningan malam yang dihiasi gemerlap
bintang-bintang. Setelah selesai mengerjakan shalat isya, aku pulang menyusuri
sudut malam, menuju kos. Dari kejauhan aku melihat dua insan yang sedang
menungguku di depan pintu kos ku. Perlahan-lahan aku mendekat, ternyata mereka
adalah teman sekelasku, Ridho dan Habib.
“Hai
mal dari mana?” tanya salah seorang dari mereka, “Ohh, dari masjid shalat isya”
jawabku, kamipun masuk ke dalam kos. Kami duduk di lantai beralaskan tikar,
mereka sudah memaklumi bagaimana keadaanku, lalu Ridho bertanya kepadaku “Mal
kami mau nanya tentang makalah kita besok, apa sudah selesai?”. “Ohh makalah
itu, sudah Ridho kemaren udah aku kerjain, jangan khawatir”.
Kemudian
kami ngobrol-ngobrol ringan, mulai dari masalah kampus hingga masalah politik.
Ketika ngobrol, Habib mengeluarkan HP dari sakunya dan memutar lagu barat. Aku menghela
nafas ketika mendengar lagu yang sedang diputar. Habib mengambil HP dari tanganku
sembari minta izin, “Mal aku make HP mu ya, mau ngirim-ngirim lagu”. “Iya
silahkan” jawabku, “Mal di sini nggak ada lagu-lagu band ya, kok semuanya
lagu-lagu melayu sih” kata Habib. “Iya Bib aku kurang suka lagu-lagu kayak
gituan, aku lebih suka lagu-lagu melayu karena aku sangat cinta budaya kita”
jawabku. “Aduh... Mal kamu kuno banget sih, kita tu anak muda, kita nggak boleh
ketinggalan zaman, ya lagu-lagunya harus kayak di HP ku ini”. “selera orang itu
kan berbeda-beda Bib” jawabku. Habib pun, mulai memaklumi. Tidak terasa hari
pun semakin larut Ridho dan Habib pamit pulang karena besok kami akan masuk
kuliah.
Hari
yang cerah, secerah hatiku di hari kamis ini, Aku sudah sampai di sekolah jam
07.30 tadi. Waktu di dalam kelas, kosma (ketua kelas) mengumumkan informasi
kepada kami, “Teman-teman sekalian.... ada berita penting. Yang pertama, akan
diadakan perlombaan lagu band 2014 yang di sponsori oleh salah satu operator
seluler, akan diadakan di depan fakultas sains tekhnologi. Yang kedua, akan
diadakan festival budaya melayu di gedung PKM. Di dalam festival budaya melayu
ini, ada tiga kategori cabang yang diperlombakan, yaitu kompetisi lagu melayu, lomba
tari melayu dan lomba teater bertema budaya melayu”
Kosma menambahkan bahwa kedua acara tersebut,
sama-sama dilaksanakan pada tanggal 07 januari 2014, bagi yang berniat agar
mendaftarkan diri secepatnya ke sekretaris kelas kami yaitu saudari Nur. Karena
dosen belum hadir, teman-teman yang hadir di dalam kelaspun mulai mendaftarkan
diri masing-masing. Sungguh memprihatinkan, yang mengikuti lomba Festival
Budaya Melayu dari kelas kami hanya aku sendiri, sedangkan yang mengikuti lomba
lagu band berjumlah sepuluh orang, kembali aku menghela nafas dalam-dalam di
tengah-tengah zaman yang semakin edan.
Beginilah
nasib budaya melayu di generasiku ini, entahlah apakah mereka lupa atau sengaja
dilupakan, aku berjanji suatu saat nanti akan mengangkat harkat dan martabat
budayaku ini. Berselang seperempat jam sang dosen datang dan memberikan
pelajaran kepada kami. Kamipun belajar seperti biasanya.
Tiada
terasa detik berganti dengan menit, menit
berganti dengan jam, jam pun berganti hari, tibalah saatnya hari yang
aku nantikan, ya hari ini aku akan tampil maksimal dalam lomba lagu melayu. Aku
berjalan mengikuti arah jejak kaki menuju gedung PKM yang sudah di tata
sedemikian rupa, aku duduk di tempat yang sudah disediakan oleh panitia. Selanjutnya
penampilan nomor peserta sepuluh kata sang MC, ku langkahkan kaki menuju
panggung, aku menyanyikan lagu lancang kuning di hadapan ratusan penonton yang
jadi saksi terselenggaranya acara. Sorak-sorai dan tepuk tangan penonton
mengiringi penampilanku, aku berusaha tampil semaksimal mungkin demi budaya
yang aku cinta.
Tepat
pada pukul 15.00 pengumumkan acara pun dimulai, hatiku berdetak kencang ketika
mendengar MC membacakan nama para pemenang, “kategori pemenang lagu melayu
terbaik adalah, juara tiga jatuh kepada nomor peserta 28 atas nama Muhammad
Abdi dari fakultas tarbiyah, juara kedua jatuh kepada nomor peserta 07 atas
nama Siti Khodijah dari fakultas sains tekhnologi, dan inilah dia yang kita
nantikan juara pertama jatuh kepada.... siapa ya kira-kira, tanya sang MC. Hatiku
semakin berdetak kencang, aku pasrah bagaimanapun hasilnya, karena aku sudah
berusaha tampil semaksimal mungkin.
“Juara
pertama jatuh kepada nomor peserta 10 atas nama Mustopa Kamal dari fakultas
Syariah”, aku pun langsung sujud syukur
kepada Sang Khalik. hatiku sungguh bahagia sekali dihari yang sangat bersejarah
ini. Kemudian MC memberikan kesempatan kepadaku untuk menyampaikan beberapa
patah kata, aku mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah
mendukungku dan yang telah mendukung terselenggaranya acara ini. Di di atas
panggung aku ungkapkan jeritan hati melalui sajak puisi yang berbunyi:
Budaya
melayu di generasiku...Budaya melayu nasibmu kini....
Engkau
laksana debu yang dihempas angin di tengah gersangnya gurun sahara
Engkau
laksana buih yang terhanyut di tengah derasnya arus sungai Siak
Aku
ingin jadi saksi kejayaanmu di sudut kota ini
Aku
ingin engkau jadi raja di negerimu sendiri
Aku
yakin suatu saat nanti engkau akan jadi primadona
Aku
yakin suatu hari nanti kau akan dicintai generasi muda
Budaya
melayuku, engkaulah jati diriku.
Setelah
semua acara selesai aku melangkah menuju pulang, ku tinggalkan gedung yang
tadinya dipenuhi lautan manusia. Ketika di halaman gedung, aku menatap ke
langit biru, terlihat olehku mentari yang perlahan-lahan terbenam di ufuk barat,
tersenyum manis kepadaku. Mentari tersebut seolah ikut merasakan kebahagiaanku
dihari yang bersejarah ini. Hati kecilku berjanji perestasi ini akan menjadi
pemicu bagiku untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan ini, budaya melayu.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar